Wednesday, May 10, 2017

67. TERTAWA WAJAR

ABU LAHAB DAN BUKTI KEBENARAN ALQURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Guru dan Kepala UPT SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Dr. Zakir Naik, ahli perbandingan agama. Berasal  dari India. Ia menuturkan, banyak bukti yang menunjukkan kebenaran Alquran. Salah satunya, surat Allahab. Surat Allahab, berisi lima ayat. Merupakan surat ke-111 dari 114 surat dalam Alquran. Menurut Ibnu Abbas, azbabun nuzul atau penyebab turunnya  ayat ini berkenaaan dengan sikap dan perilaku Abu Lahab.
      Abu Lahab, paman dan besan Nabi. Rumahnya berdempetan dengan rumah Nabi. Dua putri Nabi, Ruqaiyah dan Umi Kulsum, dinikahkan dengan Utbah dan Utaibah, dua putra Abu Lahab. Mereka dinikahkan sebelum Nabi Muhammad diangkat  menjadi rasul. Nabi Muhammad mendapatkan wahyu pertama, di Gua Hira. Di puncak gunung Jabal Nur. Melalui malaikat Jibril. Sekitar umur 40 tahun.
      Disebut Jabal Nur bermakna “Gunung Bercahaya”. Juga dijuluki “Bukit Iluminasi”. Wahyu pertama turun, ketika Nabi menyendiri. Di Gua Hira. Yang berada di tebing teratas gunung Jabal Nur.  Gunung di dekat kota Mekah. Termasuk daerah Hejaz, Saudi Arabia. Sekitar 7 km dari Masjidilharam, Mekah. Arah Timur Laut dari Mekah. Merupakan titik awal cahaya Islam. Yang  menyinari seluruh dunia sepanjang masa.
      Memang, pada malam hari yang gelap gulita. Bebatuan gunung Jabal Nur seolah memancarkan sinar. Pemandangan wujud gunung yang mestinya gelap gulita, ternyata tampak  jelas. Hal ini, disebabkan tidak ada pepohonan. Ataukah bebatuan yang memang menyimpan atau memantulkan cahaya. Atau sebab lainnya. Entahlah, yang jelas saya sudah membuktikannya sendiri.
      Musim ibadah haji tahun 2005. Kuota jamaah haji Indonesia 205.000 orang. Kami, saya dan Haji Suherman guru matematika SMP Negeri 4 Sidoarjo, sepakat merencanakan naik ke Gua Hira di gunung Jabal Nur. Juga Gua Tsur di gunung Jabal Tsur. 
      Kenapa? Karena kami ingin mencoba merasakan dan mengenang perjuangan Nabi pada zaman dulu. Peta kota Mekah dan data profil gunung Jabal Nur sudah saya miliki. Ketinggian Jabal Nur sekitar 642 m dari permukaan air laut. Dengan jalan setapak bebatuan yang terjal. Kemiringan medan bisa mencapai 60 derajat.
      Suherman, sudah “bergelar” haji. Sudah pernah melaksanakan ibadah haji. Pada musim haji beberapa tahun sebelumnya. Dia dipanggil “Abah”. Namun, dia masih memiliki “dendam”. Belum sempat sowan dan berkunjung ke Gua Hira di gunung Jabal Nur dan Gua Tsur di Jabal Tsur. Dia juga merasakan hal yang sama. Ketika kami naik taksi berkeliling kota Mekah dan ke sekitarnya. Malam hari yang gelap gulita. Langit penuh bintang kemintang. Dari kejauhan, gunung Jabal Nur tampak seolah  “bercahaya”. Disebabkan gunung yang “botak”. Atau memang bahan bebatuan yang menyimpan panas matahari. Boleh jadi. Yang pasti, memancarkan pemandangan yang mengagumkan.
      Hari masih gelap.  Kami mulai melangkahkan kaki, keluar hotel. Tempat menginap selama di Mekah. Dengan bekal bahasa Arab ala kadarnya. Kami mencari mobil angkutan umum. Naik mobil taksi Toyota Camry dari pemondokan. Warga Afganistan sebagai sopirnya. Berangkat dari wilayah Al-Aziziyah, Mekah. Menuju arah gunung Jabal Nur. Selama perjalanan kami melihat pemandangan kota Mekah dan sekitarnya. Yang dipenuhi bangunan beton bertingkat. Sedikit pepohonan.  Dikelilingi gunung dengan bebatuan yang “gundul”. Pemandangan yang berbeda dan “aneh”. Jika dibandingkan  dengan pemandangan di Indonesia. Khususnya, di wilayah Sidoarjo, Jawa timur.
      Berangkat pagi hari. Mengapa?  Perubahan cuaca di Mekah amat ekstrem.  Tidak bersahabat. Malam hari, bulan Januari dan Februari suhu berkisar 5 sampai 20 derajat Celsius. Sedangkan siang hari melonjak 40 sampai 43 derajat Celcius. Siang hari matahari bersinar amat terik menyengat kulit dan menyilaukan mata.   
      Kami berjalan kaki bersandal jepit. Membawa bekal sedikit makanan dan minuman. Juga payung. Dengan seragam jamaah haji Indonesia yang khas. Jaket batik Sidoarjo, dan kopiah hitam. Kami berdoa memohon kepada Allah Yang Mahakuasa. Agar perjalanan lancar sampai puncak. Kemudian bisa kembali lagi ke bawah, ke pemondokan. Tetap sehat dan selamat. 
      Di kaki gunung, terdapat papan pengumuman. Semacam imbauan. Dalam berbagai bahasa. Berisi peringatan. Nabi Muhammad tidak pernah menyarankan atau memerintahkan umat Islam untuk ziarah atau mengunjungi Gua Hira. Yang terletak di puncak gunung Jabal Nur.  Tapi, juga tidak melarangnya. Oleh karena itu, Pemerintah Saudi tidak menyiapkan sarana dan prasarana apapun. Dibiarkan alami.  Asli apa adanya.
      Saya dan Haji Suherman mulai menyiapkan diri. Haji Suherman terpaksa menjadi “bujangan lokal”. Karena istrinya tidak ikut mendaki. Ditinggal di  kaki gunung. Kami mulai melangkahkan kaki. Bersama jamaah haji dari seluruh dunia. Yang berminat. Dengan tujuan yang sama. Menuju Gua Hira. Di belahan tertinggi gunung Jabal Nur. Tentu saja, yang kuat fisik. Terutama mentalnya. Beberapa jamaah dari Turki. Yang sudah berumur. Tampak semangat mendaki gunung. Mengikuti jalan setapak.
      Berderet-deret barisan manusia mengular berjalan kaki dari  bawah ke atas. Juga ada yang dari atas ke bawah.  Menuju Gua Hira, dan sebaliknya. Pemandangan yang menakjubkan. Selama di perjalanan kami sempat mengambil foto. Bergantian. Menggunakan kamera sederhana. Yang kami bawa.
      Beberapa kali kami menyaksikan jamaah yang “show of force”. Menunjukkan “kesaktian”. Mungkin jamaah haji lokal. Mereka berlompatan di antara bebatuan yang terjal dengan santai. Seolah memiliki ilmu terbang. Tidak melewati jalan setapak yang biasa. Tapi seolah “menclok” di tepi gunung. Berpindah dari ujung batu ke ujung yang lain. Pemandangan yang menarik sekaligus mendebarkan. Khawatir ada yang jatuh terpeleset.  Alhamdulillah. Selama kami berada di gunung Jabal Nur. Tidak terjadi musibah apa-apa.
      Beberapa kali kami berhenti. Di semacam pos pemberhentian yang beratap sekadarnya. Kami istirahat sejenak. Menikmati makanan dan minuman. Melihat pemandangan sekitar.  Saya berusaha mengingat, menelusuri, dan membayangkan jejak Nabi.  Sewaktu Nabi, beberapa abad lampau. Menyendiri di Gua Hira. Di tebing puncak gunung Jabal Nur.
      Dengan kondisi alam yang masih alami, keras, dan “liar”. Sungguh berat.  Amat melelahkan. Perlu mental yang kuat. Butuh motivasi hebat. Memerlukan keimanan  yang sangat kokoh. Berangkat dan pulang. Naik dan turun. Mendaki dan menuruni gunung. Hanya satu tujuan. Gua Hira. Di tebing “piramida” puncak gunung Jabal Nur. Tidak terasa, air mata menetes di pipi. Mengenangkan betapa berat tugas Nabi Muhammad, masa itu.
      Setelah berjalan sekitar dua jam, termasuk beberapa kali istirahat sejenak. Akhirnya, kami sampai di puncak gunung. Di atas Gua Hira. Gua yang bersejarah. Syaikh Syafiyyurrahman menguraikan dalam Sirah Nabawiyah: menjelang usia 40 tahun,  Nabi sering menyendiri di gua ini. Dengan bekal roti yang terbuat dari gandum dan air minum. Keluarga Nabi terkadang menyertai ke sana.
      Selama bulan Ramadan Nabi berada di gua ini. Juga memberikan sebagian bekal makanan kepada orang miskin yang berada di sekitar. Beliau menghabiskan waktunya. Untuk beribadah. Memikirkan keadaan alam sekitar. Kekuatan tidak terhingga di balik alam. Tidak puas dengan kondisi kaumnya yang penuh kemusyrikan.
      Alhamdulillah. Kami berhasil melaksanakan semacam “napak tilas” jejak perjalanan Nabi. Sewaktu Nabi menerima wahyu pertama. Di Gua Hira. Gua berukuran panjang sekitar 3,5 m dengan lebar 1,5 m. Berada sekitar 4 m di bawah puncak. Di tebing teratas gunung Jabal Nur, Mekah. Kami duduk di bebatuan. Melihat pemandangan kota Mekah yang indah. Pemandangan sekitar yang hebat.
      Saya membayangkan beberapa abad lalu. Nabi berada di puncak gunung melihat kota Mekah. Menyaksikan rumahnya dari kejauhan. Dengan bebatuan yang keras. “kenthing”, dan berkilat.  Tidak mustahil, bebatuan sekarang ini tetap sama. Tidak berubah.  Sewaktu dikunjungi Nabi beberapa abad silam. Subhanallah.  
      Ketika Nabi diangkat menjadi rasul. Abu Lahab amat murka. Kedua putranya diperintahkan dengan ancaman keras. Agar menceraikan dua putri Nabi. Hampir setiap hari, Abu Lahab dan istrinya mengganggu Nabi dengan kasar dan biadab. Tiada henti, mereka menyebarkan kabar bohong, memasang duri, melontarkan kotoran, melempari dengan batu, dan perbuatan jahat lainnya kepada Nabi. Ketika itu, Nabi diam saja, tidak membalasnya. Abu Lahab merupakan adik kandung ayah Nabi sendiri.
      Ketika mendengar Abdullah, putra Nabi, wafat. Abu Lahab amat gembira. Seketika itu, Ia menjumpai teman-temannya. Berteriak dengan keras bahwa Muhammad telah terputus dari rahmat Allah. 
      Setelah turun surat Asy-Syuara. Surah ke-26 ayat 214.”Dan berilah peringatan kepada kerabatmu yang dekat.”  Perintah berdakwah secara terbuka.  Langkah pertama, Nabi mengundang keluarga Bani Hasyim. Yang hadir 45 orang. Sebelum Nabi bicara, Abu Lahab menyela, “Semua yang hadir di sini adalah paman-pamanmu sendiri dengan anak-anaknya. Segeralah bicara, jika ingin berbicara. Jangan bersikap kekanakan.”
      Kemudian Abu Lahab Melanjutkan, “Ketahuilah, tidak ada orang Arab yang berani mengernyitkan dahi kepada keluarga kami. Dengan begitu, aku berhak menghukummu. Biarkan urusan keluarga bapakmu. Jika kamu tetap bertahan pada urusanmu ini, maka itu lebih mudah bagi mereka daripada semua kabilah Quraisy menyerangmu.”
       “Jangan sampai semua bangsa Arab ikut campur tangan. Selama ini tidak ada seorang pun dari keluarga bapakmu yang berbuat macam-macam,” tegas Abu Lahab. Ketika itu, Nabi diam saja. Nabi tidak berbicara sepatahpun.
       Pada kesempatan lain. Nabi mengundang keluarga Bani Hasyim lagi. Kali ini Nabi bersabda,”Segala puji bagi Allah, dan aku memuji-Nya. Memohon pertolongan, percaya, dan tawakal kepada-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah semata, dan tiada sekutu bagi-Nya.”
      Kemudian beliau melanjutkan lagi, ”Sesungguhnya, seorang pemandu tidak akan mendustakan keluarganya. Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian secara khusus. Kepada manusia secara umum. Demi Allah, sungguh, kalian akan mati layaknya orang tidur nyenyak. Akan dibangkitkan lagi bagaikan bangun tidur. Kita akan dihisap terhadap apa saja yang kita perbuat. Kemudian, di sana ada surga yang abadi, dan neraka yang kekal pula.” urai Nabi.
     Abu Lahab berkata, “Demi Allah, ini kabar buruk. Ambil tindakan terhadapnya.  Sebelum orang lain yang melakukannya.” “Demi Allah, kami akan tetap melindunginya, selama kami masih hidup, “ jawab Abu Thalib, paman Nabi yang juga kepala suku Quraisy saat itu. 
      Menurut sejarah, Abu  Thalib, bapak asuh sejak Nabi usia 8 sampai 50 tahun. Ayah Nabi, Abdullah, wafat ketika Nabi belum lahir. Sedangkan Aminah, ibu Nabi,  meninggal saat usia Nabi 6 tahun. Kemudian Abdul Muththalib, kakek yang mengasuh Nabi selama 2 tahun. Umur 6 sampai 8 tahun.
      Mulai saat itu. Nabi merasa yakin terhadap janji Abu Thalib untuk melindunginya. Suatu hari Nabi mengundang semua suku berkumpul di Bukit Safa.  Nabi berdiri di atas batu besar dan berseru, ”Wahai semua suku kaum Quraisy. Bagaimana pendapat kalian, jika kukabarkan bahwa di sekitar lembah ini ada pasukan yang mengepung kalian. Apakah kalian percaya kepadaku?” “Ya, benar,” jawab mereka, “kami tidak pernah  menemukan engkau berbohong, pengalaman kami selama ini engkau selalu jujur.”
      Nabi melanjutkan,”Sesungguhnya, aku memberi peringatan kepada kalian, sebelum datangnya azab yang pedih.” Abu Lahab murka, “Celakalah kamu Muhammad, apakah kamu mengumpulkan kami hanya untuk ini!” Kemudian turunlah ayat, “Celakalah ke dua tangan Abu Lahab.” Inilah surat Allahab. Ayat ini turun pada tahun ke tiga kenabian. Ayat ini diterima Nabi. Melalui malaikat Jibril.  Sepuluh tahun sebelum Abu Lahab meninggal dunia. Yang menjelaskan dengan yakin dan gamblang. Abu Lahab dan isterinya pasti dilemparkan ke dalam neraka Jahanam.
      Ketika itu, Abu Lahab dan isterinya masih segar bugar. Ternyata benar, Abu Lahab masih hidup selama sepuluh tahun lagi. Semenjak ayat tersebut diturunkan. Berarti, selama sepuluh tahun, masih banyak peristiwa yang akan terjadi. Tapi, Alquran, dengan tegas dan jelas. Sudah memastikan hal yang akan terjadi. Menimpa Abu Lahab dan istrinya. Luar biasa.
      Abu Lahab dan istrinya memiliki kesempatan selama sepuluh tahun. Untuk membuktikan Alquran salah. Menunjukkan Alquran keliru. Amat mudah. Gampang sekali. Abu Lahab dan atau istrinya mengikrarkan Dua Kalimat Syahadat. Saya bersaksi tiada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi Nabi Muhammad utusan Allah. Tanda ucapan masuk Islam.
      Hanya itu saja. Cukup itu saja. Sudah membuktikan Alquran salah. Menunjukkan surat Allahab salah. Ayat dalam Allahab keliru. Jika Abu Lahab atau istrinya masuk Islam. Berarti, Alquran terbukti salah! Alquran keliru! Ternyata, hal Itu tidak pernah terjadi. Padahal, selama sepuluh tahun, banyak saudara dan teman Abu Lahab yang berikrar masuk Islam. Tetapi, kenyataannya sampai meninggal dunia Abu Lahab tetap kafir. Tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya.
      Mengapa? Karena Alquran kalam Allah. Bukan karangan Nabi Muhammad. Juga bukan hasil literasi Nabi Muhammad. Jadi, kisah Abu Lahab ini merupakan bukti. Menunjukkan salah satu bukti kebenaran Alquran. Maha Suci Allah. Subhanallah.
Daftar Pustaka.
1. Sirah Nabawiyah. Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfury. Penerjemah: Kastur Suhardi. Penerbit Pustaka Al-Kautsar. Jakarta 1997.
2. Zakir Naik. Iklan buku dalam facebook.
3. Peta Mekah dan Medinah.

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment