SIKAP NU
TERHADAP RUU HIP
Oleh: Drs. H. M. YusronHadi, M.M

1.
Sikap PBNU
Terhadap RUU HIP: Perkuat Pancasila sebagai Konsensus Kebangsaan
2. PBNU mendesak DPR RI untuk
menghentikan proses legislasi RUU HIP
3.
بسم الله الرحمن الرحيم
A.
Setelah melakukan pengkajian mendalam terhadap Naskah Akademik,
rumusan draft RUU HIP dan Catatan Rapat Badan Legislasi DPR RI Dalam
Pengambilan Keputusan atas Penyusunan RUU HIP tanggal 22 April 2020, serta
mencermati dengan seksama dinamika yang berkembang di masyarakat, PBNU perlu
menyampaikan hal berikut:
1.
Bahwa segala ikhtiar untuk mengawal, melestarikan, dan
mempertahankan Pancasila sebagai falsafah bangsa, dasar negara, dan konsensus
nasional patut didukung dan diapresiasi di tengah ancaman ideologi
transnasionalisme yang merapuhkan sendi-sendi keutuhan bangsa dan persatuan
nasional.
2.
Bahwa Pancasila sebagai titik temu (kalimatun sawa’) yang disepakati sebagai dasar negara adalah
hasil dari satu kesatuan proses yang dimulai sejak Pidato Soekarno pada 1 Juni
1945, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang dihasilkan oleh Tim Sembilan,
dan rumusan final yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945. Secara
historis, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara yang disahkan pada 18
Agustus 1945 adalah hasil dari moderasi aspirasi Islam dan Kebangsaan. Dengan
rumusan final Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945,
Indonesia tidak menjelma sebagai negara Islam, juga bukan negara sekuler,
tetapi negara nasionalis-religius.
3.
Bahwa rumusan final Pancasila merupakan legacy terbesar yang diwariskan para pendiri bangsa
yang terdiri dari banyak golongan. Karena itu, menonjolkan kesejarahan
Pancasila 1 Juni dengan mengabaikan kesejarahan 22 Juni dan 18 Agustus
berpotensi merusak persatuan, membenturkan agama dengan negara, dan menguak
kembali konflik ideologis yang akan menguras energi bangsa. Tindakan apapun
yang dapat menimbulkan mafsadah bagi persatuan nasional WAJIB dihindari, karena
Pancasila dirajut oleh para founding
fathers justru untuk mencegah perpecahan dan mempersatukan seluruh
elemen bangsa dalam sebuah tenda besar.
4.
Bahwa Pancasila sebagai perjanjian agung (ميثاقا غليظا) tersusun
dari lima sila yang memuat nilai-nilai luhur yang saling menjiwai, di mana sila
Ketuhanan menjiwai Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial.
Kesatuan nilai-nilai Pancasila yang saling menjiwai itu tidak bisa diperas lagi
menjadi trisila atau ekasila. Upaya memeras Pancasila menjadi trisila atau
ekasila akan merusak kedudukan Pancasila, baik sebagai philosophische grondslag (falsafah
dasar) maupun staatsfundamentalnorm (hukum
dasar) yang telah ditetapkan pada 18 Agustus 1945.
5.
Bahwa Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm adalah hukum tertinggi atau sumber
dari segala sumber hukum yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai
hukum tertinggi yang lahir dari konsensus kebangsaan (معاهدة وطنية), Pancasila
tidak bisa diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
Pengaturan Pancasila ke dalam sebuah undang-undang akan menimbulkan anarki dan
kekacauan sistem ketatanegaraan.
6.
Bahwa Pancasila sebagai philosophische grondslag adalah falsafah dasar yang
menjadi pedoman untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka, bersatu,
berdaulat, adil dan makmur dengan tujuan melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mencapai tujuan
dan cita-cita negara, Pancasila merupakan ideologi prinsip yang menjiwai sistem
penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Penerjemahan Pancasila sebagai
ideologi kerja selalu mempertimbangkan dinamika dan perkembangan zaman.
Membakukan tafsir atas Demokrasi Pancasila dalam suatu undang-undang jelas akan
mempersempit ruang tafsir yang memandekkan dinamika, kreativitas, dan inovasi
yang dibutuhkan untuk mendorong kemajuan bangsa sesuai dengan tuntutan zaman.
7.
Bahwa kesalahan yang terjadi di masa lampau terkait monopoli
tafsir atas Pancasila tidak boleh terulang lagi. Kendati demikian hal ini bukan
meupakan dasar dan alasan yang dapat membenarkan perluasan dan/atau penyempitan
tafsir atas Pancasila dalam suatu undang-undang yang isinya mengatur demokrasi
politik Pancasila dan demokrasi ekonomi Pancasila sebagaimana RUU HIP.
8.
Bahwa obsesi untuk menafsirkan Pancasila secara ekspansif akan
menimbulkan ekses negatif berupa menguatnya kontrol negara dalam kehidupan
masyarakat. Penguatan eksesif kelembagaan BPIP dapat melahirkan kembali BP7
(Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) di zaman Orde Baru yang praktiknya menjadi alat sensor ideologi
masyarakat. Pancasila yang terlalu ambisius akan kehilangan roh sebagai
ideologi pemersatu, yang pada gilirannya dapat menimbulkan benturan-benturan
norma dalam masyarakat.
9.
Bahwa setelah mencermati dengan seksama Naskah Akademik dan
draft RUU HIP, PBNU menyampaikan penilaian sebagai berikut:
1)
Pasal 3 ayat (2), Pasal 6, dan Pasal 7 bertentangan dengan
Pancasila sebagai konsensus kebangsaan.
2)
Pasal 13, 14, 15, 16, dan 17 mempersempit ruang tafsir
yang menjurus pada mono-tafsir Pancasila.
3)
Pasal 22 dan turunannya tidak relevan diatur di dalam RUU HIP.
4)
Pasal 23 dapat menimbulkan benturan norma agama dan
negara.
5)
Pasal 34, 35, 37, 38, 41, dan 43 merupakan bentuk tafsir
ekspansif Pancasila yang tidak perlu.
6)
Pasal 48 ayat (6) dan Pasal 49 dapat menimbulkan konflik
kepentingan.
10.
NU memandang bahwa Pancasila merupakan konsensus kebangsaan yang
bersifat final. Oleh karena itu Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo
tahun 1983, dan dikukuhkan dalam Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun 1984,
menetapkan hubungan Pancasila dengan Islam sebagai berikut:
1)
Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Republik Indonesia
bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan
untuk menggantikan kedudukan agama;
2)
Sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik
Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai
sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam
islam;
3)
Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi aspek
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia;
4)
Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari
upaya umat islam Indonesia untuk menjalankan syari’at agamanya; dan
5)
Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama
berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan
pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
11.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran dan penilaian atas Naskah
Akademik, rumusan draft RUU HIP dan Catatan Rapat Badan Legislasi DPR RI Dalam
Pengambilan Keputusan atas Penyusunan RUU HIP tanggal 22 April 2020, serta
dengan mencermati dinamika yang terjadi dalam masyarakat, PBNU menyampaikan
sikap dan pandangan sebagai berikut:
1)
Pancasila sebagai kesepakatan final tidak membutuhkan penafsiran
lebih luas atau lebih sempit dari penjabaran yang sudah dituangkan dalam
Pembukaan UUD 1945 beserta situasi batin yang menyertai rumusan finalnya pada
18 Agustus 1945.
2)
RUU HIP dapat menguak kembali konflik ideologi yang bisa mengarah
kepada krisis politik. Anyaman kebangsaan yang sudah dengan susah payah dirajut
oleh founding fathers bisa
koyak kembali dengan rumusan-rumusan pasal RUU HIP yang polemis.
3)
Tidak ada urgensi dan kebutuhan sama sekali untuk
memperluas tafsir Pancasila dalam undang-undang khusus. Pancasila sebagai philosophische grondslag dan
staatsfundamentalnorm merupakan pedoman yang mendasari platform
pembangunan nasional. Jika dirasakan ada masalah mendasar terkait pembangunan
nasional di bidang demokrasi politik Pancasila, maka jalan keluarnya
adalah reformasi paket undang-undang bidang politik (legislative review). Begitu pula jika ada masalah terkait dengan
haluan pembangunan ekonomi nasional, yang dirasakan menyimpang dari jiwa
demokrasi ekonomi Pancasila, maka yang perlu dipersiapkan adalah RUU Sistem
Perekonomian Nasional sebagai undang-undang payung (umbrella act) yang secara jelas dimandatkan oleh Pasal 33 ayat
(5) UUD 1945.
4)
Di tengah situasi bangsa yang sedang menghadapi krisis kesehatan
dan keterpurukan ekonomi akibat pandemi Covid-19, Indonesia tidak perlu
menambah beban sosial dengan memercikkan riak-riak politik yang dapat
menimbulkan krisis politik, memecah belah keutuhan bangsa, dan mengoyak
persatuan nasional.
5)
Sebaiknya proses legislasi RUU HIP dihentikan dan seluruh
komponen bangsa memusatkan energinya untuk keluar dari pandemi dan berjuang
memulihkan perekonomian nasional.
Jakarta, 24 Syawal 1441 H, 16 Juni 2020 M
Prof. Dr. KH Said Aqil Siroj, MA.
Ketua Umum
12.
DR. Ir. H. A. Helmy Faishal Zaini
Sekretaris Jenderal
0 comments:
Post a Comment