UMAT ISLAM MODERAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, MM

A.
Akidah Wasathiyyah.
1.
Oleh Prof Syafiq A Mughni.
2.
PWMU.CO – Pada zaman Nabi Muhammad telah ada
ajaran akidah fondasi bangunan Islam.
3.
Ajaran itu berisi keyakinan yang harus dipercaya setiap Muslim.
4.
Seperti apa yang dicantumkan dalam teks al-Quran dan Sunnah.
5.
Akidah itu juga diyakini umat Islam pada zaman sahabat.
6.
Masalah muncul ketika ada peristiwa politik.
7.
Yakni perang saudara antarsahabat Nabi.
8.
Peristiwa itu menimbulkan posisi berbeda.
9.
Untuk menjawab pertanyaan siapa salah dan benar dalam perang.
10. Apakah pihak yang
salah telah kafir atau tidak.
11.
Dalam perkembangan selanjutnya, ragam jawaban diperbanyak dengan
pengaruh falsafah Yunani dalam berbagai teologi.
12.
Peristiwa politik berupa perang saudara dan peristiwa
intelektual berupa penyerapan falsafah mendorong cepat berkembangannya aliran
teologi (firqah).
13.
Debat dan argumentasi teologi melahirkan kalam atau ilmu
kalam.
14.
Aliran yang berkembang membuat sebagian umat bingung.
15.
Bukan hanya orang awam.
16.
Tetapi juga orang yang punya posisi penting dalam institusi
agama, seperti hakim (qadhi).
B. Teologi Moderat Ibnu Taimiyah
1.
Dalam sejarah seorang hakim di Wasith, sebuah wilayah di Negeri
Iraq, menulis surat kepada Ibnu Taymiyah (wafat 1328).
2.
Dalam surat itu, hakim bertanya tentang akidah atau teologi
Islam.
3.
Jawaban Ibnu Taymiyah dijadikan dasar fatwa keagamaan.
4.
Jawaban Ibn Taymiyah ditulis dalam sebuah naskah.
5.
Diberi judul Aqidah
Wasithiyyah, dinisbatkan kepada nama wilayah Wasith.
6.
Ibnu Taymiyah juga menulis buku berjudul Aqidah Hamawiyyah.
7.
Untuk menjawab pertanyaan orang yang tinggal di Hama, kota di
Negeri Syam.
8.
Posisi teologi Ibnu Taymiyah dalam buku Aqidah Wasithiyah menggambarkan
teologi moderat atau pertengahan (al-wasath).
9.
Moderasi berada di antara 2 ekstrem.
10.
Misalnya antara tamsil (memisalkan
sifat Tuhan dengan sifat manusia) yang dianut oleh Musyabbihah dan ta’thil (menafikan sifat Tuhan)
yang dianut oleh Jahamiyah.
11.
Moderasi juga terlihat dalam soal perbuatan manusia.
12.
Yakni antara Jabariyah dan Qadariyah.
13.
Juga antara Murji’ah dan Wa’idiyyah (Mu’tazilah).
14.
Dalam soal keimanan, Wasathiyyah terlihat:
1) Antara posisi
Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah.
2) Antara Murji’ah dan
Jahamiyyah.
15.
Dalam menilaian perang saudara, yaitu:
1) Moderasi di antara
Rafidlah (Syi’ah) dan Khawarij.
16.
Wasathiyyah (moderasi) ini kata
Ibnu Taymiyah, menjadi posisi Islam di antara agama di dunia ini.
17.
Pendapat Ibnu Taymiyah dipaparkan dalam kitab Aqidah Wasithiyyah.
18.
Ketika membahas posisi Ahli Sunah wal Jamaah di antara aliran yang berkembang di
kalangan umat Islam.
19.
Posisi wasathiyah lebih
menarik jika diletakkan dalam konteks perdebatan teologi Ahli Sunnah wal Jamaah.
20.
Yang dalam pendapat Ibnu Taymiyyah disebut Ahli Kitab wal Sunnah.
21.
Ibnu Taymiyah menyatakan wasathiyyah dalam
masalah teologi adalah posisi Ahli
Salaf.
22.
Yakni para sahabat Nabi dan generasi sesudahnya.
23.
Dalam memahami akidah, Ahli Salaf sangat terikat dengan teks (nas) ayat al-Quran dan Hadis.
24.
Kelompok ini disebut juga Ahli Hadith, yang memiliki pemahaman tekstualis.
25.
Yang menolak takwil atau tahwil terhadap teks berkaitan sifat
Tuhan.
26.
Ahli Hadits menolak falsafah
yang mereka sebut sebagai ulum awa’il (ilmu-ilmu
orang kuno).
27.
Ilmu Kalam juga mereka
tolak, karena dipengaruhi falsafah Yunani atau Hellenisme yang mendistorsi akidah.
28.
Dalam tradisi Ahli
Hadits ini tidak jarang ditemukan kitab yang mengecam Ilmu Kalam.
1) Misalnya Dzamm al-Kalam (Mencela Kalam) karya
Abdullah Anshari (w. 1089).
2) Tahrim Nadhar fi Kutub Ahl Kalam (Mengharamkan Melihat Kitab Penganut Kalam), karya Ibn
Qudamah (w. 1223).
29.
Karena penolakan terhadap kalam itu, Ahli Hadits menyebut kepercayaan mereka dengan akidah.
30.
Mereka tidak mau memakai
istilah kalam atau ilmu kalam bagi pemahaman mereka
tentang keimanan
C. Ahli Hadits dan Ahli Ra’yi.
1. Cara berfikir tekstualis
dikecam oleh lawannya, Ahli Ra’yi.
2. Dengan
sebutan pejoratif Ahli Hasyw (orang
berlogika rendah dan ucapannya sulit dipahami) karena penolakannya terhadap
kalam.
31.
Ibnu Taymiyah dalam eksposisi akidahnya pakai dalil al-Quran dan
Sunnah termasuk dalam kelompok Ahli
Hadits yang punya akar pada posisi Ahmad bin Hanbal yang
anti-Mu’tazilah.
32.
Sebagai lawan dari Ahli
Hadits, maka Ahli Ra’y (rasionalis)
pakai pemahaman rasional, memanfaatkan khazanah Hellenisme, mempromosikan kalam dan takwil dalam memahami teks (nas).
33.
Mereka berpendapat kalam perlu dimanfaatkan dan takwil perlu dilakukan untuk
menjaga prinsip keadilan dan keesaan Tuhan.
34.
Mereka tidak jarang mewariskan literatur bernada membela kalam.
35.
Misalnya Istihsan
Khaudl fi ’Ilm Kalam, karya yang tidak jelas siapa penulisnya, meskipun
sering dinisbatkan kepada Asy’ari.
36.
Ahli Hadits menyebut
kelompok Ahli Ra’y dengan
sebutan yang lebih pejoratif, yakni Ahli
Bid’ah.
37.
Dalam konteks perdebatan antara Ahli Hadits dan Ahli
Ra’y, Ibnu Taymiyah menyebut Abu Hasan Asy’ari (wafat 935) tokoh Ahl al-Hadits.
38.
Asy’ariyyah (penganut Asy’ari), seperti Baghdadi, Baqillani dan Juwayni,
adalah Ahli Ra’y.
39.
Dalam pandangan Ibnu Taymiyyah, para Asy’ariyah telah menyimpang
dari posisi gurunya, yakni Asy’ari karena mengakomodasi kalam dan takwil dalam teologinya.
40.
Dalam kitab Aqidah
Wasithiyyah, Ibnu Taymiyyah tidak menyinggung ilmu kalam dan tidak
menyampaikan posisinya dalam masalah itu.
41.
Jelas posisinya bisa dikategorikan sebagai Ahli Hadits yang menurutnya
identik dengan Ahli Sunnah.
42.
Dalam perpektif ini, kita bisa menyatakan bahwa konsep Ahli Sunnah menurut Ibnu
Taymiyyah berbeda dengan konsep yang diyakini oleh para Asy’ariyyah, yang mengakomodasi kalam dan takwil.
43.
Wasathiyyah yang
dipromosikan oleh Ibnu Taymiyyah relevan dalam konteks trikotomi (2 ektrem dan 1
moderat).
44.
Dan bukan dalam konteks dikotomi (Ahli Ra’y dan Ahli
Hadits).
45.
Wasathiyah adalah posisi
ideal.
46.
Tetapi perlu diletakkan dalam konteks yang benar.
(Sumber Mohammad
Nurfatoni)
0 comments:
Post a Comment