Friday, July 28, 2017

148.SEJARAH

SEJARAH TAFSIR AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo
 
      Beberapa orang bertanya,”Bagaimanakah sejarah tafsir Al-Quran? Mohon dijelaskan sejarah tafsir Al-Quran? Profesor Quraish Shihab menjelaskan sejarah tafsir Al-Quran.
       Pada saat Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad dari Allah melalui malaikat Jibril, Nabi Muhammad berfungsi sebagai “mubayyin” yaitu pemberi penjelasan. Nabi menjelaskan kepada para sahabat tentang arti dan kandungan AlQuran, terutama ayat yang tidak dipahami.
      Keadaan ini berlangsung sampai Nabi wafat. Meskipun penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui. Karena riwayatnya tidak sampai kepada kita. Atau karena memang Nabi tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.
      Pada zaman Nabi. Para sahabat langsung menanyakan masalah yang tidak jelas kepada beliau. Setelah Nabi wafat, para sahabat  terpaksa melakukan ijtihad. Terutama yang memiliki kemampuan, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Kaab, dan Ibnu Masud.
     Ijtihad merupakan usaha sungguh-sungguh yang dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan atau simpulan hukum agama Islam mengenai kasus yang penyelesaiannya belum tertera dalam Al-Quran dan Hadis.
       Sebagian sahabat bertanya tentang sejarah nabi atau kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh Ahli Kitab yang telah memeluk Islam. Misalnya, Abdullah bin Salam, Kaab Al-Ahbar, dan lainnya. Hal ini merupakan benih lahirnya hadis “Israiliyat”.
     Kata “Israiliyat” arti harfiahnya “dari Israil”. Hadis Israiliyat bermakna sejumlah hadis yang berasal dari tradisi Yahudi-Kristen. Hadis Israiliyat umumnya berupa berbagai cerita dan tradisi non-Alkitab Yahudi dan Kristiani yang memberikan informasi atau interpretasi tambahan mengenai kejadian atau tokoh dalam kitab suci Yahudi.
     Para ahli hadis menggolongkan hadis Israiliyat ke dalam tiga kategori. Pertama, Hadis yang dinilai benar, karena wahyu dari Nabi Muhammad menegaskan hadis tersebut. Kedua, Hadis yang dianggap palsu, karena wahyu dari Nabi Muhammad menolak hadis tersebut. Ketiga, Hadis yang tidak dikenali benar atau salahnya.
       Para tokoh tafsir para sahabat mempunyai murid para “tabiin”. Tabiin merupakan penganut ajaran Nabi Muhammad generasi kedua setelah para sahabat. Tabiin adalah generasi sesudah Nabi Muhammad. Sahabat ialah pemeluk Islam yang hidup sezaman dengan Nabi  
      Para tokoh tafsir kalangan tabiin.  Said bin Jubair, dan Mujahid bin Jabr, di Mekah murid Ibnu Abbas. Muhammad bin Kaab, dan Zaid bin Aslam, di Madinah, murid Ubay bin Kaab. Al-Hasan Al-Bashriy, dan Amir Al-Syabi, di Irak murid  Abdullah bin Masud.
      Gabungan tiga sumber, yaitu penafsiran Nabi, para sahabat, dan tabiin, dirangkum menjadi satu disebut “Tafsir bi Al-Ma'tsur”. Zaman ini dikatakan periode pertama sejarah tafsir Al-Quran. Periode pertama berakhir tahun 150 Masehi.
   Mulai tahun 150 Masehi disebut Periode Tafsir Kedua. Pada periode kedua hadis beredar amat pesat. Bermunculan hadis palsu dan lemah di tengah masyarakat. Perubahan sosial semakin cepat, dan muncul beberapa masalah yang belum pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad, para sahabat, dan para tabiin.
      Pada awalnya, usaha penafsiran ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah bahasa serta arti yang dikandung dalam satu kosakata.
     Masyarakat terus berkembang dan bertambah pula porsi akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat AlQuran, bermunculan berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
      Keragaman tersebut ditunjang Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan para ulama “Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan sinar berbeda. Semakin banyak orang memandang dari sudut berbeda, akan semakin banyak kesan cahaya yang ditampilkan.”
      Para ahli berpendapat Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas. Kesan yang diberikan ayat Al-Quran mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Tetapi, ayat Al-Quran selalu terbuka untuk interpretasi baru. Ayat Al-Quran tidak bersifat tertutup dalam interpretasi tunggal.
     Beberapa corak penafsiran yang dikenal selama ini. Pertama,  Corak Sastra Bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk Islam, dan akibat kelemahan orang Arab di bidang sastra, sehingga dirasakan perlu menjelaskan  keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran dalam bidang sastra.
      Kedua, Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang memengaruhi dan masuk Islamnya penganut agama lain. Dengan sadar atau tidak masih meyakini beberapa hal kepercayaan lama mereka. Menimbulkan pendapat berbeda dalam penafsiran mereka.
      Ketiga, Corak Penafsiran Ilmiah, dengan kemajuan sains dan teknologi yang terjadi, para penafsir berusaha memahami ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan sains dan teknologi.
    Keempat, Corak Fiqih atau Hukum, karena berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya Mazhab Fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
    Kelima, Corak Tasawuf, karena timbulnya gerakan sufi sebagai reaksi  kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai “kompensasi” terhadap kelemahan yang dirasakan.
    Keenam, Bermula pada masa Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M), aneka corak mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada “Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan”.
    Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat Al-Quran berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, dan usaha mengatasi masalah berdasarkan petunjuk ayat Al-Quran. Dengan menampilkan pedoman ayat Al-Quran dalam bahasa yang mudah dipahami dan indah didengarkan. 
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

0 comments:

Post a Comment