Wednesday, July 24, 2019

2747. HAKIKAT QATH;I DAN ZHANNY


HAKIKAT QATH’I DAN ZHANNY
Oleh: Drs. H.M.  Yusron Hadi, M.M.

         Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan pendapat para ulama tentang hakikat Qath’i dan Zhanny?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
1.    Ayat “qath’i” adaah ayat yang bersifat “pasti”.
2.    Ayat “zhanny” adalah ayat yang bersifat “tidak pasti”.
3.    Ayat “qathi dalalah” adalah ayat yang “pasti sumbernya” dan “pasti kandungan maknanya”.
4.    Proses yang dilalui sehingga suatu ayat Al-Quran dapat dinilai sebagai “qath’i dalalah” adalah “ayat yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami dari teksnya, tidak mengandung kemungkinan takwil, dan tidak ada tempat (peluang) untuk memahami maknanya, selain makna tersebut dari teks tersebut”.
5.    Sebagian ulama mendefinisikan “qath’i dalalah” adalah “sesuatu yang menunjuk kepada hukum dan tidak mengandung kemungkinan atau makna selainnya.”
6.    Ulama yang lain mendefinisikan “qath’i dalalah” adalah “tidak adanya kemungkinan untuk memahami dari suatu lafal, kecuali maknanya yang dasar itu.”
7.    Para ulama berkata,”Sangat jarang ada sesuatu yang pasti dalam dalil syara, jika berdiri sendiri, karena apabila dalil syara’ tersebut bersifat ahad, maka jelas tidak dapat memberikan kepastian”.
8.    Karena “ahad” sifatnya “zhanny” (tidak pasti), sedangkan apabila dalil tersebut bersifat mutawatir lafalnya, maka untuk menarik makna yang pasti dibutuhkan “premis” (muqaddimat) yang tentunya harus bersifat “qathi” (pasti).
9.    Dalam hal ini, premis tersebut harus bersifat mutawatir, yang tidak mudah ditemukan, karena kenyataan membuktikan bahwa premis-premis tersebut semuanya atau sebagian besarnya bersifat ahad yang artinya “zhanny” (tidak pasti).
10. Sesuatu yang bersandar kepada “zhanny” (tidak pasti), tentu akan menghasilkan sesuatu yang “zhanny” (tidak pasti) pula.
11. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud “muqaddimat” atau “premis-premis” adalah berikut ini.
1)    Riwayat kebahasaan.
2)    Riwayat yang berkaitan dengan gramatika (nahwu).
3)    Riwayat yang berkaitan dengan perubahan kata (sharaf).
4)    Redaksi yang dimaksud bukan kata “bertimbal’ (ambigu/musytarak).
5)    Redaksi yang dimaksud bukan kata “metaforis” (majaz).
6)    Tidak mengandung peralihan makna.
7)    Sisipan (idhmar).
8)    Pendahuluan dan pengakhiran (taqdim wa ta’khir).
9)    Pembatalan hukum (nasikh).
10) Tidak mengandung penolakan yang logis.

12. Mulai ke-1 sampai ke-3 semuanya bersifat “zhanny” (tidak pasti), karena riwayat yang menyangkut hal-hal tersebut kesemuanya “ahad’.
13. Mulai ke-4 sampai ke-10 hanya dapat diketahui melalui “al-istiqra' al-tam” (metode induktif yang sempurna) dan hal ini mustahil.
14.  Yang dapat dilakukan hanya “al-istiqra’ naqish” (metode induktif yang tidak sempurna) dan ini tidak menghasilkan kepastian.
15. Dengan kata lain, yang dihasilkan adalah sesuatu yang bersifat “zhanny” (tidak pasti).

Daftar Pustaka
1.    Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2.    Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3.    Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4.    Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5.    Tafsirq.com online.

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment