ZAID
AL-KHOIR, BADUI “NDESO”.
BERTANYA
TENTANG ORANG DISUKAI ALLAH.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala
SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

Zaid Al-Khoil, seorang Badui “ndeso”.
Berasal dari pedalaman. Tempat yang jauh dari Madinah. Dia telah memeluk Islam.
Zaid Al-Khoil berangkat dari tempat tinggalnya. Menuju ke Madinah. Menunggang
seekor unta. Selama 15 hari perjalanan. .
Zaid Al-Khoil tiba di Madinah. Dia mengikat
untanya. Di luar Masjid Madinah. Kemudian masuk ke dalam masjid. Menjumpai Nabi
Muhammad. Zaid Al-Khoil berkata,”Ya Nabi, saya telah melelahkan untaku selama 9
hari. Saya menuntunnya selama 6 hari. Terus menerus. Tanpa berhenti.”
Zaid Al-Khoil melanjutkan,”Saya berpuasa di
siang hari. Dan jarang tidur di malam hari. Sehingga untaku amat lelah. Semua
itu saya lakukan untuk menanyakan dua hal. Sampai saya sulit tidur.”
Nabi memandang Si Badui dengan kagum.
Seorang muslim biasa. Orang yang sederhana. Berjuang begitu beratnya. Menempuh
perjalanan jauh. Berjalan selama 15 hari. Untuk memperoleh penjelasan. Langsung
dari Nabi.
Nabi bersabda, “Siapakah namamu?” Si
Badui menjawab, “Nama saya, Zaid Al-Khoil.” Yang bermakna “Zaid, Sang Unta”.
Nabi tampaknya kurang berkenan dengan nama itu. Nabi bersabda,”Oh, jadi namamu,
Zaid Al-Khoir.” Yang bermakna “Zaid, yang penuh kebaikan.”
Jelas sekali, Nabi ingin mengganti
namanya. Dia berkata,”Benar, Ya Nabi.
Nama saya, Zaid Al-Khoir.” Zaid Al-Khoir
amat senang dengan nama barunya. Karena yang memberi nama Nabi sendiri.
Nabi bersabda,”Sekarang, silakan bertanya
kepadaku.” Zaid Al-Khoir berkata,” Ya, Nabi. Saya ingin bertanya tentang tanda-tanda
orang yang disukai Allah, dan ciri-ciri orang yang dibenci Allah.” Nabi bersabda,”
Untung, untung,…”
Nabi amat gembira mendengarnya. Tak keliru,
jika namanya memang Al-Khoir. Yang penuh kebaikan. Nabi bersabda,”Wahai Zaid
Al-Khoir. Bagaimanakah keadaanmu sekarang?”
Zaid Al-Khoir menjawab,”Saya sekarang senang dengan amal kebaikan. Suka
dengan orang yang berbuat kebaikan. Gembira dengan tersebarnya kebaikan.”
Zaid Al-Khoir melanjutkan,”Saya menyesal,
jika tak ikut berbuat amal kebaikan.
Saya selalu rindu untuk berbuat kebaikan. Jika saya berbuat kebaikan, pasti
Allah akan memberikan pahalanya.”
Nabi bersabda, “Ya, itulah tanda-tanda
orang yang disukai Allah. Apabila Allah membencimu. Tentulah kamu akan
melakukan yang berlawanan dengan itu. Yaitu kamu akan senang berbuat keburukan.
Suka berbuat jahat. Gembira dengan orang yang berbuat kejelekan.”
Zaid Al-Khoir berkata,”Sudah cukup. Ya,
Nabi” Seolah dia tak ingin Nabi melanjutkan penjelasannya. Dia mengucapkan terima
kasih. Zaid Al-Khoir pamit keluar masjid. Dia menunggang untanya. Kembali pulang.
Wajah Nabi
sumringah. Tanda beliau amat gembira. Mengapa? Seorang musafir datang dari jauh.
Tak bergaul dengan Nabi, tetapi dia merasakan
nuansa kasih sayang Allah. Yang begitu mendalam.
Seorang
Badui “ndeso”. Berasal dari daerah pedalaman. Wilayah yang “adoh kawat”. Tetapi,
bisa menikmati “kasih sayang” Nabi. Seperti yang dirasakan para sahabat. Yang setiap
hari berada di sekitar Nabi.
Daftar
Pustaka
1. Syaikh
Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta.
2006.
2. Ghani,
Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani,
Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004
4. Kisah
Para Sahabat.
0 comments:
Post a Comment