NGAJI LUCU NU DAN MUHAMMADIYAH
MENGAPA PENGAJIAN DI
MUHAMMADIYAH TIDAK LUCU?
Pertanyaan di atas kerap
terlontar.
Ketika membandingkan gaya
pengajian antar ormas.
Ada penilaian umum.
Bahwa pengajian di
Muhammadiyah cenderung serius.
Dan para pendakwah Muhammadiyah.
Lebih banyak membawa materi
serius.
Dengan cara serius.
Dibanding pengajian NU.
Mungkin benar.
meskipun belum tentu tepat.
Tidak selalu pengajian NU lucu.
Dan tidak selalu pengajian Muhammadiyah.
Membuat pendengarnya
mengernyitkan dahi.
NU ada Gus Dur sangat
humoris.
Muhammadiyah punya Pak AR.
Pengurus Muhammadiyah dan
ortom.
Sering tertawa dalam pengajian
pimpinan.
Mungkin bedanya pada “ruang
sosial”.
Saat humor dimunculkan.
Pada pengajian NU.
Humor tak hanya muncul
dalam ruang khusus.
Tapi juga saat pengajian
umum.
Yaitu pengajian di luar
struktur pengurus.
Di Muhammadiyah.
Lelucon cenderung hanya
muncul dalam pengajian.
Atau perbincangan tingkat
struktur.
Mengapa pengajian (umum) di
NU.
Cenderung lebih banyak
menimbulkan tawa.
Daripada Muhammadiyah?
Dalam perspektif sosiologis.
Tidak bisa dilepas dari
konteks social.
Di mana pengajian terjadi.
Munculnya lelucon.
Atau serius.
Cenderung terjadi bukan
dalam ruang privat.
Bukan semata faktor
karakter pendakwah.
Tapi lebih pada hasil dari
interaksi.
Pendakwah dan masyarakat.
Dalam waktu cukup lama.
Melibatkan pelbagai unsur
sosiologis masyarakat.
Henri Bergson menyebut.
Bahwa tawa selalu “tawa
kelompok”.
Tidak mungkin tertawa
sendiri.
Tanpa terkait orang lain.
Kita tertawa karena
imajinasi.
Juga terkait orang lain
secara fiktif.
Ada beberapa kemungkinan.
1. Kultur
patriarki lebih kental NU daripada Muhammadiyah.
Di NU relasi antar-struktur
pemimpin dipilih demokratis.
Tapi relasi struktur dengan
masyarakat.
Kepemimpinan berlangsung
tadisional.
Meminjam klasifikasi otoritas
Weber
Kiai tidak hanya berfungsi spiritual.
Tapi juga status social.
Dan status itu relatif bisa
“diwariskan”.
Hal ini membuat hierarki
dominasi cenderung stabil.
Karena superioritas tidak
berpindah secara periodik.
2. Muhammadiyah
lebih otoritas legal-formal.
Sangat mungkin terjadi
sebutan “kiai”.
Hanya temporer.
Dan untuk senior pimpinan
aktif.
Juga tidak diwariskan
kepada anaknya.
Meskipun anaknya juga aktif
sebagai pengurus.
Sudah jamak di Muhammadiyah.
Setelah berganti pemimpin.
Maka pemimpin sebelumnya.
Seperti “warga biasa”.
Hal ini membuat
superioritas.
Tidak mutlak terus menerus.
Lalu apa hubungan
superioritas dengan lelucon pengajian?
Salah satu pendekatan utama dalam teori humor.
Yakni teori superioritas.
Bahwa tawa adalah kejayaan
mendadak.
Atas kemenangan terhadap tidak
hormat orang lain.
Tepatnya cara menyerang
pihak lain.
Artinya menegakkan
kekuasaan dan status.
Dengan menggalang dukungan
dari pihak.
Yang tergabung dalam tawa.
Menurut Thomas Hobbes.
Orang biasa tertawa.
Yaitu orang sadar.
Sedikitnya kemampuan dalam
diri mereka.
Yang memaksa diri sendiri.
Untuk tetap berada dalam
posisi menguntungkan.
Dengan mengamati orang lain
tak sempurna.
Seno Gumira Ajidarma
menguraikan pendapat Sigmund Freud.
Bahwa lelucon sebagai
Agresi Tak Sadar.
Dipakai mengungkapkan
sesuatu.
Yang biasanya dilarang masyarakat.
Ada lelucon tendensius.
Misalnya ungkapan tak
langsung.
Tentang permusuhan atau seksualitas.
Termasuk lelucon jorok dan lugu.
Yang lebih pada kecerdikan
verbal.
Dengan memasukkan permainan
kata-kata dan teka-teki.
Lelucon ini menurut Freud karena
ego yang ditekan.
Tapi selalu mencari jalan
keluar.
Maka pikiran itu muncul.
Dalam bentuk keseleo lidah
maupun lelucon.
Meski agak beda dengan
Freud.
Yang menyebut lelucon
adalah bentuk tidak sadar.
Koestler menganggap lelucon
tindakan sadar.
Tapi keduanya setuju.
Bahwa lelucon atau humor itu
bentuk agresi.
Yaitu serangan pihak superior
kepada inferior.
Di Muhammadiyah.
Status superior tidak
mutlak.
Dan selalu berpindah.
Sehingga munculnya lelucon makin
sempit.
Ini logis.
Saat status superior dijamin
tidak selamanya.
Maka lebih hati-hati dalam
membuat lelucon.
Banyak lelucon pengajian.
Mengandung pola humor superior.
Humor kekurangan kelas
bawah.
Atau humor tentang wanita.
Di Muhammadiyah hal ini
masih tabu.
Disampaikan di depan umum.
3. Teori
Pelepasan dan Ketergugahan.
Teori ini menyebut lelucon itu bebas sesaat
dari tekanan.
Seno Gumira mengutip
Gregory.
Ada 3 bentuk pelepasan,
yakni:
1. Berhasil
berjuang atau persepsi mendadak atas kelemahan lawan.
2. Ada ketegangan
dalam situasi sulit.
Tapi tak terlalu butuh antisipasi.
3. Paksaan
secara sosial dibebankan atas perilaku dan bahasa.
Saat orang berdakwah.
Kepada masyarakat yang hidupnya
cukup sulit.
Pendekatan humor.
Adalah gaya komunikasi
paling efektif.
4. Teori
Keganjilan.
Humor tercipta karena adanya
perbedaan.
Antara persepsi awal dengan
yang dimunculkan.
Arthur Schopenhauer
menyatakan.
Penyebab tawa dalam tiap
kasus.
Yaitu sekedar pemahaman
mendadak.
Atas keganjilan antara
konsep dan objek nyata.
Yang telah terpikir.
Lewat sejumlah hubungan.
Tawa itu sekedar ekspresi ganjil.
Teori ini banyak dipakai comedian.
Saat sengaja membuat lelucon.
Dalam perspektif teori ini.
Pendakwah Muhammadiyah
tidak lucu.
Karena sengaja tak membuat lelucon
sejak awal.
Mengapa tidak merencanakan
lelucon?
Mungkin dianggap tidak
relevan.
Atau terbatasnya pendakwah
Muhammadiyah.
Ada 3 sebab terbatasnya
pendakwah, yaitu:
1. Di
Muhammadiyah jarang ditemui pengurus yang “kerjanya” juru dakwah.
Dalam arti dakwah di mimbar.
Umumnya ceramah sebagai
aktivitas sampingan.
Pekerjaan utamanya guru,
dosen, atau profesional.
Yaitu jenis profesi yang
cukup menyita waktu.
Tidak punya cukup waktu
senggang.
Untuk merancang lelucon.
2. Sebagian
pendakwah menganggap agama bukan obyek ditertawakan.
Sehingga merancang materi
dakwah lucu tidak bisa diterima.
3. Terbatasnya
kecerdikan bahasa.
Tidak mudah membuat lelucon.
Apalagi lelucon agama.
Harus hati-hati jangan membuat
tersinggung.
Atau dianggap melecehkan
agama.
(Sumber Ahmad Faizin Karimi)
0 comments:
Post a Comment