KAPAN
INDONESIA MAJU
Oleh:
Drs. H.M. Yusron Hadi, M.M.

1. MATI
BERDIRI.
2. Oleh:
Dahlan Iskan.
3. Putuslah
sudah harapan saya yang sempat meroket itu: pembangunan kilang besar --agar
kita swasembada bahan bakar minyak.
4. Roket
itu meluncur bukan tanpa alasan.
5. Bacalah
keterangan pers Dirut Pertamina usai dengar pendapat di DPR.
6. Awal
tahun tadi.
7. Di
forum itu terkesan begitu pastinya: sudah tinggal jalan.
8. Ini
akan sangat bersejarah.
9. Setelah
30 tahun Indonesia jalan di tempat: tidak bisa membangun kilang besar.
10. Sebenarnya
tidak semua punya perasaan meroket seperti saya.
11. Banyak
yang pesimistis sejak awal.
12. Pun
tetap pesimistis meski keterangan Dirut Pertamina begitu menggiurkannya.
13. Saya
memang mencoba terus bersikap optimistis.
14. Termasuk
ketika dulu itu: ketika saya tahu begitu sulit membangun kilang besar.
15. Saya
tidak pernah mencela kegagalan membangun kilang besar --begitu sulitnya.
16. Pun
sekarang ini --ketika harapan roket itu ternyata menukik.
17. Tentu
saya pernah ikut rapat-rapat tingkat tinggi.
18. Yang
membahas rencana membuat sejarah kilang seperti itu.
19. Saya
pun tahu betapa SULIT --dengan huruf besar.
20. Jangan
salahkan siapa-siapa.
21. Maka
secara pribadi saya pun mengambil kesimpulan: harus ada terobosan lain.
22. Yang
out of the box.
23. Sudah
terlalu banyak energi untuk membicarakan pembuatan sejarah itu.
24. Sudah
30 tahun.
25. Sudah
sekian presiden.
26. Setiap
presiden ingin membuat sejarah.
27. Apalagi
ini sejarah yang sangat seksi: bisa mengatasi impor BBM --yang jadi sumber
fitnah terbesar dan terpanjang dalam sejarah.
28. Pikiran
baru saya itu, waktu itu, mobil listrik.
29. Tidak
perlu lagi BBM.
30. Memang
ide terlalu awal: sampai ada yang mempertanyakan soal tingkat emisinya.
31. Betapa
lucunya pertanyaan itu.
32. Atau
pertanyaan ini: di mana nanti charging-nya.
33. Sampai-sampai
saya harus menemukan jawaban ini: kita itu bisa membangun ribuan pompa bensin.
34. Yang
biayanya bisa Rp 20 miliar/station.
35. Padahal
membangun stasiun charging itu hanya Rp 20 juta.
36. Di
mana sulitnya.
37. Tapi,
ya sudahlah.
38. Itu
sudah lewat.
39. Sudah
lama sekali.
40. Sudah
8 tahun.
41. Perkembangan
mobil listrik di dunia sudah begitu majunya.
42. Sudah
sulit dikejar.
43. Tapi
pilihan solusinya kan tidak berubah: tanpa mobil listrik kita harus membangun
kilang besar.
44. Untuk
mengolah minyak mentah menjadi BBM --dan turunannya.
45. Satu
kilang besar berkapasitas 300.000 barel/hari perlu investasi Rp 70 triliun.
46. Bagaimana
bisa balik modal?
47. Siapa mau
mengucurkan dana segajah bengkak itu?
48. Hitungan
balik-modalnya lebih panjang dari jalan Daendels - -dari Anyer sampai ke Panarukan.
49. Pun
waktu saya masih ikut rapat-rapat-tingkat-tinggi dulu itu.
50. Yang
dicari ya 'tinggal' itu: bagaimana bisa balik modal.
51. Kalau
pun ada yang mulai berminat minta fasilitasnya ampun-ampun.
52. Apa
saja harus diberikan pada investor.
53. Baik
dari pemerintah maupun dari Pertamina.
54. Kesimpulan
saya lagi: fasilitas yang diminta itu sampai begitu tidak masuk akalnya --akal
sehat maupun akal nasionalisme.
55. Padahal
kalau pun kita berhasil membangun kilang itu minyak mentahnya toh masih juga
harus impor.
56. Tetap
saja mobil listrik.
57. Sekarang
saya harus tetap optimistis - -optimistis level 3.
58. Saya
akan diam saja kalau pun diputuskan harus impor mobil listrik.
59. Apa
boleh buat.
60. Akar
pun jadi.
61. Pun
kalau harus perusahaan asing yang mendirikan pabrik mobil listrik di Indonesia.
62. Saya
akan diam menerima.
63. Saya
sudah siap mental untuk menerima new normal itu --ups, new reality itu.
64. Move
on.
65. Toh
harapan pada 2-kilang-besar-baru itu sudah pupus.
66. Investor
nan gagah berani dari Oman saja sudah mundur dari proyek itu di Bontang.
67. Dan
investor malaikat dari Saudi --Aramco-- juga sudah mundur dari proyek kilang
Cilacap.
68. Padahal
tidak ada lagi isu tanah.
69. Pertamina
sudah menyelesaikan pengadaan tanah yang sulit itu.
70. Yang setiap kilang setidaknya 250 hektare itu.
71. Saya
tidak tahu fasilitas apa saja yang sudah disetujui saat mereka utk membangun 2
kilang itu.
72. Tapi
tidak perlu dibahas.
73. Toh
sudah batal.
74. Ups...
Masih ada cadangan optimisme.
75. Mengapa
tidak membangun kilang kecil-kecil saja?
76. Misalnya
kelas 10.000 barel/hari?
77. Sekaligus banyak?
78. Di
beberapa lokasi?
79. Terutama
lokasi di dekat sumur minyak-mentah?
80. Sekaligus
memperbaiki rasio biaya logistik?
81. Tentu
kita ingat lagi kilang kecil yang mati berdiri itu.
82. Sudahlah.
83. Move
on.
84. Para
pengusaha lokal pasti bisa melakukannya lagi.
85. Mereka
pasti mampu.
86. Seperti
terbukti di Tuban --dekat lapangan minyak Cepu di Banyuurip itu.
87. Yang
milik pengusaha nasional dari ITB itu.
88. Yang
kemudian mati di lumbung itu.
89. Kilang
itu milik TWU (Disway:Lumbung Itu Tidak Untuk Ayam).
90. Yang
tidak bisa lagi mendapat minyak-mentah --dari sumur minyak raksasa milik Exxon
dan Pertamina itu.
91. Sampai
sekarang kilang itu masih berdiri tegak.
92. Mati
berdiri.
93. mungkin
perlu dicoba terobosan lagi.
94. Dengan
aturan baru.
95. Misalnya,
minyak bagian pemerintah (dari bagi hasil) didedikasikan untuk kilang kecil.
96. Asal
dibangun di dekat sumur minyak.
97. Tidak
perlu lagi angkut-minyak-mentah-jarak-jauh seperti selama ini.
98. Tentu
masih banyak masalah teknik.
99. Yang
tidak mungkin saya tulis di DI's Way --pembaca bisa teriak 'saya tidak bisa
bernafas'.
100. Saking
teknisnya.
101. Tentu
banyak juga alasan untuk tidak menyetujui terobosan itu.
102. Hanya
diperlukan 1 alasan saja untuk setuju.
103. Terlalu
banyak alasan untuk tidak setuju.
(Sumber: Dahlan Iskan)
0 comments:
Post a Comment