PERANG MU’TAH,
PERANG YANG ANEH 3.000 PASUKAN ISLAM
MELAWAN 200.000 PASUKAN ROMAWI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Pada Jumadil-awal tahun 8 Hijriah, bertepatan Agustus 629 Masehi, Nabi berumur 61 tahun, terjadi Perang Muktah, yaitu perang terbesar pada zaman Nabi, serta perang yang menegangkan dan mencengangkan, sebagai pembuka jalan menaklukkan negeri di luar Arab Saudi.
Muktah adalah nama sebuah desa di daerah perbatasan masuk wilayah negeri Syam, dan penyebab Perang Mu’tah adalah dibunuhnya utusan Nabi, Haris bin Umar, ketika dalam perjalanan mengirimkan surat kepada pemimpin Bushra, di tengah perjalanan dihadang oleh Syurahbil bin Amr, lalu Haris bin Umar dibawa menghadap ke Qaishar dan digorok lehernya.
Kemudian Nabi menyiapkan pasukan sejumlah 3.000 orang, pasukan Islam terbesar selain Perang Parit, dan Zaid bin Haritsah dipercaya sebagai Panglima Perang, sebelum berangkat Nabi bersabda,” Jika Zaid bin Haritsah gugur, akan digantikan Jakfar bin Abi Thalib, Jika Jakfar bin Abi Thalib gugur akan digantikan Abdullah bin Rawahah.”
Zaid bin Haritsah membawa bendera perang, berupa selembar kain berwarna putih yang bertulisan hitam, “Lailahaillallah, Muhammad Rasullullah.” Artinya, “Tidak ada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah”.
Pasukan Islam berangkat menuju tempat terbunuhnya Haris bin Umar untuk mengajak penduduk masuk Islam, apabila mereka tidak mau, maka pasukan Islam harus memohon pertolongan kepada Allah untuk memerangi mereka.
Nabi bersabda, ”Dengan nama Allah, perangi di jalan Allah, orang-orang yang kafir kepada Allah, jangan kalian berkhianat, jangan berubah pikiran, jangan membunuh anak-anak, wanita, orang tua renta, dan orang yang menyepi di pertapaan rahib, jangan menebang pohon, dan jangan merobohkan bangunan. “
Pasukan Islam siap berangkat, lalu umat Islam mengerumuninya, ketika Abdullah bin Rawahah, salah satu komandan perang berpamitan sambil menangis, orang-orang bertanya, ”Mengapa engkau menangis?” Abdullah bin Rawahah berkata, “Demi Allah, aku menangis, bukan karena cinta dunia atau rindu kepada kalian, tetapi aku pernah mendengar Nabi membaca Al-Quran, “Dan tidak ada seorang pun di antara kalian, melainkan mendatangi neraka, hal itu suatu kepastian dari Tuhanmu.” Abdullah bin Rawahah melanjutkan, “Aku tidak tahu, apakah yang terjadi denganku, setelah aku meninggal.”
Nabi Muhammad mengantarkan pasukan Islam sampai di Tsaniyatul Wada dan mengucapkan selamat jalan, kemudian pasukan Islam bergerak ke utara dan berhenti di Muan, termasuk wilayah Syam, daerah perbatasan dengan Hijaz utara, kemudian pasukan Islam mengetahui bahwa Heraklius membawa tentara sebanyak 200.000 orang sedang menunggu.
Pasukan Islam kaget dan tercengang, tidak membayangkan di daerah yang sangat jauh berhadapan dengan musuh sebanyak itu, yaitu 3.000 pasukan Islam melawan 200.000 pasukan musuh, perang yang aneh dan langka.
Pasukan Islam bingung, ketika dua hari pasukan Islam bermarkas di Muan, ada yang berpikir mengirimkan surat kepada Nabi ingin mendapatkan bantuan atau perintah tertentu.
Tetapi, komandan Abdullah bin Rawahah memberikan motivasi,”Wahai semua orang, demi Allah, apa yang tidak kalian sukai dalam bepergian ini, justru itulah yang kita cari, yaitu mati syahid.”
Abdullah bin Rawahah melanjutkan, “Kita tidak berperang dengan manusia, karena jumlah, kekuatan, dan banyaknya orang, tetapi kita berperang karena agama Allah, maka Allah akan memuliakan kita, marilah kita berangkat karena di sana ada kebaikan kita menang atau mati syahid.“
Pasukan Islam maju ke medan perang dengan berbelok dan bermaskas di Mu’tah, pasukan sayap kanan dipimpin oleh Qutbah bin Qatada, dan pasukan sayap kiri dipimpin oleh Ubadah bin Malik, sungguh aneh, 3.000 pasukan Islam berhadapan dengan 200.000 pasukan Romawi, sebuah pertempuran yang disaksikan dunia, sangat langka dan mengherankan.
Zaid bin Haritsah membawa bendera perang, dia bertempur gagah berani, terkena tombak musuh, dia gugur mati syahid, kemudian bendera perang dipegang oleh Jakfar bin Abi Thalib, dia maju bertempur luar biasa, dia gugur mati syahid, lalu bendera perang diambil oleh Abdullah bin Rawahah, dia pun gugur mati syahid.
Tsabit bin Arqam mengambil bendera perang, dia berkata, “Wahai semua orang, angkatlah seseorang di antara kalian menjadi panglima.” ”Kamu saja,” teriak seseorang. “Aku tidak sanggup, “ teriaknya, kemudian Khalid bin Walid mengambil bendera perang, menjadi panglima perang.
Khalid bin Walid bertempur gagah berani, “Sembilan pedang patah di tanganku, yang kupegang tinggal satu pedang lebar model Yaman,” kata Khalid bin Walid sesuai perang.
Nabi berada di Madinah mendapatkan wahyu dan bersabda, ”Zaid bin Haritsah membawa bendera, dia gugur, lalu Jakfar bin Abi Thalib mengambilnya, dia pun gugur, Abdullah bin Rawahah memegangnya, dia gugur,” kata Nabi sambil berlinangan air mata, “Hingga salah satu pedang Allah memegangnya, lalu Allah memberikan kemenangan kepadanya,” lanjut Nabi.
Khalid bin Walid mengubah komposisi pasukan, yaitu pasukan yang berada di depan dipindah ke belakang, dan pasukan yang berada di sebelah kiri di pindah ke kanan, begitu sebaliknya, maka pasukan musuh kaget dan kebingungan, karena mereka mengira pasukan Islam mendapatkan bantuan tentara yang baru.
Pasukan Islam mundur teratur, tetap dalam posisi berperang, pasukan musuh tidak berani mengejar, karena menganggapnya sebuah tipuan, kemudian pasukan Romawi balik ke negerinya, dan pasukan Islam pulang ke Madinah dengan selamat.
Setelah pertempuran, maka pamor pasukan Islam naik, semua bangsa Arab kagum, karena sejumlah 3.000 tentara Islam mampu melawan 200.000 tentara Romawi, sungguh luar biasa, kemudian banyak suku dan kabilah Arab masuk Islam, dan Perang Mu’tah adalah awal dari gerakan pasukan Islam menguasai wilayah yang luas.
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004
0 comments:
Post a Comment