Monday, August 28, 2017

228. RIBA

RIBA MENURUT AL-QURAN
(seri ke-1)
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang riba menurut Al-Quran? Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Semua ulama sepakat bahwa riba adalah hukumnya haram berdasarkan ayat Al-Quran dan  ijmak seluruh ulama Islam, bahkan semua  mazhab atau aliran dalam Islam sepakat bahwa riba adalah hukumnya haram.
    Ijmak adalah kesesuaian pendapat atau kata sepakat para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa.
     Yang dibahas dalam tulisan ini adalah, “Apakah yang dimaksudkan sesungguhnya oleh Al-Quran dengan riba yang diharamkannya?”
     Para ulama sejak zaman dahulu hingga sekarang, ketika membahas masalah riba, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi para ulama melihat dan membahas beberapa praktik transaksi ekonomi yang terjadi.  
      Para ulama ingin mengetahui dan menetapkan praktik ekonomi yang berlaku, ”Apakah dalam praktiknya sama dengan riba yang diharamkan, sehingga akan menjadi haram, ataukah tidak sama?”
      Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktik transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa para sahabat dan diperkirakan akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk baru dalam transaksi ekonomi.
     Perbedaan pendapat para sahabat disebabkan wahyu tentang riba turun kepada Nabi Muhammad mendekati beliau wafat, bahkan ada yang meriwayatkan ayat tentang riba turun sembilan hari sebelum Nabi wafat.
     Umar bin Khaththab berkata, “Sesungguhnya ayat tentang riba termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, sebelum Nabi menjelaskannya. Oleh karena itu, sebaiknya tinggalkan saja sesuatu yang meragukanmu, dan pilihlah sesuatu yang tidak meragukanmu.”
      Umar bin Khattab berkata,”Karena khawatir terjerumus ke dalam riba yang diharamkan, maka para sahabat meninggalkan 90 persen yang halal.”
      Mari kita lihat sejarah selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran.
    Sejarah menjelaskan bahwa Thaif, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 100 km sebelah tenggara Mekah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan, terutama suku Quraisy yang bermukim di Mekah.
     Di Thaif bermukim orang Yahudi yang telah mengenal praktik riba, sehingga keberadaan mereka menyuburkan praktik riba tersebut.
     Suku Quraisy yang tinggal di Mekah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkannya dalam Al-Quran surah Quraisy, surah ke-106 ayat 1-4.
 •                           
     “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Kakbah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
      Orang Quraisy biasa mengadakan perjalanan berdagang ke negeri Syam pada musim panas dan ke negeri Yaman pada musim dingin, selama perjalanan mereka mendapatkan jaminan keamanan dari para penguasa dari negeri yang dilaluinya. Hal ini adalah suatu nikmat yang amat besar dari Allah. Oleh karena itu,  sewajarnya mereka menyembah Allah yang telah memberikan nikmat kepada mereka”.
   Di lokasi perdagangan orang Quraisy telah mengenal praktik riba, terbukti bahwa sebagian dari tokoh para sahabat Nabi,seperti Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi), Khalid bin Walid, dan lainnya, mereka mempraktikkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut.
     Pada zaman itu, kaum musyrik heran terhadap larangan riba, karena mereka mengganggap praktik riba sama dengan jual beli. Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 275.

                      •                       •       
      “Orang-orang yang makan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”.
     Dalam penjelasan ayat diterangkan riba ada dua macam, yaitu “riba nasiah” dan “riba fadhl”. Riba nasiah adalah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
      Sedangkan riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya.
     Riba yang dimaksud dalam ayat ini adalah “riba nasiah” yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliah.
      Yang dimaksudkan penyakit gila adalah orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan setan, dan riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.
     Pada zaman itu, mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan sama dengan keuntungan, yaitu kelebihan yang diperoleh dari hasil perdagangan.   Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2

0 comments:

Post a Comment