ORANG
KAYA MENGATUR ULAMA
Oleh:
Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

1. Pentingnya
Menghidupkan Tradisi Ilmiah (Ngaji Kitabnya Ulama)”
2. Oleh
Gus Baha.
3. NU itu
terlalu banyak pengajian umum.
4. Tradisi
ngaji (kitab) mulai hilang.
5. Itu
lampu merah.
6. Orang
kaya suka ulama.
7. Suka
kiai.
8. Tapi
maunya ngatur ulama, tidak mau diatur ulama.
9. Saya
tidak mau ngaji yang ribet itu.
10. Harus
pasang panggung, sound system,
yang penting bupati datang.
11. Ribet.
12. Mereka
habis 50 juta, 100 juta tidak masalah.
13. Tapi
sesuai mau mereka, yang datang jamaahnya banyak.
14. Coba,
kalo nuruti maunya kiai, ulama, ngajinya menganalisa kitab, uangnya buat
mencetak naskah, pasti tidak mau.
15. Saya
ingin kebesaran ulama itu kembali, yaitu bisa mengatur orang kaya.
16. Bukan
seperti sekarang, diatur orang kaya.
17. Banyak
yang datang minta pengajian umum, bawa alphard, saya jawab kalau mau ngaji
datang ke sini saja.
18. Kalo
kiai diatur-atur, itu ribet.
19. Bukan
saya anti.
20. Dan
itu perlu.
21. Tapi
sudah berlebihan.
22. Tapi tradisi ngaji yang sebenarnya, yang jadi
standar NU, sudah mulai ditinggalkan.
23. Ditambah,
kiai yang kedonyan, cinta
dunia.
24. Klop.
25. Yang
kaya, tahunya memuliakan kiai dengan uang, kiainya juga senang.
26. Musibah.
Terutama di Jawa Timur.
27. Saya
keluar dari kantor PWNU Jawa Timur, langsung dikasih voucher umroh.
28. Saya
jawab, tidak.
29. Saya kiai Jawa Tengah.
30. Makanya
saat saya diundang di Tebu Ireng, Pondok Syaikhona Kholil, Termas.
31. Saya
mau asal, disediakan naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Kholil, Syaikh Mahfudz
Termas.
32. Ya,
saya ngajinya kitab para pendiri pesantren itu.
33. Bukan
ngaji Gus Baha tapi ngaji Mbah Hasyim Asy’ari, dll.
34. Ini
kan musibah.
35. Selama
ini dzurriyah, para cucu
tidak peduli dengan naskah pendiri.
36. Padahal
ada ahli filologi, pengumpul naskah.
37. Naskah
masyayikh kita ada di luar negeri, cucunya tidak punya.
38. Saya
punya naskahnya Syaikh Mahfudz yang tidak ada di Termas.
39. Saya
dikasih Mbah Moen.
40. Akhirnya,
para cucu ngaji ke sini.
41. Coba, Sirojut Tholibin dicetak di
mana-mana, termasuk Yaman.
42. Namun,
kita tahu nasibnya di Jampes.
43. Kiai-kiai
NU itu sudah alim. Ngerti hukum secara tafsil, kok malah hobi bicara yang mujmal. Ini kan sudah mau pinter, di
suruh goblok lagi.
44. Anda
itu ngaji, sampai buka kamus, meneliti tiap kata, harusnya ngajarnya seperti
itu. Agar tetap alim.
45. Ada
kiai yang sehari manggung tiga kali.
46. Padahal,
pasti dia tidak paham problem dakwah di setiap tempat itu.
47. Dia
tidak tahu objeknya, tidak tahu obatnya.
48. Pasti
bicaranya standar, itu-itu saja, yang penting lucu dan menarik.
49. Mana
ada waktu untuk belajar lebih dalam?
50. Akhirnya
ada orang ceramah ditambahi musik macam-macam.
51. Karena
dia tidak alim.
52. Tidak terkontrol, yang penting menarik.
53. Akhirnya
ya goblok beneran.
54. Pondok
NU juga ikut-ikutan tren.
55. Bikin
acara, ya pengajian umum.
56. Yang
datang banyak.
57. Masak,
pondok NU mengundang Ustad Abdus Shomad dan Adi Hidayat.
58. Karena
ikut tren tadi.
59. Tidak
tahu, keduanya itu kategorinya apa, detailnya mereka.
60. Musibah
lagi, warga NU membaca tulisan Gus Ulil, Nusron bahkan Abu Janda tapi tidak
tahu naskahnya Mbah Hasyim Asy’ari.
61. Saya
hanya ingin, tradisi ilmiah di NU itu kembali.
62. Kiai
tidak boleh diatur orang kaya.
63. Jika
tidak, NU bisa habis (orang alimnya).
64. Saya di
NU ditugasi ini, bukan yang lain.
65. Maka,
saat saya di Lirboyo, saya bilang “Gus
Kafa, saya lebih senang disambut 4 santri yang benar-benar niat ngaji, daripada
banyak santri yang niatnya tidak jelas.“
66. Kemudian,
setiap kali saya ke Lirboyo, anak, mantu, cucu dikumpulkan dulu ngaji sama
saya.
67. Jika, kita 5 tahun saja memulai. NU akan
hebat.
68. Jika
bukan anak kita yang jadi alim, cucu kita akan jadi ulama.
69. Itulah
NU.NU itu harusnya melahirkan kiai allamah, bukan kiai mubaligh seperti
sekarang.
70. Dan
saya melihat sudah lampu merah.
71. Padahal
di zaman kakek saya, bahasa Arab itu seperti bahasa Jawa.
72. Saya
punya tulisannya Mbah Hasyim Asy’ari yang surat-suratan dengan kakek saya
dengan bahasa Arab.
73. Keilmuan,
kealiman ini jangan habis.
74. Dulu
para pendiri, kakek kita, allamah,
punya naskah.
75. Jika
kita terus begini, bisa habis.
(Sumber: internet)
0 comments:
Post a Comment