BID’AH CUMA ADA DALAM IBADAH
MAHDAH
Oleh: Drs. H. M.
Yusron Hadi, M.M.
Secara
bahasa, “bid‘ah” berasal dari akar kata “bada‘a”.
“Bada’a”
artinya membuat sesuatu yang baru.
Dalam
syariat, “bid‘ah” adalah:
Cara
baru dalam agama yang dianggap syariat.
Yang
dikerjakan berlebihan dalam ibadah dan mengharap pahala.
Tanpa
adanya dalil dan contoh dari Rasulullah.
Artinya,
“bid‘ah” dibatasi hanya dalam akidah dan ibadah.
Jabir
bin Abdullah meriwayatkan.
Rasulullah
berkhotbah dengan mata memerah dan suara lantang.
Semangatnya
berkobar-kobar bagaikan panglima perang yang memberikan komando.
Rasulullah
bersabda,
“Sesungguhnya
sebaik-baik perkataan adalah Al-Quran.
Sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Rasulullah.
Dan
seburuk-buruk hal adalah bid‘ah.
Tiap
bid‘ah adalah sesat.
Dan
tiap sesat tempatnya di neraka.”
Sebagian
ulama memahami bid’ah cuma ada dalam ibadah mahdah.
Yang
dilakukan dengan ekspresi berlebihan.
Orang melakukan sesuatu dalam
urusan agama.
Tanpa landasan ada dalilnya, maka
termasuk bid‘ah.
Ulama mazhab Syafii membagi bid’ah
2 macam, yaitu:
1.
Bid’ah
terpuji.
2.
Bid’ah
tercela.
BID’AH
TERPUJI
Bid’ah
terpuji adalah sesuatu yang baru dan tidak bertentangan
dengan Al-Quran, hadis Nabi, asar sahabat, atau ijmak sahabat.
BID’AH
TERCELA
Bid’ah
tercela adalah sesuatu yang baru, tapi bertentangan
dengan Al-Quran, hadis Nabi, asar sahabat, atau ijmak sahabat.
Menurut
Muhammadiyah bid‘ah hanya ada dalam
masalah akidah dan ibadah mahdah.
Sedangkan
dalam masalah muamalah.
Selama
tidak bertentangan dengan syariat.
Dan
mendatangkan maslahat bagi kehidupan.
Meskipun
tidak ada pada zaman Rasulullah.
Maka
hal itu bukan bid‘ah.
(Sumber
suara.muhammadiyah)






