BEDA PENDAPAT NEW NORMAL
Oleh: Drs. H.M.
Yusron Hadi, M.M.

1. New Normal dan Roller Coaster Berhantu.
2. Oleh Anwar Hudijono.
2)
Entah
dari sisi teoritisnya.
3)
Sisi
praktiknya.
4)
Sisi
keseriusannya.
5)
Sampai
sisi prank dan kebadutannya.
6)
Pokoknya
segala sisi.
7)
Komplit
sudah layaknya martabak pakai telor bebek, daging, dan jamur.
8)
Semakin
menggelinding di ranah publik bak batu bulat jatuh dari bukit, new normal semakin
kontroversial.
3.
Mengapa?
4.
Ke-1:
New normal tidak dikenal
dalam khazanah tata hukum kenegaraan kita.
1)
Silakan
disimak cermat UU 24 Tahun 2007 tentang Kebencanaan.
2)
Buka
lebar-lebar Perpres 17 tahun 2018 yang mengatur soal kebencanaan.
3)
Tidak
ditemukan istilah new normal.
4)
Kendati
demikian oleh sebagian pemimpin pemerintahan new
normal dijadikan acuan kebijakan menangani Covid-19.
5)
Hal
ini kontroversi ketika masyarakat menawarkan lockdown,
pemerintah menolak dengan dalih tidak ada dalam tata perundangan Indonesia.
6)
Ada
sikap mendua.
7)
Menolak lockdown tetapi
menerima new normal.
8)
Padahal,
kedua istilah itu beserta seluruh anatominya sama lahir dari rahim WHO.
9)
Artinya
ada inkonsistensi dalam pola pikir sebagian pemimpin pemerintahan.
5.
Ke-2:
Pemahaman terhadap new normal bermacam-macam.
1)
Tidak
sedikit yang memahami new
normal secara “ngglundung semprong”
alias ikut-ikutan.
2)
Pejabat
atasnya bilang new normal itu
begini, semua aparat di bawahnya langsung ngombyongi seperti padi yang roboh
diterjang angin.
3)
Entah
paham apa tidak, yang penting menunjukkan loyalitas.
4) Mungkin memang sudah baca konsep new
normal menurut WHO.
5) Tetapi mungkin juga belum pernah
baca.
6) Tahu sedikit new normal dari grup
WA.
7) Bisa juga sudah baca secara tekstual
tetapi gagal paham secara konstekstual.
8) Ibarat tahu khitan itu hanya soal dipotong
kulupnya.
9) Tidak paham makna dan syariah
khitan.
6. Pintu
Toilet Belum Dibuka Sudah Ndoprok
1)
Yang
terjadi, melakukan kebijakan transisi bahkan new normal tetapi lekang dari 6 syarat
WHO.
2)
Misalnya
soal reproduksi dan status kurva pandemi dan syarat lain.
3)
Contoh,
menelorkan kebijakan transisi atau new normal saat kurva masih tinggi, bahkan
statusnya hitam.
4)
Ibarat
keburu ndodok padahal pintu toilet
belum dibuka.
5)
Ya gubrat semua.
6)
Jika
di kalangan para pemimpin bermacam pemahaman new
normal.
7)
Banyak
yang gagal paham.
8)
Bisa
dibayangkan bagaimana kalangan masyarakat awam.
7.
Memang
arus besar pemahaman masyarakat awam new
nomal berarti kembali kepada pola kehidupan pra pandemi Covid-19.
1)
Kembali
bebas.
2)
Tak
perlu maskeran.
3)
Kembali
cangkruk kopi.
4)
New normal itu
dianggap layaknya Lebaran setelah sebulan berpuasa.
5)
Mereka
tidak sadar eforia menyambut new
normal layaknya mokel di
tengah hari saat puasa.
6)
Maka
ketika ditertibkan seperti saat PSBB, ada yang kaget.
7)
Tidak
merasa melanggar aturan PSBB atau apa pun namanya.
8)
Wong
sudah era new normal.
8. Roller
Coaster Berhantu
1)
Muaranya
terkesan, penanganan pandemi Covid-19 semakin lama semakin ruwet.
2)
Semakin
membingungkan.
3)
Semakin
seru dan heboh.
4)
Semakin
membuat miris.
5)
Tapi
juga terlalu banyak drama, entah horor, tragedi, action,
maupun komedi.
6)
Seolah
masyarakat diajak naik roller
coaster berhantu.
7)
Memang
bergerak tapi cuma muter-muter.
8)
Dibayangi
hantu yang hendak menggelundungkan penumpang roller
coaster.
9)
Kesan
itu didasar pada jumlah positif Covid-19 cenderung naik.
10) Jumlah yang sembuh dengan jumlah
penderita baru tidak seimbang.
11) Semakin ngeri karena jumlah dokter
dan tenaga medis yang terpapar semakin banyak.
12) Bayangkan jika tenaga medis nanti
sudah tidak sanggup lagi.
13) Minimal tidak bisa menangani
secara full.
14) Ditambah perdebatan silang sengkarut
di kalangan elite.
15) Buzzer kian merajalela.
16) Kegaduhan yang kian riuh layaknya
kandang burung parkit yang ditambahi sekawanan betet, pendet, kutilang dan
rangkok.
17) Sampai ada tuduhan memang masyarakat
ini dibiarkan masuk herd immunity.
18) Inti herd
immunity itu, setiap orang dibiarkan memperkuat daya tahan tubuhnya.
19) Jika kuat lanjut hidup, jika tidak
kuat ke liang kubur.
20) Ngeri kan?
9. Nyawa
Rakyat
1) Untuk itu, setelah hampir empat
bulan virus asal Cina ini mewabah, sudah saatnya dilakukan evaluasi secara
menyeluruh dan jujur.
2) Salah satu yang layak
dipertimbangkan adalah kembali kepada aturan perundangan yang sudah ada.
3) Kesampingkan pendapat bahwa aturan
perundangan itu produk rezim lama.
4) Ini menyangkut nyawa rakyat
Indonesia.
5) Tumpah darah Indonesia.
6) Dalam menetapkan status dan tingkat
bencana, kita gunakan saja siaga darurat, tanggap darurat, dan darurat
pemulihan sesuai UU No 24 tahun 2007 tentang Kebencanaan.
7) Kalau misalnya perlu improvisasi,
kita gunakan standar status dan tingkat bencana alam gunung berapi atau banjir
seperti waspada, siaga 1 sampai 4, awas, normal.
10. Gunakan intilah rehabilitasi dan
rekonstruksi.
1)
Buat
skenario karantina wilayah.
2)
Gunakan
data spasial keruangan.
3)
Ini
akan lebih efisien.
4)
Jika
hanya 1 desa yang terjangkiti, mengapa semua desa harus dibuat status PSBB atau
tanggap darurat.
5)
Jika
yang merah hanya 1 kecamatan, mengapa kecamatan lain harus disamakan.
6)
Model gradakan, gebyah uyah harus
ditinggalkan.
7) Ibarat menangani kebakaran hutan.
8) Jika areal yang terbakar hanya 100s
hektar, mengapa harus semua disiram hujan buatan.
9) Jika ada 1 petak sawah terserang
wereng, mengapa harus seluruhnya disemprot antiwereng.
10) Di suatu kawasan tidak ada Covid-19,
mengapa seluruh kawasan disemprot desinfektan.
11) Maka tidak berlebihan kalau ada yang
menganggap model penanganan pandemi ini tidak efisien dan efektif.
12) Jika kita kosisten aturan
perundangan yang sudah ada, masyarakat tidak perlu dibuat bingung dengan
istilah ganjil.
13) Tidak dibuat gak jelas dengan
kebijakan tidak konsisten layaknya genangan air di daun keladi.
14) Melindungi masyarakat dari
ketakutan.
15) Kecemasan. Kebingungan.
Ketidakpastian. Ketidakpahaman, adalah bagian dari tanggap darurat
Covid-19.
11. Allahu
a’lam bis-shawab.
(Sumber:
M. Nurfatoni).
0 comments:
Post a Comment