Perkembangan
Fisik dan Intelektual Siswa SMP dalam Pembelajaran Matematika
Oleh
: Drs. H. Yusron Hadi, MM
Kepala
SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo
Pendahuluan
Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa
setiap lulusan pendidikan dasar dan menengah memiliki kompetensi pada tiga
dimensi yaitu sikap pengetahuan dan keterampilan. Dijelaskan bahwa kompetensi sikap
lulusan SMP sederajat adalah memiliki perilaku yang mencerminkan sikap:1).
beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, 2). berkarakter, jujur, dan peduli, 3).
bertanggungjawab, 4). pembelajar sejati sepanjang hayat, dan 5). sehat jasmani
dan rohani sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.
Adapun kompetensi pengetahuan lulusan SMP
sederajat adalah memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan
metakognitif pada tingkat teknis dan spesifik sederhana berkenaan dengan:1).
ilmu pengetahuan, 2). teknologi, 3). seni, dan 4). budaya.Mampu mengaitkan
pengetahuan di atas dalam konteks diri sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat
dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.
Sedangkan kompetensi keterampilan lulusan
SMP sederajat adalah Memiliki keterampilan berpikir dan bertindak: 1). kreatif,
2). produktif, 3). kritis, 4). mandiri, 5). kolaboratif, dan 6). Komunikatif melalui
pendekatan ilmiah sesuai dengan yang dipelajari di satuan pendidikan dan sumber
lain secara mandiri.
Masa pertumbuhan siswa di usia SMP
sederajat merupakan masa remaja, suatu peralihan
dari anak-anak ke dewasa. Pada masa yang singkat ini, siswa mengalami
perkembangan secara signifikan dalam hidupnya, bukan hanya pada fisik, namun
juga emosi, sosial, perilaku, intelektual, dan moral. Banyak masalah dan
benturan yang mungkin terjadi selama proses pertumbuhan dan perkembangan ini. Agar
remaja dapat tumbuh secara optimal maka dibutuhkan dukungan dan kesempatan pada
dirinya untuk mengembangkan diri disertai pendampingan dari orang dewasa yang
peduli terhadap dirinya (Santrock, 2011). Guru sebagai orang dewasa terdekat
setelah keluarga diharapkan dapat mendukung siswa dalam melalui proses
perkembangan ini.
Di sisi lain, setiap siswa dilahirkan
dengan membawa potensi masing-masing. Tanpa adanya potensi tersebut, maka
mustahil manusia akan mampu menjalani kehidupan yang akan dilalui yang penuh
dengan tantangan, cobaan, dan halangan. Selain potensi keimanan, setiap manusia
dianugrahi potensi indrawi dan tubuh atau raga secara umum, lalu potensi akal
pikiran serta potensi rasa. Terkait pendidikan matematika,merupakan tugas guru
matematika untuk dapat menggali dan mengidentifikasi potensi siswa guna memperlancar
terjadinya proses pembelajaran.
Guru diharapkan memiliki wawasan mengenai
karakteristik siswa, cara-cara menangani masalah, mengenali potensi siswa dalam
belajar matematika, mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan cara
mengatasinya, sehingga dapat dimanfaatkan dalam mendukung pencapaian tujuan pembelajaran.
Istilah adolescence atau remaja
berasal dari kata latin “adolescere” yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi
dewasa”. Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat seorang anak secara
seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.
Hurlock (1980) membagi masa remaja
menjadi dua bagian yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja
awal berlangsung sekitar usia 13 hingga 16 atau 17 tahun, dan masa remaja akhir
bermula dari usia 16 atau 17 sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum.
Dengan demikian masa remaja akhir merupakan periode yang sangat singkat. Umur
17 tahun dapat disebut sebagai garis batas antara masa remaja awal dan masa
remaja akhir.
Sementara itu, Santrock (2011) membatasi
masa remaja sebagai periode transisi perkembangan yang dimulai sekitar usia 10
hingga 12 tahun, dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Berdasar dua
pendapat di atas, secara umum siswa SMP dikelompokkan pada masa remaja,
walaupun mungkin terdapat kasus-kasus siswa SMP tertentu yang masih berada pada
masa puber atau justru telah memasuki masa dewasa awal. Perkembangan siswa yang
sangat mendukung keberhasilan proses pembelajaran meliputi perkembangan fisik,
emosi, dan intelektual . Dengan memahami ketiga jenis perkembangan ini, diharapkan
guru bisa memanfaatkannya secara produktif dalam kegiatan belajar matematika
yang diampu.
1. Perkembangan
Fisik Siswa SMP
Perkembangan fisik siswa terjadi secara
eksternal dan internal. .Secara eksternal meliputi perubahan tinggi badan,
berat badan, komposisi tubuh, organ dan ciri-ciri seks sekunder. Secara
internal meliputi sistem pencernaan, peredaran darah, pernapasan, endokrin, jaringan tubuh, dan jaringan
otak. Hal menarik dari perkembangan otak pada usia remaja adalah terjadinya
perubahan struktur yang signifikan. Corpus callosum, yakni serat optik
yang menghubungkan hemisphere otak
sebelah kiri dengan sebelah kanan, semakin tebal pada masa remaja sehingga
meningkatkan kemampuan remaja dalam memroses informasi. Selain itu, Charles
Nelson pada Santrock (2011) mengungkapkan amygdala
berkembang lebih awal dari cortex
prefrontal. Amygdala adalah
bagian otak tempat emosi seperti rasa marah.
Sementara cortex prefrontal
adalah bagian lobus depan yang
bertugas penalaran, pengambilan keputusan, dan kendali diri. Hal ini
diinterpretasikan bahwa sebagian remaja mampu mengalami emosi yang sangat kuat
namun karena cortex prefrontal mereka
belum cukup berkembang, seolah-olah mereka memiliki rem yang lemah untuk
mengendalikannya.
2. Perkembangan
Intelektual Siswa SMP
Perkembangan intelektual adalah proses
perubahan kemampuan individu dalam berpikir. Membahas tentang perkembangan
intelektual berarti membahas tentang perkembangan individu dalam berpikir atau
proses kognisi atau proses mengetahui. Macam perkembangan intelektual siswa
yang akan dikaji meliputi teori Piaget, SOLO, dan Van Hiele.
Menurut
Piaget (Slavin, 2006)dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang
menjadi perhatian, yaitu struktur, isi, dan fungsi. Struktur atau skemata
(schema) merupakan organisasi mental yang merupakan hasi interaksi seseorang
dengan lingkungan. Isi merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin
pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang
dihadapinya. Fungsi adalah cara yang digunakan seseorang untuk membuat kemajuan
intelektual. Menurut Piaget, perkembangan intelektual didasarkan pada dua
fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan
untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis
menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi terhadap
lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana
seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam
skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai
suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau
rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Pengalaman yang baru itu bisa jadi
sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian
orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru
yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu
kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi
seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka
terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium).
Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang
ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan
intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan
ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium).
Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang
lebih tinggi daripada sebelumnya.
Piaget membagi perkembangan intelektual
anak-anak dan remaja menjadi empat tahap, yaitu: sensori-motori,
pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Piaget meyakini
bahwa semua anak melewati tahap-tahap tersebut sesuai dengan tahapannya. Walaupun
anak-anak yang berbeda melewati tahap- tahap tersebut dengan kecepatan yang
berbeda-beda. Siswa SMP berada pada akhir tahap operasional konkrit memasuki
tahap operasional formal dengan karakteristik sebagai berikut.
a) Tahap
operasional konkrit, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Ciri pokok perkembangan
pada tahap ini, yaitu 1) anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas
dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan, 2) anak tidak perlu
coba-coba dan membuat kesalahan karena anak sudah berfikir dengan
“kemungkinan”, dan 3) anak telah melakukan pengklasifikasian dan pengaturan
masalah.
b) Tahap
operasional formal, yakni perkembangan intelektual yang terjadi pada usia 11-15
tahun. Pada tahap ini kondisi berfikir anak, yaitu: 1) bekerja secara efektif
dan inovatif, 2) menganalisi secara kombinasi, 3) berfikir secara proporsional,
dan 4) menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.
Biggs dan Collins (1982) menemukan teori
Structure of the Observed Learning Outcome (SOLO) yaitu struktur hasil belajar
yang teramati. Taksonomi SOLO digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam
merespon masalah yang diklasifikasikan menjadi lima level berbeda dan bersifat
hirarkis yaitu: prestructural, unistructural, multistructural, relational, dan
extended-abstract.
Siswa pada level prestruktural tidak dapat
melakukan tugas yang diberikan atau melaksanakan tugas dengan data yang tidak
relevan. Siswa pada level unistruktural dapat menggunakan satu penggal
informasi dalam merespons suatu tugas (membentuk suatu data tunggal). Siswa
pada level multistruktural dapat menggunakan beberapa penggal informasi tetapi
tidak dapat menghubungkannya secara bersamasama (mempelajari data pararel).
Siswa pada level relational dapat memadukan penggalan-penggalan informasi yang
terpisah untuk menghasilkan penyelesaian dari suatu tugas. Siswa pada level
extended abstrak dapat menemukan prinsip umum dari data terpadu yang dapat
diterapkan untuk situasi baru (mempelajari konsep tingkat tinggi).
Perkembangan intelektual yang didasarkan
pada teori Van Hiele menguraikan tahap-tahap perkembangan intelektual anak
dalam geometri(Van de Walle, 2007). Berdasarkan hasil risetnya, Van Hiele melahirkan
beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam
memahami geometri.Menurut Van Hiele tiga unsur utama dalam pengajaran geometri
yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika
ketiga unsur tersebut dapat ditata secara terpadu, maka akan dapat meningkatkan
kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.Van Hiele
menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu tahap
pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi.
Level
0: Visualisasi (visualization). Pada tahap ini siswa mulai belajar mengenal
suatu bangun geometri secara keseluruhan namun belum mampu mengetahui adanya
sifat-sifat dari bangun geometri yang dilihatnya.
Level
1: Analisis (analysis).Pada tahap ini siswa sudah mulai mengenal sifat-sifat
yang dimiliki bangun geometri yang diamatinya. Namun, siswa belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antar suatu benda geometri dengan benda
geometri lainnya.
Level
2: Deduksi informal (informal deduction). Pada tahap ini siswa sudah mampu
mengetahui hubungan keterkaitan antar bangun geometri. Anak yang berada pada
tahap ini sudah memahami pengurutan bangun bangun geometri dan anak sudah dapat
menarik kesimpulan secara deduktif. Tetapi belum mampu memberi alasan secara
rinci.
Level
3: Deduksi (deduction). Pada tahap ini anak sudah dapat menarik kesimpulan
secara deduktif. Dalam tahap ini siswa sudah mampu menarik kesimpulan dari
hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.
Tahap
Akurasi (rigor). Tahap akurasi merupakan tahap tertinggi dalam memahami
geometri. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnyaketepatan dari
prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Kesimpulan
Pada masa remaja dengan energi fisik yang
cukup berlimpah, tidak sedikit siswa SMP yang cenderung bosan dengan aktivitas
yang hanya duduk atau melakukan aktivitas yang sama dalam periode waktu yang
panjang. Jangan membendung energi mereka, lebih baik diarahkan ke aktivitas
yang positif.
Kurikulum pendidikan yang menyertakan jam
olahraga secara teratur diharapkan dapat mendukung perkembangan remaja ke arah
yang positif. Aktivitas lain yang mendukung perkembangan fisik remaja seperti
kegiatan pramuka, ekstra kurikuler fisik, outbond,
dan lain-lain dapat dijadwalkan secara teratur oleh sekolah. Pembelajaran matematika dengan pendekatan
active learning, ,game-based learning ,
atau aktivitas lain yang mengakomodasi kinestetik siswa dapat dikembangkan
untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Selain itu,
pembelajaran matematika di luar ruangan (mathematics
outdoor) dapat menjadi pilihan guru matematika untuk menyisipkan aktivitas
fisik.
Guru diharapkan memiliki wawasan mengenai
karakteristik fisik dan intelektual siswa, cara menangani masalah, mengenali
potensi siswa dalam belajar matematika, mengidentifikasi kesulitan yang dialami
siswa, dan cara mengatasinya. Dengan demikian, ranah sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang diharapkan dicapai lulusan SMP sederajat dapat dipenuhi
dengan baik. Semoga.

0 comments:
Post a Comment