PENJELASAN
SUNAH DAN BID’AH
(Seri
ke-2)
Oleh:
Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

1. RISALAH
AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
2. Karya
Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari.
3. Tahun
1287 sampai 1366 Hijriah.
4. Pasal
penjelasan tentang sunah dan bid’ah
5. Lafadz
“as-sunnah” dengan dibaca “dhammah” sin-nya dan diiringi dengan “tasydid”,
sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Baqa‟ dalam kitab Kulliyat-nya secara
etimologi adalah “thariqah” (jalan), mekipun yang tidak diridai.
6. Menurut
terminologi syara’ as-sunnah adalah “thariqah (jalan) yang diridai dalam
menempuh agama”, sebagaimana yang telah ditempuh oleh Rasulullah atau selain
beliau.
7. Yakni
mereka yang memiliki otoritas sebagai panutan dalam masalah agama, seperti para
sahabat.
8. Hal
ini didasarkan pada sabda Rasulullah, “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh
pada sunahku dan sunahnya Khulafaur Rasyidin setelahku.”
9. Menurut
terminologi “urf” adalah apa yang dipegangi secara konsisten oleh tokoh yang
menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi atau wali.
10. Istilah
“as-sunni” adalah bentuk penisbatan dari lafadz “as-sunnah” dengan membuang “ta‟
untuk penisbatan.
11. Bid‟ah
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Zaruq dalam kitab „Iddat al-Murid menurut
terminologi syara‟ adalah: Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah
ia bagian dari urusan agama, padahal sebenarnya bukan, dalam tataran wacana,
penggambaran, maupun dalam hakikatnya.”
12. Hal
ini didasarkan pada sabda Rasulullah,“Barang siapa menciptakan perkara baru dalam
urusanku, padahal bukan bagian darinya, maka hal itu ditolak.”
13. Rasulullah
bersabda,”Dan segala bentuk perkara yang baru adalah bid’ah.” َ
14. Para
ulama menjelaskan tentang esensi dari makna 2 hadis di atas, dikembalikan
kepada perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan sesuatu yang sebenarnya bukan termasuk
ibadah, tetapi diyakini sebagai konsep ibadah.
15. Jadi bid’ah
artinya bukan segala bentuk pembaruan yang bersifat umum.
16. Kadang-kadang
hal baru itu berlandaskan dasar syari’ah secara asalnya, sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri,
atau berlandaskan furu’us syyari’ah, sehingga dapat dianalogkan kepada syari’at.
ًِ
17. Allamah
Muhammad Waliyuddin asy-Syibtsiri dalam Syarh al-Arba‟in an-Nawawiyyah memberikan
komentar atas sebuah hadis Nabi.
18. Rasulullah
bersabda,”Barang siapa membuat persoalan baru atau mengayomi seseorang yang
membuat pembaruan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah.” ُ
19. Termasuk
dalam kerangka interpretasi hadits ini, yaitu berbagai bentuk akad-akad
fasidah, menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan lain-lain dari
berbagai bentuk penyimpangan terhadap ketentuan syara'.
20. Keluar
dari bingkai pemahaman terhadap hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar
dari dalil syara’.
21. Terutama
yang berkaitan dengan masalah ijtihadiyah yang tidak terdapat korelasi yang
tegas antara masalah tersebut dengan dalilnya, kecuali sebatas perkiraan
mujtahid.
22. Dan
seperti menulis mushaf, mengintisarikan pendapat imam mazhab, menyusun kitab
nahwu ,dan ilmu hisab.
23. Imam
Ibnu Abdis Salam membagi perkara yang baru ke dalam hukum yang lima.
24. Beliau
berkata, “Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikenal (terjadi)
pada zaman Rasulullah.”
25. Macam-macam
bid’ah:
1) Bid’ah
wajib.
a. Seperti
mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafaz-lafaz yang gharib yang terdapat
dalam al-Quran atau as-Sunnah, yang pemahaman terhadap syari’ah menjadi
tertangguhkan pada sejauh mana seseorang dapat memahami maknanya.
2) Bid’ah
haram.
a. Seperti
aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
3) Bid’ah
mubah.
a. Seperti
memperbaharui sistem pendidikan pondok pesantren dan madrasah-madrasah, juga
segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal pada zaman generasi pertama Islam.
4) Bid’ah
makruh.
a. Seperti
berlebihan menghiasai masjid, menghiasi mushaf dan lain sebagainya.
5) Bid’ah
mubah.
a. Seperti
bersalaman selesai salat Subuh dan Asar.
b. Berlebihan
dalam makanan dan minuman, pakaian.
c. Dan
lainnya.
26. Setelah
kita mengetahui apa yang telah dituturkan di muka, maka adanya klaim bid’ah,
kegiatan seperti:
1) Memakai
tasbih.
2) Melafazkan
niat.
3) Membaca
tahlil ketika bersedekah setelah kematian, dengan catatan tidak adanya perkara
yang mencegah untuk bersedekah tersebut.
4) Menziarahi
makam.
5) Dan
lainnya.
6) Maka
kesemuanya bukan termasuk bid’ah.
Daftar
Pustaka.
1. Internet
Faza Media.
2. Risalah
Ahlussunnah Wal Jamaa’h: Karya Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari (Tahun 1287 H sampai 1366 Hijriah).
0 comments:
Post a Comment