SISTEM MANQUL LDII
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

A.
LDII, Manqul, dan Guru Era Digital
1. Oleh Prof Syafiq A
Mughni.
2. PWMU.CO –
Pada tahun 2011 ada pertemuan diselenggarakan atas kerja sama antara Fakultas
Syariah IAIN—kini UINSA—Surabaya dan DPW LDII Jawa Timur.
3. Lalu pada 19 Mei 2012,
saya diminta lagi untuk memberi ceramah.
4. Pesertanya adalah DPD
LDII se-Jatim.
5. Di samping itu, ada 4
orang peserta dari Malaysia.
6. Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII) didirikan pada tanggal 3 Januari 1972 di Surabaya, Jawa Timur
7. Dengan nama Yayasan
Karyawan Islam (Yakari).
8. Tahun 1981, nama
Yakari diubah menjadi Lembaga Karyawan Islam (Lemkari).
9. Tahun 1990, nama
Lemkari yang sama dengan akronim Lembaga Karate-Do Indonesia, diubah menjadi
Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
10. Beberapa sumber
menyatakan organisasi itu bermula dari kelompok dengan nama Darul Hadits dan
Islam Jamaah.
11. Tetapi sumber resmi
LDII menyatakan tidak ada hubungan dengan 2 nama itu.
B. Ciri Khas LDII
1. Ciri khas lembaga itu
adalah sistem kepemimpinan, yakni keamiran, yang memiliki otoritas keagamaan.
2. Sementara dewan
pimpinan memiliki otoritas manajemen organisasi.
3. Dua otoritas itu
bersifat otonom.
4. Ciri khas lain adalah
ajarannya tentang keabsahan keberagamaan.
5. Seseorang secara sah
bisa disebut sebagai Muslim apabila memperoleh ajaran agama secara manqul (dipindahkan).
6. Ia harus belajar dari
seorang guru, yang telah belajar dari guru lain sebelumnya secara personal.
7. Demikian seterusnya,
bersambung sampai pada Nabi Muhammad SAW.
8. Tidak sah keislaman
seseorang yang belajar dari buku tanpa guru.
9. Ketersambungan
pembejaran inilah yang disebut dengan manqul.
C. LDII Tak Lagi Manqul?
1. Dalam pertemuan itu,
saya sempat bertanya apakah ajaran manqul itu
tetap bertahan sampai sekarang.
2. Mereka menjawab tidak.
3.
Jika jawaban itu benar, saya bisa memahami bahwa telah terjadi
perubahan pemikiran di kalangan lembaga itu, dari eksklusifisme (ketertutupan)
ke arah inklusifisme (keterbukaan).
4.
Dulu ‘menajiskan’ orang di luar kelompoknya, sekarang telah
‘menyucikan’ sehingga tidak perlu mencuci masjid mereka yang tersentuh oleh
kaki orang lain di luar mereka.
5.
Zaman telah berubah, pemikiran keagamaan
pun ikut berubah.
6.
Ini juga berlaku bagi kelompok-kelompok
lain di kalangan umat Islam.
7.
Manqul dan
Perkembangan Media Belajar
8. Ajaran manqul tampaknya tidak bisa
bertahan akibat perkembangan media pengajaran.
Pada
awal perkembangan Islam, media pembelajaran sangat terbatas dan sifatnya sangat
personal.
9.
Seorang murid belajar langsung secara
personal. Karena itu, relasi antara guru dan murid sangat penting.
10.
Seorang menjadi ‘alim (berilmu) karena belajar
dari guru.
11. Dalam
catatan sejarah, Ahmad bin Hanbal, misalnya mengajarkan agama secara lisan dan
melarang murid-muridnya menulis fatwa-fatwanya karena ingin menghindari
tercampurnya hadits-hadits Nabi dengan fatwanya.
12. Dalam
perkembangan selanjutnya, muncul tradisi manuskrip (tulisan tangan).
13. Ilmu
agama ditulis dalam bentuk buku, sehingga seseorang bisa belajar tidak hanya
melalui lesan tetapi juga pembacaan.
14. Tetapi
karena ditulis dengan tangan, maka jumlah buku sangat terbatas.
15. Seorang ‘alim telah menulis buku dengan
tangan, dan di-copy dengan
tangan pula. Mendapatkan manuskrip tidaklah mudah karena jumlahnya sangat
sedikit.
16. Pada
masa selanjutnya, teknologi media terus berkembang; lahirlah mesin cetak.
17.
Buku-buku telah dicetak dalam jumlah
yang banyak, sehingga relatif mudak didapatkan.
18.
Dengan demikian, semakin banyak orang
mendapatkan ilmu agama dari buku.
19.
Untuk mempelajari pikiran-pikiran Imam
al-Ghazali, misalnya, orang cukup dengan membaca buku-bukunya.
20.
Pembaca bisa tetap tinggal di daerah
masing-masing dan mempelajari pikirannya dari buku yang didapatkan.
21.
Di masa sekarang, terjadi revolusi
komunikasi dan informasi dengan lahirnya era digital.
22.
Semakin banyak orang memanfaatkan
internet untuk memperoleh ilmu agama.
23.
Pelajar agama bisa membuka situs-situs
di internet untuk mendapatkan pengetahuan agama dengan segala macam coraknya.
24.
Orang bisa mempelajari aliran-aliran
keagamaan, mulai dari yang konservatif sampai yang liberal.
25.
Dari yang tekstual sampai kontekstual.
26.
Dari yang tradisional sampai modern.
Dari konservatif sampai liberal.
27.
Bahkan, orang bisa belajar menjadi
fundamentalis atau radikal, relijius maupun sekular, dari dunia maya
(internet).
D.
Era Digital,
Siapa Guru Kita?
1. Revolusi
komunikasi itu berakibat ketidakjelasan siapa sesungguhnya guru kita. Kita
belajar dari banyak sumber.
2. Guru
bukanlah satu-satunya pemegang otoritas pembelajaran.
3. Situasi
ini memiliki akibat lanjutan.
4. Yakni
kurangnya penghormatan terhadap guru. Kita belajar banyak dari guru, teman,
buku, dan internet.
5. Kitab-kitab
yang mengajarkan kode etik hubungan antara guru dan murid, seperti kitab Ta’lim al-Muta’allim, karya
al-Zarnuji, tidak lagi terbayangkan oleh generasi pelajar saat ini.
6. Karena
itu, wajar apabila jamaah LDII tidak lagi bergantung pada sistem manqul dalam memperoleh ilmu
agama.
7. Otoritas
guru agama telah ditandingi oleh media informasi yang sangat revelusioner dan
massif.
8. Ditinggalkannya
sistem manqul memiliki
implikasi yang panjang.
9. Misalnya
hilangnya pengkafiran dan penajisan terhadap sesama Muslim.
10. Jika
demikian, masihkah relevan penghukuman sesat terhadap jamaah LDII?
11. Jika
persoalannya adalah persaingan pengaruh, maka itu tentu bersifat sosial dan
bukan lagi teologis.
12. Seusasi
memberikan ceramah pada sore 19 Mei itu, ada 7
pengurus LDII yang mengajak saya berfoto.
13. Mengapa?
14. Mereka
adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah di Jawa Timur.
(Sumber internet)
0 comments:
Post a Comment