Tuesday, November 23, 2021

11779. NGAJI LUCU NU DAN MUHAMMADIYAH

 




NGAJI LUCU NU DAN MUHAMMADIYAH

 

 

MENGAPA PENGAJIAN DI MUHAMMADIYAH TIDAK LUCU?

 

Pertanyaan di atas kerap terlontar.

Ketika membandingkan gaya pengajian antar ormas.

 

Ada penilaian umum.

Bahwa pengajian di Muhammadiyah cenderung serius.

 

Dan para pendakwah Muhammadiyah.

 

Lebih banyak membawa materi serius.

Dengan cara serius.

 

Dibanding pengajian NU.

 

Mungkin benar.

meskipun belum tentu tepat.

 

Tidak selalu pengajian NU lucu.

 

Dan tidak selalu pengajian Muhammadiyah.

 

Membuat pendengarnya mengernyitkan dahi.

 

NU ada Gus Dur sangat humoris.

 

Muhammadiyah punya Pak AR.

 

Pengurus Muhammadiyah dan ortom.

Sering tertawa dalam pengajian pimpinan. 

 

 

Mungkin bedanya pada “ruang sosial”.

 

 Saat humor dimunculkan.

 

Pada pengajian NU.

Humor tak hanya muncul dalam ruang khusus.

 

Tapi juga saat pengajian umum.

 

Yaitu pengajian di luar struktur pengurus.

 

Di Muhammadiyah.

Lelucon cenderung hanya muncul dalam pengajian.

 

Atau perbincangan tingkat struktur. 

 

Mengapa pengajian (umum) di NU.

 

Cenderung lebih banyak menimbulkan tawa.

 

Daripada Muhammadiyah?

 

Dalam perspektif sosiologis.

 

Tidak bisa dilepas dari konteks social.

 

Di mana pengajian terjadi.

 

Munculnya lelucon.

Atau serius.

 

Cenderung terjadi bukan dalam ruang privat.

 

Bukan semata faktor karakter pendakwah.

 

Tapi lebih pada hasil dari interaksi.

Pendakwah dan masyarakat.

 

Dalam waktu cukup lama.

Melibatkan pelbagai unsur sosiologis masyarakat.

 

Henri Bergson menyebut.

Bahwa tawa selalu “tawa kelompok”.

 

Tidak mungkin tertawa sendiri.

Tanpa terkait orang lain.

 

Kita tertawa karena imajinasi.

Juga terkait orang lain secara fiktif.

 

Ada beberapa kemungkinan.

 

1.      Kultur patriarki lebih kental NU daripada Muhammadiyah.

 

Di NU relasi antar-struktur pemimpin dipilih demokratis.

 

Tapi relasi struktur dengan masyarakat.

 

Kepemimpinan berlangsung tadisional.

 

Meminjam klasifikasi otoritas Weber

 

Kiai tidak hanya berfungsi spiritual.

 

Tapi juga status social.

Dan status itu relatif bisa “diwariskan”.

 

Hal ini membuat hierarki dominasi cenderung stabil.

 

Karena superioritas tidak berpindah secara periodik.

 

2.      Muhammadiyah lebih otoritas legal-formal.

 

Sangat mungkin terjadi sebutan “kiai”.

Hanya temporer.

 

Dan untuk senior pimpinan aktif.

Juga tidak diwariskan kepada anaknya.

 

Meskipun anaknya juga aktif sebagai pengurus.

 

Sudah jamak di Muhammadiyah.

Setelah berganti pemimpin.

 

Maka pemimpin sebelumnya.

Seperti “warga biasa”.

 

Hal ini membuat superioritas.

Tidak mutlak terus menerus.

 

Lalu apa hubungan superioritas  dengan lelucon pengajian?

 

 Salah satu pendekatan utama dalam teori humor.

 

Yakni teori superioritas.

 

Bahwa tawa adalah kejayaan mendadak.

 

Atas kemenangan terhadap tidak hormat orang lain.

 

Tepatnya cara menyerang pihak lain.

 

Artinya menegakkan kekuasaan dan status.

 

Dengan menggalang dukungan dari pihak.

Yang tergabung dalam tawa.

 

Menurut Thomas Hobbes.

 

Orang biasa tertawa.

Yaitu orang sadar.

 

Sedikitnya kemampuan dalam diri mereka.

Yang memaksa diri sendiri.

 

Untuk tetap berada dalam posisi menguntungkan.

 

Dengan mengamati orang lain tak sempurna.

 

Seno Gumira Ajidarma menguraikan pendapat Sigmund Freud.

 

Bahwa lelucon sebagai Agresi Tak Sadar.

 

Dipakai mengungkapkan sesuatu.

 

Yang biasanya dilarang masyarakat.

 

Ada lelucon tendensius.

 

Misalnya ungkapan tak langsung.

Tentang permusuhan atau seksualitas.

 

Termasuk lelucon jorok dan lugu.

 

Yang lebih pada kecerdikan verbal.

 

Dengan memasukkan permainan kata-kata dan teka-teki. 

 

Lelucon ini menurut Freud karena ego yang ditekan.

 

Tapi selalu mencari jalan keluar.

 

Maka pikiran itu muncul.

 

Dalam bentuk keseleo lidah maupun lelucon.

 

Meski agak beda dengan Freud.

Yang menyebut lelucon adalah bentuk tidak sadar.

 

Koestler menganggap lelucon tindakan sadar.

 

Tapi keduanya setuju.

Bahwa lelucon atau humor itu  bentuk agresi.

 

Yaitu serangan pihak superior kepada inferior.

 

Di Muhammadiyah.

Status superior tidak mutlak.

Dan selalu berpindah.

 

Sehingga munculnya lelucon makin sempit.

 

Ini logis.

Saat status superior dijamin tidak selamanya.

 

Maka lebih hati-hati dalam membuat lelucon.

 

Banyak lelucon pengajian.

Mengandung pola humor superior.

 

Humor kekurangan kelas bawah.

 

Atau humor tentang wanita.

 

Di Muhammadiyah hal ini masih  tabu.

 

Disampaikan di depan umum.

 

3.      Teori Pelepasan dan Ketergugahan.

 

 Teori ini menyebut lelucon itu bebas sesaat dari tekanan.

 

Seno Gumira mengutip Gregory.

 

Ada 3 bentuk pelepasan, yakni:

 

1.      Berhasil berjuang atau persepsi mendadak atas kelemahan lawan.

 

2.      Ada ketegangan dalam situasi sulit.

 

Tapi tak terlalu butuh antisipasi.

 

3.      Paksaan secara sosial dibebankan atas perilaku dan bahasa.

 

Saat orang berdakwah.

Kepada masyarakat yang hidupnya cukup sulit.

 

Pendekatan humor.

Adalah gaya komunikasi paling efektif.

 

4.      Teori Keganjilan.

 

Humor tercipta karena adanya perbedaan.

 

Antara persepsi awal dengan yang dimunculkan.

 

Arthur Schopenhauer menyatakan.

 

Penyebab tawa dalam tiap kasus.

 

Yaitu sekedar pemahaman mendadak.

 

Atas keganjilan antara konsep dan objek nyata.

 

Yang telah terpikir.

Lewat sejumlah hubungan.

 

Tawa itu sekedar ekspresi ganjil.

 

Teori ini banyak dipakai  comedian.

 

Saat sengaja membuat lelucon.

 

Dalam perspektif teori ini.

 

Pendakwah Muhammadiyah tidak lucu.

Karena sengaja tak membuat lelucon sejak awal.

 

Mengapa tidak merencanakan lelucon?

 

Mungkin dianggap tidak relevan.

Atau terbatasnya pendakwah Muhammadiyah.

 

 

Ada 3 sebab terbatasnya pendakwah, yaitu:

 

1.      Di Muhammadiyah jarang ditemui pengurus yang “kerjanya”  juru dakwah.

 

Dalam arti dakwah di mimbar.

 

Umumnya ceramah sebagai aktivitas sampingan.

 

Pekerjaan utamanya guru, dosen, atau profesional.

 

Yaitu jenis profesi yang cukup menyita waktu.

 

Tidak punya cukup waktu senggang.

Untuk merancang lelucon.

 

2.      Sebagian pendakwah  menganggap agama bukan obyek ditertawakan.

 

Sehingga merancang materi dakwah lucu tidak bisa diterima.

 

3.      Terbatasnya kecerdikan bahasa.

 

Tidak mudah membuat lelucon.

 

Apalagi lelucon agama.

 

Harus hati-hati jangan membuat tersinggung.

 

Atau dianggap melecehkan agama.

 

(Sumber Ahmad Faizin Karimi)

 

0 comments:

Post a Comment