Tuesday, November 14, 2017

476. BEBAS

KEBEBASAN TAFSIR AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Kebebasan dalam menafsirkan ayat Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Al-Quran memerintahkan umat manusia untuk merenungkan ayat-ayatnya dan mengecam terhadap orang yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar.
      Al-Quran diturunkan untuk umat manusia di mana pun dan kapan pun, sehingga manusia pada zaman modern dituntut untuk memahami Al-Quran seperti tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat pada zaman Nabi.
         Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh tingkat kecerdasannya, disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan ilmiah, serta oleh kondisi sosial, politik, dan lainnya, maka hasil pemikiran seseorang berpotensi selalu berbeda.
       Setiap orang diharapkan untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran, karena melaksanakan perintah Al-Quran sendiri, meskipun menghasilkan  pendapat yang berlainan harus ditampung, asalkan pemahaman dan penafsiran Al-Quran dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
      Batas dalam menafsirkan ayat Al-Quran adalah kebebasan yang bertanggung jawab, seperti yang diterapkan dalam setiap disiplin ilmu, apabila mengabaikan pembatasan dapat menimbulkan polusi pemikiran dan musibah dalam kehidupan.
      Misalnya, apabila setiap orang bebas berbicara dan melakukan praktik dalam bidang kedokteran atau melakukan analisis statistik tanpa mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut, maka kehidupan akan kacau.
      Al-Quran mengecam orang yang tidak memperhatikan kandungan isi Al-Quran, dan para sahabat Nabi kadang kala tidak mengetahui, berbeda pendapat, dan keliru dalam memahami maksud firman Allah, sehingga timbul aturan pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.
     Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman Allah berpendapat bahwa tafsir Al-Quran terdiri atas empat bagian, yang pertama, tafsir yang dapat dipahami secara umum oleh masyarakat Arab berdasarkan pengetahuan bahasa.
      Yang kedua, tafsir Al-Quran yang mudah dipahami oleh semua orang, yang ketiga, tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama, dan yang  keempat, tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
      Terdapat dua jenis pembatasan, yaitu yang menyangkut “materi” ayat Al-Quran (bagian keempat), dan yang menyangkut “syarat” yang harus dipenuhi oleh penafsir (bagian ketiga).
    Dari segi “materi” terdapat ayat Al-Quran yang hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya, apabila Rasul menerima penjelasan dari Allah.
     Penjelasan ini mengandung beberapa kemungkinan. Pertama, terdapat ayat Al-Quran yang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, misalnya arti dari Ya Sin, Alif Lam Mim, dan sebagainya.
      Pendapat ini berdasarkan firman Allah yang membagi ayat Al-Quran ke dalam ayat “muhkam” (jelas) dan “mutasyabih” (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui “takwil” (arti)-nya kecuali Allah.
      Al-Quran surah Ali Imran, surah ke-3 ayat 7.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ

      “Dia yang menurunkan Al-Kitab (Al-Quran) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang “muhkamaat” itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) “mutasyaabihaat”. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang “mutasyabihat” untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata,”Kami beriman kepada ayat-ayat yang “mutasyabihat”, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.

      Kedua, terdapat ayat Al-Quran yang hanya diketahui artinya secara umum artinya, dipahami sesuai dengan bentuk “teks” redaksinya, tetapi tidak dapat dipahami maksudnya, seperti masalah metafisika, perincian ibadah “an sich”, dan sebagainya, yang berada di luar wilayah pemikiran akal manusia.
      Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 Masehi), seorang ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip “Tidak menafsirkan ayat Al-Quran yang kandungannya tidak terjangkau oleh akal manusia, dan ayat  Al-Quran yang samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran."
     Dari segi syarat “penafsir”, terutama penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang dibolehkan untuk menafsirkan ayat Al-Quran.
      Pertama, pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; kedua, pengetahuan tentang ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis Nabi, dan ushul fiqh; ketiga, pengetahuan tentang prinsip pokok keagamaan; dan keempat, pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.
      Para ulama menjelaskan bahwa “menafsirkan” berbeda dengan “berdakwah” atau “berceramah” berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran, artinya seseorang yang tidak memenuhi syarat sebagai penafsir, dibolehkan menyampaikan uraian tafsir, asalkan uraian yang ditampilkan berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat.
      Misalnya, seseorang yang membaca kitab Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie, atau Tafsir Al-Azhar karya Buya Hamka, kemudian  menyampaikan “kesimpulan” yang dibacanya kepada masyarakat, maka orang itu bukan berfungsi menafsirkan ayat Al-Quran, tetapi berdakwah.
       Para ulama menjelaskan faktor penyebab  yang mengakibatkan kekeliruan dan kesalahan dalam penafsiran Al-Quran, yaitu subjektivitas si mufasir, keliru dalam menerapkan metode atau kaidah, kedangkalan pengetahuan ilmu alat, kedangkalan pengetahuan dalam materi yang dibahas, tidak memperhatikan konteksnya, “asbabun nuzul”, hubungan antar-ayat, dan keadaan sosial masyarakat, serta tidak memperhatikan faktor pribadi pembicara dan pendengarnya.
      Kesimpulannya, karena semakin luas dan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dibutuhkan kerja sama para ahli dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama-sama menafsirkan ayat AlQuran.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment