LELAKI
HARUS BERANI BERJUANG
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

1. Seorang
kawan alumni memberi kabar akan sowan ke Gus Baha — sosok yang namanya sudah
saya dengar cukup lama, tapi belum sekalipun saya menjumpainya — di
kediamannya, di Rembang.
2. Saya
sempat bertanya, terkait apa yang akan dia lakukan saat sowan ke Rembang.
3. Dia
menjawab, ada ngaji Tafsir Jalalain yang diampu Gus Baha.
4. Dia
mengikutinya.
5. Sekaligus
ingin mengajak saya, kalau mau.
6. Saya mengiyakan.
7. Kami
berangkat bersama menuju Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Rembang— kediaman dan lokasi
Gus Baha menggelar kajian tafsir.
8. Di
perjalanan, pikiran saya terlempar ke berbagai macam hal tentang Gus Baha.
9. Nama
Gus Baha sering saya dengar beberapa tahun lalu.
10. Terutama
saat Gus Baha, waktu itu punya rutinan ngaji di beberapa tempat di Bojonegoro.
11. Tidak
mudah bagi saya untuk berjumpa.
12. Seperti
penuturan sejumlah kawan, Gus Baha tak mudah ditemui.
13. Gus Baha
tidak mau ada pengumuman atau poster apa pun jika ada pengajian menghadirkan
dirinya.
14. Gus
Baha adalah satu di antara kiai yang menjauhi popularitas.
15. Bahkan,
kerap mengkritik orang-orang yang mencari popularitas dan uang dari berjualan
agama.
16. Sangat
sulit mencari sosok seperti Gus Baha di era seperti saat ini.
17. Sebagai
mufassir dengan kemampuan di atas rata-rata orang seusianya, sangat mudah bagi
Gus Baha untuk menjadi orang terkenal.
18. Namun
justru, Gus Baha sangat menjauhi itu — dan kerap mengkritik mereka yang mencari
hidup dari agama.
19. Nama
Gus Baha kian santer terdengar ketika sejumlah tokoh populis sering menyebut
namanya.
20. Ustad
Adi Hidayat dan Puthut EA sering menyebut namanya.
21. Bahkan,
mereka berdua, konon, mendaulat Gus Baha sebagai sosok guru.
22. Pada
sebuah kesempatan lain, Prof. Quraisy Syihab pernah berkata, “Sulit ditemukan
orang yang sangat memahami dan hafal detail Al-Qur’an hingga detail fiqh yang
tersirat dalam ayat Al-Qur’an seperti Pak Baha.”
23. Sejumlah
penyebutan dan pengakuan kian membikin nama Gus Baha jadi perbincangan.
24. Di
medsos maupun dunia nyata.
25. Terutama
di salah satu lingkaran pertemanan saya yang cukup kental membahas geliat tokoh
keagamaan.
26. Seorang
kawan, mengatakan pada saya Gus Baha adalah Wali.
27. Uniknya,
itu dikatakan kawan yang bukan sosok tradisionalis, tapi teramat ultra
modernis.
28. Menjelang
Zuhur yang sejuk, kami sampai di Narukan, Kragan, Rembang.
29. Turun
dari kendaraan, saya sempat ke belakang dan mengisap sebatang kretek.
30. Sambil
mengamati berbagai pemandangan di sekitar.
31. Sejumlah
orang bersarung dan berpeci hitam terlihat mondar-mandir di lingkungan
tersebut.
32. Mereka
datang dari berbagai kota.
33. Di antaranya
Tuban dan Bojonegoro.
34. Kebanyakan,
Gus pondok hingga pengasuh pesantren.
35. Sambil
membawa kitab tebal Tafsir Jalalain, mereka memasuki surau dengan cepat.
36. Dari
belakang, saya pun mengikutinya.
37. Memasuki
sebuah ruang banyak orang sudah duduk menunggu kedatangan sang guru.
38. Cukup
lama orang-orang dalam ruangan bercengkrama sambil menanti.
39. Suasana
tiba-tiba hening ketika sosok berbaju putih duduk di depan meja yang sudah
disiapkan.
40. Perangainya
tenang dan fokus.
41. Beliau
KH. Bahauddin Nursalim.
42. Belum
tampak tua.
43. Bahkan
terlihat sangat muda.
44. Saya
yang kebetulan mengambil tempat duduk di sebelah kiri meja — hanya 2 baris dari
meja Gus Baha — memiliki view cukup jelas untuk melihat sosoknya dari arah
samping.
45. Beberapa
santri meletakkan ponsel di depan Gus Baha merekam apa yang beliau jelaskan
hari itu.
46. Saya baru
sadar, kenapa video Gus Baha sulit ditemukan di YouTube.
47. Kalaupun
ada, pasti hanya berbentuk suara dan sebuah foto diam.
48. Mayoritas
santri memilih merekam suara.
49. Sesaat
setelah duduk, tanpa basa-basi, Gus Baha langsung membuka kitab dan mulai
penjelasan, tanpa menatap ke sekitar.
50. Semacam
kekhasan Gus Baha saat mengaji.
51. Selain
membahas yang tersurat dalam kitab, Gus Baha sering mengirim pesan tersirat kepada
para santri.
52. Yang
berkaitan langsung pada bab kitab atau tidak berkaitan secara langsung.
53. “Lanang
tenan iku gak wedi gak ndue duwit,” kalimat itu tiba-tiba membombardir dinding
musala, lalu disusul gelak tawa.
54. Lelaki
sejati itu tidak takut tak punya uang.
55. Seorang
lelaki, kata Gus Baha, harus menjadi petarung.
56. Bukan
petarung dalam hal fisik.
57. Melainkan
dalam hal keberanian.
58. Hidup
harus berani.
59. Harus
ada unsur berjuang.
60. Setidaknya
berjuang melawan rasa takut tidak punya uang.
61. Toh setiap manusia sudah ditanggung rezekinya
oleh Allah.
62. Saya
tidak tahu apakah kalimat dari Gus Baha ada pada pembahasan kitab atau tidak.
63. Tapi,
banyak yang meyakini, pesan-pesan sering beliau munculkan begitu saja.
64. Di tengah sesi pembacaan kitab.
65. Peserta
ngaji memang semuanya laki-laki.
66. Dan
kepemilikan uang, kerap menjadi masalah bagi seorang lelaki.
67. Terlebih
jika sudah berumah tangga.
68. Mungkin
Gus Baha tahu.
69. Karena
itu, ia menyampaikannya secara tegas.
70. Semua
santri yang datang, tentu punya masalah perihal uang.
71. Dan uang,
sejak dulu hingga sekarang, selalu menjadi momok mencemaskan bagi setiap orang.
72. Dan
itu harus dilawan dengan keberanian.
73. Tentu
saja, keberanian untuk hidup.
74. “Lelaki
harus punya mental petarung,” imbuhnya, yang sekaligus seperti menampar hati.
75. Lelaki
harus punya mental petarung adalah kalimat yang menghentak dalam dada saya.
76. Semacam
menusuk dan ingin terpatri dalam hati.
77. Laki-laki
adalah pejuang.
78. Bukan
penakut.
79. Petarung:
setidaknya bertarung melawan ketakutan.
80. Sebab
hidup, sudah ada garis takdir.
81. Sehingga
sebenarnya, yang dibutuhkan hanya berani berjuang dan memperjuangkan saja.
82. Apapun
hasilnya, bukan lagi urusan manusia.
83. Unsur
kata berjuang dan berani itu, tentu penafsirannya sangat luas.
84. Berani
berjuang demi pendidikan, berani berjuang demi keluarga, hingga berani berjuang
demi cinta, adalah beberapa di antaranya.
85. Iya, lelaki
harus berani berjuang.
(Sumber: internet)
0 comments:
Post a Comment