SUMBER
MASALAH BANGSA
Oleh:
Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

1. Ulama
Pemburu (Yudi Latif)
2. Alkisah,
sepasang merpati yang sedang bertengger di cabang pohon melihat seorang alim
datang dengan sebuah buku yang dikepit di satu tangan dan tongkat di tangan
yang lain.
3. Seekor
merpati berkata pada yang lain, "Mari terbang, orang itu bisa membunuh
kita.”
4. Pasangannya
menyahut, "Dia bukan pemburu. Dia seorang ulama, tidak akan membahayakan
kita."
5. Sang
ulama melihat keberadaannya dan seketika memukulkan tongkatnya ke merpati
betina, lantas ia sembelih untuk dimakan.
6. Merasa
dizalimi, pasangannya mengadu kepada Nabi Sulaiman.
7. Ulama
itu pun dipanggil ke istana. "Kejahatan mana yang saya lakukan?"
sanggahnya.
8. "Bukannya
daging merpati itu halal," lanjutnya.
9. Merpati
jantan menimpal,"Saya tahu bahwa hal itu halal bagimu. Tetapi, jika datang
untuk berburu, engkau semestinya mengenakan pakaian seorang pemburu. Engkau
curang, datang berlaga sebagai ulama."
10. Ulama
atau ilmuwan memang telanjur dinisbatkan sebagai sosok pelindung kemaslahatan
umum.
11. Nalarnya
memberi lentera di kegelapan; nuraninya memberi oasis di tengah-tengah krisis
keyakinan.
12. Namun,
dalam realitas kekinian, banyak orang berpredikat ulama/ilmuwan dengan
kapasitas dan peran yang telah ditanggalkan.
13. Sutan
Sjahrir, salah seorang negarawan-pemikir terbaik bangsa ini, sejak lama
merisaukan fenomena seperti itu.
14. Dalam
kumpulan catatan harian dari balik penjara, dengan nama samaran Sjahrazad, yang
kemudian dibukukan dalam Renungan Indonesia.
15. Bung
Sjahrir menulis, “Bagi kebanyakan orang, kita ‘yang bertitel’—saya pakai
perkataan ini akan pengganti ‘intelektual’, sebab di Indonesia ini ukuran orang
bukan terutama tingkat penghidupan intelek, akan tetapi pendidikan sekolah—bagi
‘orang-orang yang bertitel’ itu pengertian ilmu tetap hanya pakaian bagus belaka,
bukan keuntungan batin.”
16. Bagi
mereka ilmu itu tetap hanya suatu barang yang mati, bukan hakikat yang hidup,
berubah-ubah dan senantiasa harus diberi makan dan dipelihara.
17. Banyak
orang berpenampilan pandita untuk "menjual" ayat dengan harga yang
murah.
18. Membenarkan
manipulasi politik dengan rekayasa statistika.
19. Bertablig
dengan disinformasi dan caci-maki.
20. Merajalelanya
pandita palsu membawa bencana dan kemarau keteladanan.
21. Sutasoma
(dalam karya Empu Tantular) berkata, "Benar dikatakan bahwa murid harus
mematuhi gurunya seperti mematuhi orang tuanya sendiri.”
22. “Namun,
jika guru bertindak jahat, maka akan ada kekeringan, hujan turun salah musim,
panen-panen gagal.
23. “Kesepuluh
penjuru mata angin diliputi ketakutan, kejahatan terjadi di mana-mana, dan
wabah penyakit berlangsung tanpa akhir."
24. Situasi
demikian seakan menggemakan kembali ratapan pujangga agung Keraton Surakarta R.
Ng. Ranggawarsita.
25. Menjelang
kematiannya pada 1873, ia menulis Serat Kalatidha (Puisi Jaman Keraguan).
26. Bait
pertama puisi tersebut bersaksi, “Kilau derajat neraga lenyap dari pandangan.
27. Dalam puing-puing ajaran kebajikan dan
ketidaan teladan.
28. Para
cerdik pandai terbawa arus jaman keraguan.
29. Segala
hal makin gelap.
30. Dunia
tenggelam dalam kesuraman.”
31. Keadaan
ini membuat negara tanpa tuntunan pengetahuan-kebijaksanaan yang kuat, yang
menempatkannya dalam kondisi rawan.
32. Para
pemikir kenegaraan lintas zaman dan lintas mazhab cenderung menyepakati
hubungan integral antara negara dan pengetahuan.
33. Negara
sendiri didefinisikan sebagai organisasi rasional dari masyarakat.
34. Bahkan
Hegel menyatakan bahwa negara merupakan penjelamaan dari pikiran.
35. Michel
Foucault menegaskan, “Pemerintah memerlukan lebih dari sekadar usaha
mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran, kebijaksanaan, dan
kehati-hatian.”
36. “Pengetahuan
spesifik juga sangat diperlukan: pengetahuan yang konkrit, tepat, dan terukur.”
37. Membangun
negara harus melalui cara kedaulatan menyatakan dirinya dalam bidang
pengetahuan.
38. Negara
dapat dipandang sebagai mesin-pengumpul kecerdasan (intelligence-gathering
machine).
39. Kedekatan
antara negara dan kecerdasan, dan bahwa keselamatan negara ditentukan oleh
kecerdasan terlihat dari pemahaman umum yang cenderung mengaitkan istilah “intelijen”
(intelligence) dengan badan intelijen negara.
40. Sebuah
negara yang dibangun tanpa landasan kecerdasan dan pengetahuan tak ubahnya
seperti istana pasir.
41. Pantas
Imam Ghazali mengingatkan, “Sesungguhnya, kerusakan rakyat karena kerusakan
penguasa.”
42. “Kerusakan
penguasa karena kerusakan ulama.”
43. “Kerusakan
ulama karena cinta harta dan kedudukan."
(Sumber: internet Yudi Latif, Makrifat Pagi).
0 comments:
Post a Comment