Tuesday, November 14, 2017

475. BATAS

PEMBATASAN TAFSIR AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang "Kebebasan dan pembatasan dalam menafsirkan ayat Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Al-Quran adalah bukti kebenaran Nabi Muhammad dan petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, dan Al-Quran mempunyai berbagai macam keistimewaan.
     Salah satu keistimewaan Al-Quran adalah susunan bahasanya yang unik dan menakjubkan, serta pada saat yang sama mengandung makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, meskipun tingkat pemahaman mereka  berlainan.
     Redaksi ayat Al-Quran, seperti setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, yang memahami maksudnya adalah pemilik redaksi tersebut, sehingga  penafsiran ayat Al-Quran menimbulkan keanekaragaman, karena yang memahami ayat A-Quran secara pasti hanya Allah.
     Para sahabat Nabi yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, dan mengetahui konteksnya, serta memahami struktur bahasa dan arti kosakatanya, kadang kala berbeda pendapat dan keliru memahami maksud firman Allah.
      Para ulama menjelaskan bahwa “tafsir” adalah “"penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia”, dan bahwa “kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin dicapai, apabila pandangan hanya tertuju kepada kosakata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri”.
      Nabi mendapatkan tugas untuk menjelaskan maksud firman Allah kepada manusia, seperti dalam Al-Quran surah An-Nahl, surah ke-16 ayat 44.

بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

      “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.
      Penjelasan dari Nabi Muhammad pasti benar, karena didukung dengan bukti-bukti, misalnya terdapat teguran dari Allah dalam Al-Quran menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai “kurang tepat”.

      Al-Quran surah At-Taubah, surah ke-9 ayat 42.

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَاتَّبَعُوكَ وَلَٰكِنْ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ الشُّقَّةُ ۚ وَسَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَوِ اسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنْفُسَهُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ

      “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah,”Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu”. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta”.
      Al-Quran surah Ali Imran, surah ke-3 ayat 128.

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
  
   “Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim”.
      Al-Quran surah Abasa, surah ke-80 ayat 1.
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ

      “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling”.
     Semua “teguran” dari Allah kepada Nabi Muhammad mengandung arti bahwa beliau adalah “makshum” (terjaga dari berbuat kesalahan dan dosa).
     Maka mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan dari Nabi untuk memahami dan menafsirkan firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan, meskipun sebagian dari penafsiran Nabi adalah sekadar contoh konkret dalam masyarakat beliau, yang dapat dikembangkan oleh masyarakat berikutnya.
      Al-Quran surah Al-Fatihah, surah ke-1 ayat 7.

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
   
  “Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.  
     Misalnya ketika Nabi menafsirkan Al-Quran surah Al-Fatihah, surah ke-1 ayat 7 dalam kalimat, “maghdhubi 'alaihim” artinya “orang-orang Yahudi”, atau dalam Al-Quran surah Al-Anfal, surah ke-8 ayat 60 kata “quwwah” artinya “panah”.
      Al-Quran surah Al-Anfal, surah ke-8 ayat 60.

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَآخَرِينَ مِنْ دُونِهِمْ لَا تَعْلَمُونَهُمُ اللَّهُ يَعْلَمُهُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُونَ
     
     “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.
      Para ulama menjelaskan bahwa penafsiran Nabi terhadap ayat Al-Quran mengandung bermacam-macam cara, motif, dan hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat yang ditafsirkan.
      Misalnya, ketika Nabi menafsirkan “shalatil wustha” dengan “shalat Asar” dalam surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 238, penafsiran itu adalah penafsiran “muthabiq” artinya “sama dan sepadan” dengan yang ditafsirkan.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

      “Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) “salat wustha”. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk”.
    Sedangkan ketika Nabi menafsirkan “perintah berdoa”, beliau menafsirkannya dengan “beribadah” seperti dalam surah Al-Baqarah, surah Al-Mukmin, surah ke-40 ayat 60, penafsiran ini adalah penafsiran “talazum”, artinya setiap berdoa pasti beribadah dan setiap beribadah mengandung doa.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

      “Dan Tuhanmu berfirman,”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina”.
      Nabi ketika menafsirkan kata “akhirat” artinya “kubur”, penafsiran seperti ini dinamakan “tadhamun”, karena “kubur” adalah bagian dari “akhirat”, seperti dalam surah Ibrahim surah ke-14 ayat 27.

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ

      “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”.
     Penjelasan Nabi tentang arti ayat Al-Quran tidak banyak yang kita ketahui, karena riwayat yang diterima oleh generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagian tidak dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, dan karena Nabi  sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran.
      Sehingga generasi berikutnya harus berusaha untuk memahami ayat Al-Quran berdasarkan kaidah disiplin ilmu tafsir, dan berdasarkan kemampuan masing-masing, setelah memenuhi persyaratan tertentu.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment