Tuesday, September 19, 2017

281. TAKDIR 1

MEMAHAMI TAKDIR ALLAH
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H.M. Yusron Hadi, MM

        Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Memahami Takdir Allah?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Ketika Muawiyah bin Abu Sufyan menggantikan Khalifah Ali bin Abi Thalib, dia menulis surat kepada sahabat Nabi, Al-Mughirah bin Syu’bah menanyakan, “Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai salat?"
      Jawabannya adalah Nabi berdoa,”Tidak ada tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Wahai Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri, tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, dan tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh, karena semua bersumber dari-Mu”.
      Doa ini dipopulerkan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan untuk memberikan kesan bahwa segala sesuatu telah ditentukan Allah, dan tidak ada usaha manusia sedikit pun.
     Kebijakan memopulerkan doa ini, dinilai oleh sebagian ulama sebagai “bertujuan politis”, karena dengan doa itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah.
     Sebagian ulama menolak pandangan tersebut, sehingga secara sadar atau tidak mengumandangkan pernyataan “la qadar” yang artinya “tidak ada takdir”, karena manusia bebas berbuat apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah?
    Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah sendiri menegaskan, “Siapa yang ingin beriman silakan beriman, siapa yang ingin kafir,silakan kafir.
      Al-Quran surah Al-Kahfi, surah ke-18 ayat 29.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا

“Dan katakan,”Kebenaran datangnya dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah dia kafir”. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim  neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
      Menurut ayat Al-Quran tersebut, maka semua manusia akan bertanggungjawab pada perbuatannya sendiri. Tetapi pandangan ini disanggah oleh ulama yang lain, karena hal ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah, karena Allah Maha Kuasa dan yang menciptakan manusia dan yang dilakukannya.
      Al-Quran surah Ash-Shaffat, surah ke-37 ayat 96.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
      “Padahal Allah Yang Menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu”.
      Al-Quran surah Al-Insan, surah ke-76 ayat 30.
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا

      “Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana”.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat Al-Quran ini menjelaskan bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia dan semua yang kehendaki oleh manusia tidak dapat dapat terlaksana, apabila Allah tidak menghendaki.
     Demikian perdebatan para ulama yang semuanya berpedoman kepada Al-Quran, bagaikan banyak orang yang mencintai si Cantik, sedangkan si Cantik sendiri tidak mengenal mereka.
      Kemudian perbedaan pendapat tersebut didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankan kedudukannya, serta dipersubur oleh kebodohan dan terbelakangan umat dalam berbagai bidang, sehingga meluaslah paham takdir dalam dua pengertian di atas.
      Padahal Nabi Muhammad dan para sahabat utama, tidak pernah mempersoalkan takdir sebagaimana dipahami oleh sebagian ulama tersebut.
       Nabi dan para sahabat yakin sepenuhnya tentang takdir Allah yang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapi keyakinan ini tidak menghalangi mereka untuk bekerja keras dan berjuang untuk memperoleh sesuatu, ketika mereka kalah dan gagal, mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah.
      Sikap Nabi dan para sahabat tersebut muncul, karena memahami ayat Al-Quran secara keseluruhan dan utuh seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, bukan memahami secara parsial ayat per ayat, atau sepotong-sepotong yang terlepas dari konteksnya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2

Related Posts:

  • 275. BAKARABU BAKAR, PEMBELA SETIA NABI Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tent… Read More
  • 275. BAKARABU BAKAR, PEMBELA SETIA NABI Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tent… Read More
  • 275. BAKARABU BAKAR, PEMBELA SETIA NABI Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tent… Read More
  • 275. BAKARABU BAKAR, PEMBELA SETIA NABI Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tent… Read More
  • 275. BAKARABU BAKAR, PEMBELA SETIA NABI Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tent… Read More

0 comments:

Post a Comment