MEMAHAMI SENI SUARA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Seni suara menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
Kata “seni” (menurut KBBI V) bisa diartikan “halus (tentang rabaan)”, “kecil dan halus”, “tipis dan halus”, “lembut dan tinggi (tentang suara)”, “mungil dan elok (tenang badan)”, “keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari segi kehalusannya, keindahannya, dan sebagainya)”, dan “karya yang diciptakan dengan keahlian yang luar biasa, seperti tari, lukisan, ukiran”.
Kata “suara” (menurut KBBI V) bisa diartikan “bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia (seperti pada waktu bercakap-cakap, menyanyi, tertawa, dan menangis)”, “bunyi binatang, alat perkakas, dan sebagainya”, “ucapan (perkataan)”, “bunyi bahasa (bunyi ujar)”, “sesuatu yang dianggap sebagai perkataan (untuk melahirkan pikiran, perasaan, da sebagainya)”, “pendapat”, pernyataan (setuju atau tidak)”, dan “dukungan (dalam pemilihan)”.
Sebagian ulama menjadikan alasan melarang atau “memakruhkan” nyanyian, yaitu surat Al-Isra (17): 64, Al-Najm (53): 59-61, dan Lukman (31): 6.
Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 64.
وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ وَأَجْلِبْ عَلَيْهِمْ بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ ۚ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan “ajakan suaramu”, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka”.
Al-Quran surah An-Najm, surah ke-53 ayat 59-61.
أَفَمِنْ هَٰذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلَا تَبْكُونَ وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kamu “melengahkan” (nya)?”
Al-Quran surah Lukman, surah ke-31 ayat 6.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا ۚ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan “perkataan yang tidak berguna” untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan”.
Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 64 arti “suaramu” adalah “nyanyian”, sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa membatasi “suara” dengan “nyanyian” adalah tidak berdasar, apabila diartikan nyanyian, maka itu adalah “nyanyian setan”.
Dalam Al-Quran surah An-Najm, surah ke-53 ayat 59-61 oleh sebagian ulama yang melarang seni suara, kata “samidun” diartikan “keadaan menyanyi-nyanyi”, dan arti ini tidak disepakati oleh para ulama, karena kata “samidun” meskipun digunakan oleh suku Himyar (salah satu suku bangsa Arab) yang artinya “keadaan menyanyi-nyanyi”.
Dalam kamus bahasa, kata “samidun” berasal dari akar kata “samada” yang artinya “berkisar pada berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan”, atau secara “majazi” bisa diartikan “serius” dan “konsentrasi”, sehingga tidak memperhatikan yang lainnya.
Maka kata “samidun” dalam ayat itu dapat diartikan “lengah”, karena seorang yang lengah biasanya serius dalam menghadapi sesuatu dan tidak mengindahkan yang lainnya.
Dalam Al-Quran terjemahan oleh Departemen Agama RI kata “samidun” diartikan “lengah”, apabila dibatasi dalam arti “nyanyian”, maka nyanyian yang dikecam adalah yang dilakukan oleh orang yang menertawakan adanya hari kiamat, dan melengahkan mereka (dari peristiwa kiamat yang seharusnya memilukan mereka).
Sebagian ulama mengartikan, “Lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna) dalam Al-Quran surah Lukman, surah ke-31 ayat 6 diartikan sebagai “nyanyian”, sehingga mereka menolak seni suara.
Sebagain ulama berpendapat, “Lahwal hadits” bukan “nyanyian”, apabila diartikan “nyanyian”, maka yang dikecam adalah “kata-kata yang tidak berguna” untuk menyesatkan manusia, sehingga masalahnya bukan pada nyanyiannya, tetapi pada dampaknya.
Sejarah membuktikan ketika Nabi datang ke Madinah disambut dengan lagu-lagu yang dinyanyikan oleh kaum Ansar.
طلع البدر علينا من ثنيات الوداع وجب الشكر علينا ما دعى لله داع أيها المبعوث فينا جئت بالأمر المطاع جئت شرفت المدينة مرحبا يا خير داع
“Wahai bulan purnama yang terbit kepada kita. Dari lembah Wadā‘. Dan wajiblah kita mengucap syukur. Di mana seruan adalah kepada Allah. Wahai engkau yang dibesarkan di kalangan kami. Datang dengan seruan untuk dipatuhi. Anda telah membawa kemuliaan kepada kota ini. Selamat datang penyeru terbaik ke jalan Allah”.
Para ulama berpendapat bahwa nyanyian yang dibolehkan adalah nyanyian yang dapat membangkitkan semangat dan kalimatnya sejalan dengan ajaran Islam.
Para sahabat meriwayatkan bahwa dua orang wanita mendendangkan lagu yang isinya mengenang para pahlawan yang telah gugur dalam Perang Badar sambil menabuh gendang.
Di antaranya syairnya adalah, “Dan kami mempunyai Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok”. Mendengar hal itu Nabi menegurnya mereka sambil bersabda, “Adapun yang demikian, maka jangan kamu ucapkan, karena tidak ada orang yang mengetahui secara pasti apa yang terjadi besok, selain Allah”.
Meskipun ayat Al-Quran ditegaskan oleh Allah bukan syair atau puisi, tetapi Al-Quran terasa dan terdengar mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya, karena huruf dan kata-kata yang dipilih melahirkan keserasian bunyi, dan kumpulan kata-kata itu melahirkan keserasian irama dalam rangkaian kalimat ayatnya.
Al-Quran memperhatikan nada dan langgam ketika memilih kata-kata yang digunakan, setelah terlebih dahulu memperhatikan kaitan antara kandungan kata dan pesan yang ingin disampaikannya.
Sebelum seseorang terpesona dengan keunikan dan kemukjizatan kandungan Al-Quran, terlebih dahulu dia akan terpukau oleh beberapa hal yang berkaitan dengan susunan kata-kata dan kalimatnya, antara lain menyangkut nada dan langgamnya.
Al-Quran surah Asy-Syam, surah ke-91 ayat 1-10.
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.
Masih banyak yang lainnya, misalnya surat Asy-Syams, atau Adh-Dhuha atau Al-Lahab, surat An-Naziat ayat 15-26, dan lainnya.
Al-Quran menunjukkan adanya nada dan irama yang unik, dan hal ini berarti bahwa Allah sendiri berfirman dengan menyampaikan kalimat yang memiliki irama dan nada, yang oleh para ulama dinamakan “musik Al-Quran”.
Hal itu belum ditinjau dari segi “ilmu tajwid” yang mengatur tentang panjang pendeknya nada bacaan, dan tebal tipisnya huruf, serta Nabi bersabda,” Perindahlah Al-Quran dengan suaramu”.
Kesimpulannya, bahwa Al-Quran tidak melarang untuk dinyanyikan dengan suara yang merdu, sehingga menyanyi secara umum tidak terlarang, yang dilarang adalah nyanyian yang isinya tidak sejalan dengan tuntunan ajaran Islam.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.
0 comments:
Post a Comment