RAPID
TEST DAN SWAB TEST
Oleh:
Drs. H. M. Yusron Hadi, MM

1. Rapid
Test
2. Oleh :
Dahlan Iskan
3. Test
kilat telah jadi bisnis tersendiri.
4. Juga
telah menjadi sumber pengurasan anggaran negara dan daerah.
5. Hanya
satu daerah yang tidak menganggarkan pembelian alat rapid test: Sumatera Barat.
6. Alasan
utamanya sangat ilmiah: "Rapid test tidak bisa dipercaya," ujar
dokter Andani Eka Putra kepada DI’s Way kemarin.
7. Di
sana semua test dilakukan dengan PCR --swab test. Yang hasilnya praktis 100
persen bisa dipercaya.
8. Kuncinya
ada di penemuan ilmiah oleh dokter Andani Eka Putra, Kepala Pusat Laboratorium
Universitas Andalas Padang itu.
9. Di
sana test swab itu bisa dilakukan dengan cepat: hasilnya bisa diketahui dalam
24 jam.
10. Dengan
kapasitas yang sangat besar: 3.500 sehari (DI’s Way: Tirani Minoritas)
11. Sudah lebih
3 bulan Sumbar melakukan itu.
12. Sampai
hari ini sudah 55.000 yang dites di sana.
13. Padahal
penduduknya hanya sekitar 7 juta.
14. Satu
laboratorium di universitas itu sampai kekurangan sampel untuk dites.
15. Karena
itu tidak ada zona merah di Sumbar.
16. Paling
tinggi oranye.
17. Itu
pun hanya di satu kota: Padang.
18. Sumbar
juga sudah memutuskan akan membuka sekolah mulai Senin depan.
19. Khususnya
di 4 daerah.
20. Kalau
daerah di luar Sumbar kuwalahan melakukan tes, di Sumbar sampai menggratiskan.
21. Misalnya
untuk pedagang dan pengunjung pasar, anak sekolah dan pesantren.
22. Seharusnya
yang ingin bepergian pun bisa dites gratis di situ.
23. Tapi
tidak bisa.
24. Peraturan
menyebutkan hanya rumah sakit yang boleh mengeluarkan surat keterangan untuk
perjalanan.
25. DI’s
Way pun sudah menuliskan penemuan itu sampai 3 kali.
26. Sampai
sungkan.
27. Sampai
seperti promosi untuk dokter Andani, Universitas Andalas dan juga Sumbar.
28. Padahal
tidak ada maksud lain kecuali agar menginspirasi daerah lain.
29. Sayang
kebaikan ini sulit menular.
30. Kalah
dengan penularan demam rapid test.
31. Respons
dari daerah lain sangat minim.
32. Pun
tidak ada kebijakan nasional yang mendukung penyebaran temuan itu.
33. Padahal
penemuan dokter Andani itu tinggal di-copy.
34. Dokter
Andani sendiri mau membagi ilmunya itu.
35. Secara
suka rela.
36. Semua
uraian ilmiahnya bisa didapat dengan gratis.
37. Pun
dokter Andani bersedia memberikan tutorialnya.
38. Secara
gratis.
39. "Bagi
saya ini jihad. Rakyat harus diselamatkan dari Covid-19," ujar Andani.
40. Akhirnya
memang ada permintaan dari Jatim.
41. Kabarnya.
42. DI’s
Way belum berhasil menelusuri apakah benar Jatim sudah mulai meminta.
43. Kalau
pun ada permintaan seperti itu sudah sangat telat.
44. Jatim
telanjur dinilai babak belur --oleh tingginya angka Covid-19 maupun oleh
konflik antara Gubernur Khofifah Indar Parawansa dengan Walikota Surabaya Tri
Rismaharini.
45. Apakah
betul ada permintaan dari Jatim itu?
46. Dokter
Andani belum tahu.
47. "Seandainya
ada pun saya harus bertanya dulu. Apakah Jatim benar-benar minta dibantu,"
ujar Andani kemarin.
48. "Kalau
misalnya saya nanti ke Surabaya tapi respons di sana dingin, saya yang tidak
enak," ujarnya.
49. "Kalau
seperti itu tidak akan berhasil," tambahnya.
50. Saya
pun harus minta maaf kepada pembaca DI’s Way.
51. Kolom
ini telah banyak terbuang untuk promosi penemuan cara lebih cepat melakukan
test swab ala Sumbar itu.
52. Saya
jadi ingat ceramah Prof Djohansjah Marzoeki, pelopor bedah plastik di Surabaya.
53. "Sering
masalah ilmiah kalah dengan ego," ujarnya saat memberikan tribute lecture 2
tahun lalu.
54. "Masalah
ilmiah sering kalah dengan subyektivitas," tambahnya.
55. Saya
tidak lupa isi ceramah itu.
56. Kampus
yang seharusnya menjadi lembaga ilmiah dalam praktIknya sering tidak ilmiah.
57. Acara
hari itu mestinya untuk kalangan akademisi Unair.
58. Sebagai
penghargaan atas jasa luar biasa Djohansjah ke almamater.
59. Saya
diundang hadir.
60. Prof
Djohansjah dianggap sangat berjasa untuk Uniar khususnya Fakultas Kedokteran.
61. Karena
itu acara tersebut diadakan khusus oleh juniornya di aula fakultas kedokteran.
62. Tentu
tidak hanya kampus yang harus menjunjung tinggi ilmu.
63. Lembaga
seperti laboratorium pun seharusnya juga.
64. Tapi
begitu sulit untuk mengakui penemuan ilmiah oleh laboratirium lain.
65. Pun di
kampus.
66. Ego
masih lebih sering tampil dibanding ilmu.
67. Termasuk
dalam hal penyelamatan manusia.
68. Akibatnya
lebih enak ambil jalan pintas: rapid test.
69. Tinggal
beli alat.
70. Yang
bisa diimpor dengan mudah.
71. Soal
efektivitas bisa disisihkan.
72. Dan
rapid test sudah menjadi bisnis besar.
73. Juga
sudah ikut menguras anggaran publik.
74. Siapa
pun yang melakukan perjalanan antar daerah harus melakukan itu.
75. Yang
ilmiah pun juga sering kalah dengan bisnis.
(Sumber:
Dahlan Iskan)
0 comments:
Post a Comment