Thursday, March 9, 2017

3. Perkembangan Fisik dan Intelektual Siswa SMP dalam Pembelajaran Matematika

Perkembangan Fisik dan Intelektual Siswa SMP dalam Pembelajaran Matematika
Oleh : Drs. H. Yusron Hadi, MM
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo
Pendahuluan
      Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa setiap lulusan pendidikan dasar dan menengah memiliki kompetensi pada tiga dimensi yaitu sikap pengetahuan dan keterampilan. Dijelaskan bahwa kompetensi sikap lulusan SMP sederajat adalah memiliki perilaku yang mencerminkan sikap:1). beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, 2). berkarakter, jujur, dan peduli, 3). bertanggungjawab, 4). pembelajar sejati sepanjang hayat, dan 5). sehat jasmani dan rohani sesuai dengan perkembangan anak di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.
      Adapun kompetensi pengetahuan lulusan SMP sederajat adalah memiliki pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif pada tingkat teknis dan spesifik sederhana berkenaan dengan:1). ilmu pengetahuan, 2). teknologi, 3). seni, dan 4). budaya.Mampu mengaitkan pengetahuan di atas dalam konteks diri sendiri, keluarga, sekolah, masyarakat dan lingkungan alam sekitar, bangsa, negara, dan kawasan regional.
      Sedangkan kompetensi keterampilan lulusan SMP sederajat adalah Memiliki keterampilan berpikir dan bertindak: 1). kreatif, 2). produktif, 3). kritis, 4). mandiri, 5). kolaboratif, dan 6). Komunikatif melalui pendekatan ilmiah sesuai dengan yang dipelajari di satuan pendidikan dan sumber lain secara mandiri.
            Masa pertumbuhan siswa di usia SMP sederajat  merupakan masa remaja, suatu peralihan dari anak-anak ke dewasa. Pada masa yang singkat ini, siswa mengalami perkembangan secara signifikan dalam hidupnya, bukan hanya pada fisik, namun juga emosi, sosial, perilaku, intelektual, dan moral. Banyak masalah dan benturan yang mungkin terjadi selama proses pertumbuhan dan perkembangan ini. Agar remaja dapat tumbuh secara optimal maka dibutuhkan dukungan dan kesempatan pada dirinya untuk mengembangkan diri disertai pendampingan dari orang dewasa yang peduli terhadap dirinya (Santrock, 2011). Guru sebagai orang dewasa terdekat setelah keluarga diharapkan dapat mendukung siswa dalam melalui proses perkembangan ini.
      Di sisi lain, setiap siswa dilahirkan dengan membawa potensi masing-masing. Tanpa adanya potensi tersebut, maka mustahil manusia akan mampu menjalani kehidupan yang akan dilalui yang penuh dengan tantangan, cobaan, dan halangan. Selain potensi keimanan, setiap manusia dianugrahi potensi indrawi dan tubuh atau raga secara umum, lalu potensi akal pikiran serta potensi rasa. Terkait pendidikan matematika,merupakan tugas guru matematika untuk dapat menggali dan mengidentifikasi potensi siswa guna memperlancar terjadinya proses pembelajaran.
      Guru diharapkan memiliki wawasan mengenai karakteristik siswa, cara-cara menangani masalah, mengenali potensi siswa dalam belajar matematika, mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan cara mengatasinya, sehingga dapat dimanfaatkan dalam mendukung pencapaian tujuan pembelajaran. Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin “adolescere” yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Lazimnya masa remaja dianggap mulai pada saat seorang anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum.
      Hurlock (1980) membagi masa remaja menjadi dua bagian yaitu masa remaja awal dan masa remaja akhir. Masa remaja awal berlangsung sekitar usia 13 hingga 16 atau 17 tahun, dan masa remaja akhir bermula dari usia 16 atau 17 sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian masa remaja akhir merupakan periode yang sangat singkat. Umur 17 tahun dapat disebut sebagai garis batas antara masa remaja awal dan masa remaja akhir.
      Sementara itu, Santrock (2011) membatasi masa remaja sebagai periode transisi perkembangan yang dimulai sekitar usia 10 hingga 12 tahun, dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Berdasar dua pendapat di atas, secara umum siswa SMP dikelompokkan pada masa remaja, walaupun mungkin terdapat kasus-kasus siswa SMP tertentu yang masih berada pada masa puber atau justru telah memasuki masa dewasa awal. Perkembangan siswa yang sangat mendukung keberhasilan proses pembelajaran meliputi perkembangan fisik, emosi, dan intelektual . Dengan memahami ketiga jenis perkembangan ini, diharapkan guru bisa memanfaatkannya secara produktif dalam kegiatan belajar matematika yang diampu.
1.    Perkembangan Fisik Siswa SMP
      Perkembangan fisik siswa terjadi secara eksternal dan internal. .Secara eksternal meliputi perubahan tinggi badan, berat badan, komposisi tubuh, organ dan ciri-ciri seks sekunder. Secara internal meliputi sistem pencernaan, peredaran darah, pernapasan, endokrin, jaringan tubuh, dan jaringan otak. Hal menarik dari perkembangan otak pada usia remaja adalah terjadinya perubahan struktur yang signifikan. Corpus callosum, yakni serat optik yang menghubungkan hemisphere otak sebelah kiri dengan sebelah kanan, semakin tebal pada masa remaja sehingga meningkatkan kemampuan remaja dalam memroses informasi. Selain itu, Charles Nelson pada Santrock (2011) mengungkapkan amygdala berkembang lebih awal dari cortex prefrontal. Amygdala adalah bagian otak tempat emosi seperti rasa marah.  Sementara cortex prefrontal adalah bagian lobus depan yang bertugas penalaran, pengambilan keputusan, dan kendali diri. Hal ini diinterpretasikan bahwa sebagian remaja mampu mengalami emosi yang sangat kuat namun karena cortex prefrontal mereka belum cukup berkembang, seolah-olah mereka memiliki rem yang lemah untuk mengendalikannya.
2.    Perkembangan Intelektual Siswa SMP
      Perkembangan intelektual adalah proses perubahan kemampuan individu dalam berpikir. Membahas tentang perkembangan intelektual berarti membahas tentang perkembangan individu dalam berpikir atau proses kognisi atau proses mengetahui. Macam perkembangan intelektual siswa yang akan dikaji meliputi teori Piaget, SOLO, dan Van Hiele.
      Menurut Piaget (Slavin, 2006)dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian, yaitu struktur, isi, dan fungsi. Struktur atau skemata (schema) merupakan organisasi mental yang merupakan hasi interaksi seseorang dengan lingkungan. Isi merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Fungsi adalah cara yang digunakan seseorang untuk membuat kemajuan intelektual. Menurut Piaget, perkembangan intelektual didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
      Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi terjadi untuk membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan (disequilibrium). Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya.
      Piaget membagi perkembangan intelektual anak-anak dan remaja menjadi empat tahap, yaitu: sensori-motori, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Piaget meyakini bahwa semua anak melewati tahap-tahap tersebut sesuai dengan tahapannya. Walaupun anak-anak yang berbeda melewati tahap- tahap tersebut dengan kecepatan yang berbeda-beda. Siswa SMP berada pada akhir tahap operasional konkrit memasuki tahap operasional formal dengan karakteristik sebagai berikut.
a)    Tahap operasional konkrit, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Ciri pokok perkembangan pada tahap ini, yaitu 1) anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan, 2) anak tidak perlu coba-coba dan membuat kesalahan karena anak sudah berfikir dengan “kemungkinan”, dan 3) anak telah melakukan pengklasifikasian dan pengaturan masalah.
b)    Tahap operasional formal, yakni perkembangan intelektual yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Pada tahap ini kondisi berfikir anak, yaitu: 1) bekerja secara efektif dan inovatif, 2) menganalisi secara kombinasi, 3) berfikir secara proporsional, dan 4) menarik generalisasi secara mendasar pada satu macam isi.
      Biggs dan Collins (1982) menemukan teori Structure of the Observed Learning Outcome (SOLO) yaitu struktur hasil belajar yang teramati. Taksonomi SOLO digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam merespon masalah yang diklasifikasikan menjadi lima level berbeda dan bersifat hirarkis yaitu: prestructural, unistructural, multistructural, relational, dan extended-abstract.
     Siswa pada level prestruktural tidak dapat melakukan tugas yang diberikan atau melaksanakan tugas dengan data yang tidak relevan. Siswa pada level unistruktural dapat menggunakan satu penggal informasi dalam merespons suatu tugas (membentuk suatu data tunggal). Siswa pada level multistruktural dapat menggunakan beberapa penggal informasi tetapi tidak dapat menghubungkannya secara bersamasama (mempelajari data pararel). Siswa pada level relational dapat memadukan penggalan-penggalan informasi yang terpisah untuk menghasilkan penyelesaian dari suatu tugas. Siswa pada level extended abstrak dapat menemukan prinsip umum dari data terpadu yang dapat diterapkan untuk situasi baru (mempelajari konsep tingkat tinggi).
      Perkembangan intelektual yang didasarkan pada teori Van Hiele menguraikan tahap-tahap perkembangan intelektual anak dalam geometri(Van de Walle, 2007). Berdasarkan hasil risetnya, Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri.Menurut Van Hiele tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur tersebut dapat ditata secara terpadu, maka akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri, yaitu tahap pengenalan, tahap analisis, tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi.
Level 0: Visualisasi (visualization). Pada tahap ini siswa mulai belajar mengenal suatu bangun geometri secara keseluruhan namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bangun geometri yang dilihatnya.
Level 1: Analisis (analysis).Pada tahap ini siswa sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki bangun geometri yang diamatinya. Namun, siswa belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antar suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya.
Level 2: Deduksi informal (informal deduction). Pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan keterkaitan antar bangun geometri. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun bangun geometri dan anak sudah dapat menarik kesimpulan secara deduktif. Tetapi belum mampu memberi alasan secara rinci.
Level 3: Deduksi (deduction). Pada tahap ini anak sudah dapat menarik kesimpulan secara deduktif. Dalam tahap ini siswa sudah mampu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.
Tahap Akurasi (rigor). Tahap akurasi merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnyaketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Kesimpulan
      Pada masa remaja dengan energi fisik yang cukup berlimpah, tidak sedikit siswa SMP yang cenderung bosan dengan aktivitas yang hanya duduk atau melakukan aktivitas yang sama dalam periode waktu yang panjang. Jangan membendung energi mereka, lebih baik diarahkan ke aktivitas yang positif.
      Kurikulum pendidikan yang menyertakan jam olahraga secara teratur diharapkan dapat mendukung perkembangan remaja ke arah yang positif. Aktivitas lain yang mendukung perkembangan fisik remaja seperti kegiatan pramuka, ekstra kurikuler fisik, outbond, dan lain-lain dapat dijadwalkan secara teratur oleh sekolah.      Pembelajaran matematika dengan pendekatan active learning, ,game-based learning , atau aktivitas lain yang mengakomodasi kinestetik siswa dapat dikembangkan untuk menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Selain itu, pembelajaran matematika di luar ruangan (mathematics outdoor) dapat menjadi pilihan guru matematika untuk menyisipkan aktivitas fisik.
      Guru diharapkan memiliki wawasan mengenai karakteristik fisik dan intelektual siswa, cara menangani masalah, mengenali potensi siswa dalam belajar matematika, mengidentifikasi kesulitan yang dialami siswa, dan cara mengatasinya. Dengan demikian, ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diharapkan dicapai lulusan SMP sederajat dapat dipenuhi dengan baik. Semoga.

Description: D:\2. data Yusronhd\4. data foto yusron\foto yusjas,warna\yus.jpg

0 comments:

Post a Comment