PERANG KHANDAQ DAN MUKJIZAT NABI MUHAMMAD
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Pada tahun 627 Masehi, bertepatan dengan bulan Syawal tahun ke-5 Hijriah, terjadi Perang Khandaq atau Perang Parit atau Perang Ahzab, yaitu peperangan antara “pasukan gabungan” melawan pasukan Islam, dengan lokasi medan perang di bagian Utara Madinah.
Dalam Perang Parit, umat Islam “dikeroyok” oleh pasukan “koalisi”, yaitu gabungan suku Quraisy, Gathafan, Yahudi Bani Nadhir dan Qaynuqa, serta dibantu kelompok kabilah dan suku lainnya, yang dimaksudkan “Kabilah” adalah suku bangsa yang berasal sari satu ayah, sedangkan “suku” adalah golongan kaum yang berasal dari satu keturunan.
Pada zaman itu, kota Madinah dihuni suku Aus dan Khazraj, yaitu kaum Ansar, dan kaum pendatang dari Mekah yang hijrah ke Madinah, yang disebut kaum Muhajirin, serta kelompok Yahudi Bani Qaynuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraizhah.
Kaum Muhajirin dan Ansar sudah memeluk agama Islam, sedangkan kaum Yahudi Bani Qaynuqa bersekutu dengan suku Khazraj, dan kaum Yahudi Bani Quraizhah bersekutu dengan suku Aus, yang dimaksudkan bersekutu adalah bekerja sama dalam perdagangan dan perlindungan keamanan.
Pada waktu itu, Piagam Madinah, yaitu Perjanjian perdamaian antara umat Islam dengan kelompok Yahudi sudah disepakati, dan Nabi pernah mengusir kelompok Yahudi Bani Quraizhah dari Madinah, karena mereka melanggar perjanjian, lalu Bani Quraizhah tinggal di Khaibar yang terletak di luar kota Madinah.
Syaikh Shafiyyurahman, penulis buku “Sirah Nabawi” menjelaskan kisahnya ketika kaum Yahudi Bani Nadhir berkhianat kepada Nabi. Ketika itu kaum Yahudi Bani Nadhir sangat membenci umat Islam, dan mereka pintar berbisnis, sehingga menguasai ekonomi, tetapi kaum Yahudi Bani Nadhir tidak biasa berperang, dan tidak pintar mengangkat senjata, tetapi mereka suka berkhianat dan bersekongkol.
Setelah Perang Badar selesai, dan pasukan Islam menang, maka pamor pasukan Islam makin tinggi, sedangkan kaum Yahudi Bani Nadhir tidak berani berperang secara langsung dengan umat Islam, tetapi kaum Yahudi suka mengganggu dan mengadu domba sesama umat Islam.
Ketika Perang Uhud berakhir, dan pasukan Islam mengalami “kekalahan”, maka kaum Yahudi Bani Nadhir mulai berani menampakkan permusuhan dan pengkhianatan dengan menjalin kesepakatan dengan musuh Islam, dan melanggar perjanjian yang disepakatinya.
Kaum Yahudi Ban Nadhir merencanakan untuk membunuh Nabi dengan menjatuhkan batu dari atas rumah penduduk, tetapi usaha mereka gagal, maka Nabi mengusir mereka keluar dari Madinah, lalu mereka pindah ke Khaibar, sebuah wilayah di luar Madinah.
Kaum Yahudi Bani Nadhir dan kaum Yahudi Bani Quraizhah menyimpan dendam kepada Nabi, maka mencari dukungan untuk melawan umat Islam dengan mendatangi suku Quraisy di Mekah, suku Gathafan dan suku lainnya.
Usaha kaum Yahudi berhasil, waktu itu terkumpul 10.000 pasukan perang “gabungan” bersiap menghancurkan Madinah, sedangkan jumlah pasukan muslim 3.000 orang bertahan di Madinah.
Nabi mengetahui gerakan musuh, maka Nabi segera menyiapkan strategi pertahanan untuk menghadapi pasukan kafir yang berjumlah lebih banyak.
Salman Al-Farisi, yang berasal dari Persia, baru saja memeluk Islam, dan bebas dari perbudakan sangat mahir dalam strategi perang, maka Salman Al-Farisi mengusulkan untuk membangun “sistem pertahanan parit”, yaitu menggali parit atau khandaq di sepanjang perbatasan Utara Madinah untuk menghambat pergerakan musuh.
Salman berkata, ”Wahai Nabi, kebiasaan kami di Persia, apabila kami diserang musuh, maka kami membuat parit, alangkah baiknya kita juga menggali parit, sehingga dapat menghalangi mereka dalam melakukan serangan.” Nabi menerima usul tersebut.
Topologi yaitu keadaan muka bumi pada kawasan atau daerah wilayah Madinah, di sebelah Timur Madinah terdapat pegunungan yang sulit dilewati oleh kuda dan onta, yang sebelah Barat Madinah adalah pegunungan dengan bebatuan yang tajam, yang sebelah Selatan Madinah penuh dengn pohon kurma, serta di sebelah Tenggara, terdapat benteng kelompok Yahudi suku Quraizhah, dan di sebelah Utara, berupa lapangan terbuka.
Maka pasukan musuh pasti menyerbu masuk lewat daerah Utara Madinah, meskipun mereka berdatangan dari arah Selatan Madinah, sehingga medan peperangan berada di perbatasan Utara Madinah.
Nabi dan para sahabat berkemah di Utara Madinah, di bukit gunung Sala, dan kaum muslim mulai menggali parit untuk memisahkan mereka dengan pasukan musuh, dengan ukuran parit sedalam 7 meter, dan selebar 15 meter, sebelumnya Nabi membuat peta penggalian, dengan membagi kelompok penggalian, umat Islam menggali parit sepanjang lebih 10 km.
Penggalian parit berlangsung 6 hari yang dikerjakan tanpa berhenti, siang dan malam, bekerja “non-stop”, karena pasukan musuh dalam perjalanan menuju Madinah.
Jumlah pasukan kafir sangat banyak, lebih banyak dibandingkan jumlah seluruh penduduk Madinah, dan pasukan penyerbu bersenjata lebih lengkap dan “modern” siap menghancurkan Madinah.
Waktu itu musim dingin, dan umat muslim kekurangan makanan, maka para sahabat mengganjal perutnya dengan batu, Nabi mengganjal perutnya dengan dua buah batu untuk menahan lapar.
Nabi Bersabda,”Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang lebih baik adalah kehidupan akhirat, ampunilah kaum Ansar dan Muhajirin”. Mereka menjawab, ”Kami telah berbaiat kepada Nabi Muhammad, dan kami siap berjihad selama kami masih hidup.”
Nabi Muhammad ikut terlibat langsung dengan menggali dan mengangkat bebatuan, tanah dan bebatuan galian diletakkan di depan pasukan Nabi sebagai tameng pelindung dan senjata melawan musuh.
Jabir bin Abdullah melihat Nabi sangat lapar, maka dia pulang ke rumah lalu menyembelih seekor domba kecil, dan istrinya memasak satu sak tepung gandum, kemudian setelah masakan siap, maka Jabir membisiki Nabi agar datang ke rumahnya dengan beberapa sahabat saja.
Kemudian Nabi berdiri di atas sebuah batu dan mengumumkan kepada seribu orang yang menggali parit,“Wahai kaum Muhajirin dan Ansar, marilah kita makan di rumah Jabir.” Jabir terkejut dan pucat, “Innalillahi,” gumamnya, karena dia memasak hanya untuk beberapa orang saja, tetapi Nabi mengajak semua orang yang berada di parit yang jumlahnya seribu orang.
Jabir berlari pulang untuk menjumpai istrinya, dan mengabarkan Nabi akan datang beserta semua orang, maka istrinya pucat sambil bertanya, ”Nabi berpesan apa?” Jabir menjawab, “Tempat masakan, jangan disentuh.”
Sungguh aneh, makanan yang sedikit itu cukup dimakan seribu orang, caranya tiap sepuluh orang bergantian masuk, lalu makan sampai kenyang, karena selama penggalian parit, mereka tiga hari tidak makan.
Sungguh ajaib, semuanya sudah kenyang, tetapi makanan masih bersisa, inilah salah satu mukjizat Nabi Muhammad selama Perang Khandaq.
Mukjizat makanan kurma terjadi ketika Nukman bin Basyir datang ke penggalian parit dengan membawa setangkup kurma untuk diberikan kepada ayah dan pamannya, ketika dia melewati dekat Nabi, lalu Nabi meminta kurma tersebut, dan meletakkan kurma di atas selembar kain.
Kemudian Nabi memanggil semua orang untuk memakannya, dan semua orang yang menggali aprit sudah makan, ternyata kurma masih bersisa, bahkan jumlahnya lebih banyak, sebagian tercecer keluar hamparan kain. Sungguh mengherankan.
Mukjizat memecah batu, ketika Al-Barra berkata, “Kami menggali parit dan menemukan sebuah batu besar sangat keras yang tidak bisa dipecah”, lalu kami melaporkan kepada Nabi, dan Nabi turun mendekati batu itu dengan mengangkat cangkul, “Bismillah, Allahu akbar.” Dengan tiga kali pukulan, batu yang keras itu hancur berkeping-keping, sungguh luar biasa.
Nabi terus memberikan motivasi dan membangkitkan semangat juang, serta Nabi tidak mau menyerah, meskipun jumlah pasukan kafir lebih banyak, kemudian para wanita, anak-anak, dan para orang tua dimasukkan ke dalam “benteng”, mereka dipindahkan ke tempat yang dianggap aman.
Daerah sebelah Tenggara Madinah, pengamanan diserahkan kepada kelompok Yahudi Bani Quraizhah, karena mereka sudah terikat perjanjian dengan umat Islam, yaitu jika ada musuh dari luar Madinah, maka mereka berjanji untuk saling melindungi.
Ketika pasukan “sekutu” tiba di Madinah, mereka terkejut melihat pertahanan pasukan Islam, yaitu melihat parit yang dalam, lebar dan memanjang yang menutup jalur utama masuk Madinah, sehingga pasukan “koalisi” sulit melewatinya, inilah stategi perang yang belum pernah terjadi di jazirah Arab.
Kemudian pasukan Quraisy yang berjumlah 4.000 berkemah di Rumat, dan 6.000 pasukan Ghathafan dan lainnya berkemah di kaki gunung Uhud, maka beberapa orang munafik dan orang yang berjiwa lemah langsung menggigil ketakutan menyaksikan pasukan penyerang sebanyak itu.
Pasukan muslim bertahan di seberang parit dengan berlindung dibalik gundukan tanah dan bebatuan, mereka bersenjata lengkap seperti pedang, tameng dan panah, serta siap melempari musuh dengan bebatuan.
Abu Sufyan, komandan pasukan kafir murka, karena pasukan penyerbu hanya berputar-putar saja, dengan amarah menggelegak, mereka mengepung pasukan muslim, dan pertempuran terjadi sporadis, yaitu peperangan terjadi kadang kala dengan saling melontarkan panah dan batu.
Kelompok pasukan kafir yang jagoan berkuda, mencari jarak lompat paling sempit, lalu beberapa orang berhasil melewati parit, yaitu Amru bin Abdi Wudd, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Dhirar bin Al-Khaththab, mereka berhasil mendekati pasukan Islam, kemudian Amru bin Abdi Wudd, pendekar Quraisy, menantang duel satu lawan satu, lalu Amru bin Abdi Wudd tewas di tangan Ali bin Abi Thalib dan sisanya, melarikan diri balik menyeberangi parit.
Beberapa hari sudah berlalu, pasukan kafir terus berusaha melewati parit dengan membuat jalur penyeberangan, tetapi pasukan muslim terus bertahan, membalas dengan panah, melempari dengan batu, sehingga usaha pasukan kafir selalu gagal.
Huyai bin Akhthab, pemimpin kelompok Yahudi Bani Nadhir mendatangi benteng kelompok Yahudi Bani Quraizhah, yang berada di Tenggara Madinah untuk menjumpai Kaab bin Asad Al-Qurazi, pemimpin Bani Quraizhah.
Kelompok Yahudi Bani Quraizhah terikat perjanjian “Piagam Madinah”, yaitu perjanjian umat Islam dengan Bani Quraizhah untuk saling membantu menghadapi musuh dari luar.
Awalnya, Kaab bin Asad Al-Qurazi tidak mau mengkhianati Nabi, tetapi akhirnya, kelompok Yahudi Bani Quraizhah melanggar perjanjian dan membatalkan kesepakatan sepihak, mereka lalu memberontak kepada Nabi.
Nabi mengetahui pemberontakan, sehingga keadaan menjadi sangat gawat, karena pasukan muslim terjepit, menghadapi musuh dari dua arah, yaitu melawan musuh di depan yang dibatasi parit dengan pasukan kafir lebih banyak, serta menghadapi pengkhianatan dari dalam wilayah Madinah sendiri, sedangkan tempat penampungan wanita dan anak-anak dekat lokasi pemberontak, sungguh situasi yang sangat mengkhawatirkan.
Shafiyah binti Abdul Muththalib, bibi Nabi, mencoba mengamankan benteng wanita dan anak-anak, ketika beberapa pasukan Bani Quraizhah mengelilingi benteng penampungan, padahal benteng khusus wanita, anak-anak, dan orang tua tersebut tanpa penjaga.
Pada malam yang gelap gulita, Shafiyah binti Abdul Muththalib berbisik kepada Hassan, yang berusia 90 tahun, “Hai Hassan, bunuhlah orang Yahudi yang menyelinap.” Hassan menjawab, “Maaf, saya sudah tua, tidak mampu melakukannya.” Kemudian Shafiyah mengenakan pakaian perang laki-laki, dan memukul penyelusup dengan potongan besi dan si penyusup tewas, kepalanya dilemparkan keluar benteng, sehingga kelompok Yahudi Bani Quraizhah, yang berada di dalam kota Madinah, tidak berani menyerang benteng penampungan, karena dianggap banyak penjaganya.
Kelompok Yahudi Bani Quraizhah yang berada di dalam Madinah, tidak berani menyerang pasukan muslim secara langsung, tetapi mereka memasok kebutuhan logistik kaum kafir berupa bahan makanan, onta dan senjata lainnya.
Selama peperangan berlangsung, Nabi dan pasukan Islam sangat sibuk bertahan dan menghalau musuh, sehingga mereka melaksanakan salat jamak.
Nuaim bin Masud, seorang tokoh Ghathafan melemparkan sepucuk surat minta menemui dengan Nabi, dan dia menyatakan masuk Islam, tidak ada orang yang mengetahuinya, lalu Nabi meminta Nuaim bin Masud untuk mengacaukan musuh.
Nuaim berhasil mengadu domba pasukan kafir, sehingga timbul perpecahan, maka semangat pasukan penyerang turun drastis, tiba-tiba muncul angin topan yang merusak kemah pasukan kafir, semuanya porak-poranda berhamburan, dan pasukan kafir kocar-kacir.
Pagi harinya, pasukan kafir sudah bubar, mereka sudah kembali ke tempat asal mereka, maka Perang Khandaq selesai, dan pasukan Islam berhasil mempertahankan Madinah.
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.
0 comments:
Post a Comment