TAKDIR DALAM BAHASA AL-QURAN
Oleh: Drs. H.M. Yusron Hadi, MM
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Takdir dalam Bahasa Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
Kata “takdir” atau “taqdir” terambil dan kata “qaddara” yang berasal dari akar kata “qadara” yang bisa berarti “mengukur”, “memberikan kadar” atau “ukuran”, sehingga apabila dikatakan,”Allah telah menakdirkan demikian”, maka itu berarti, “Allah telah memberikan kadar atau ukuran atau batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluk-Nya”.
Beberapa ayat Al-Quran bisa dipahami bahwa semua makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah, sehingga mereka tidak dapat melampaui batas ketetapan itu, serta Allah menuntun dan menunjukkan arah yang seharusnya dituju.
Al-Quran surah Al-A‘la, surah ke-87 ayat 1-3.
سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّىٰ وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ
“Sucikan nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi, yang menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberikan petunjuk”,
Al-Quran surah Yasin, surah ke-36 ayat 38.
وَالشَّمْسُ تَجْرِي لِمُسْتَقَرٍّ لَهَا ۚ ذَٰلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ
“Dan matahari berjalan di tempat peredarannya. Demikian takdir atau ketetapan Yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui”.
Al-Quran surah Yasin, surah ke-36 ayat 39.
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّىٰ عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
“Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua”.
Al-Quran surah Al-Furqan, surah ke-25 ayat 2.
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
“Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya”.
Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 21.
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ
“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan takdir atau ukuran yang tertentu”.
Al-Quran menjelaskan bahwa makhuk yang remeh dan kecil pun diberikan takdir, seperti dalam Al-Quran surah Al-A’la, ke-87 ayat 4-5.
وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَىٰ فَجَعَلَهُ غُثَاءً أَحْوَىٰ
“Dia Allah yang menumbuhkan rumput-rumputan, lalu dijadikan-Nya rumput-rumput itu kering kehitaman”.
Rerumputan yang tumbuh subur, kemudian layu dan kering, ukuran kadar kesuburan dan kekeringannya, kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah melalui hukum-Nya yang berlaku pada alam semesta.
Oleh karena itu, apabila ingin melihat rerumputan subur menghijau, maka sirami dengan air, dan apabila dibiarkan tanpa perawatan sehingga diterpa panas matahari yang terik, maka rerumputan itu pasti akan mati kering kehitam-hitaman. Demikian takdir Allah menjangkau seluruh makhluk-Nya.
Al-Quran surah At-Thallaq, surah ke-65 ayat 3.
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ ۚ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ ۚ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”.
Semua peristiwa yang terjadi di alam semesta, dalam sisi kejadiannya, kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, itulah yang disebut takdir atau ketentuan, sehingga tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir Allah, termasuk manusia.
Segala peristiwa atau kejadian apa pun berada dalam pengetahuan dan ketentuan Allah, yang menurut sebagian ulama diistilahkan dengan “sunnatullah” yang sering secara salah kaprah disebut “hukum alam”.
Sebagian ulama membedakan antara “sunnatullah” dengan “takdir”, karena “sunnatullah” digunakan oleh Al-Quran untuk hukum Allah yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedangkan “takdir” mencakup hukum kemasyarakatan dan hukum alam.
Dalam Al-Quran, “sunnatullah” terulang sebanyak 8 kali, “sunnatina” hanya sekali, dan “sunnatul awwalin” terulang 3 9kali, semuanya mengacu kepada hukum Allah yang berlaku pada masyarakat.
Al-Quran surah Al-Ahzab, surah ke-33 ayat 38.
مَا كَانَ عَلَى النَّبِيِّ مِنْ حَرَجٍ فِيمَا فَرَضَ اللَّهُ لَهُ ۖ سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۚ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا
“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan takdir atau ketetapan Allah adalah suatu ketetapan yang pasti berlaku”.
Al-Quran surah Al-Ahzab, surah ke-33 ayat 62.
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
“Sebagai sunah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum (mu), dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunah Allah”.
Al-Quran surah Fathir, surah ke-35 ayat 43.
اسْتِكْبَارًا فِي الْأَرْضِ وَمَكْرَ السَّيِّئِ ۚ وَلَا يَحِيقُ الْمَكْرُ السَّيِّئُ إِلَّا بِأَهْلِهِ ۚ فَهَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا سُنَّتَ الْأَوَّلِينَ ۚ فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَبْدِيلًا ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللَّهِ تَحْوِيلًا
“Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana (mereka) yang jahat. Rencana yang jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri. Tidaklah yang mereka nantikan melainkan (berlakunya) sunah (Allah yang telah berlaku) kepada orang-orang yang terdahulu. Maka sekali-kali kamu tidak akan mendapatkan penggantian bagi sunah Allah, dan sekali-kali tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi sunah Allah”.
Matahari, bulan, bintang dan seluruh alam semesta telah ditetapkan oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar.
Al-Quran surah Fushshilat, surah ke-41 ayat 11.
ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ فَقَالَ لَهَا وَلِلْأَرْضِ ائْتِيَا طَوْعًا أَوْ كَرْهًا قَالَتَا أَتَيْنَا طَائِعِينَ
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa”. Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka hati”.
Ayat Al-Quran ini menjelaskan bahwa alam semesta tidak bisa memilih. “Apakah hal demikian juga yang berlaku bagi manusia?” Tampaknya tidak sepenuhnya sama.
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya, misalnya manusia tidak bisa terbang seperti burung. Hal ini adalah salah satu ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Manusia tidak mampu melampauinya, kecuali jika manusia memakai akalnya untuk menciptakan suatu alat, tetapi akal manusia juga mempunyai ukuran yang tidak mampu dilewati.
Manusia berada di bawah hukum Allah, sehingga segala yang dilakukan manusia tidak terlepas dari hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu.
Hukum Allah untuk manusia cukup banyak, dan manusia diberikan kemampuan untuk memilihnya, maka manusia dapat memilih di antara takdir atau ketentuan yang ditetapkan Allah.
Misalnya, api ditetapkan oleh Allah bersifat panas dan membakar, serta udara dapat menimbulkan kesejukan atau dingin, itulah takdir Allah, sehingga manusia boleh memilih api yang membakar atau udara yang sejuk.
Di sinilah letak pentingnya ilmu pengetahuan dan ilham atau petunjuk dari Allah, seperti doa yang diajarkan oleh Rasulullah, “Ya Allah, jangan Engkau biarkan aku sendiri dengan pertimbangan nafsu akalku saja, meskipun sekejap."
Khalifah Umar bin Khattab berencana mengunjungi negeri Syam, yaitu Syria, Palestina, dan sekitarnya, tetapi membatalkannya ketika di wilayah tersebut terjangkit wabah penyakit.
Sahabat Umar bin Khattab bertanya,”Apakah Khalifah lari dan menghindar dari takdir Allah?”. Khalifah Umar bin Khattab menjawab,”Saya lari dan menghindar dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain”.
Ali bin Abi Thalib ketika sedang duduk bersandar pada sebuah tembok yang ternyata rapuh, beliau lalu pindah ke tempat yang lain.
Penjelasan Ali bin Abi Thalib hampir sama dengan keterangan Umar bin Khattab bahwa robohnya tembok adalah takdir Allah, maka orang yang tidak menghindar akan terkena akibatnya. Tetapi apabila seseorang menghindarinya, maka dia akan luput dari bahaya, itulah takdir atau ketentuan Allah.
Kemampuan manusia untuk berpikir agar menghindar dari bahaya, adalah takdir atau ketetapan yang dianugerahkan oleh Allah kepada manusia, sehingga semua manusia tidak dapat luput dari takdir atau ketetapan yang baik maupun buruk.
Tidak elok rasanya, apabila peristiwa atau kejadian yang merugikan manusia dikatakan takdir Allah, tetapi kejadian atau peristiwa yang baik dan positif pun adalah takdir dari Allah.
Kesimpulannya, bahwa takdir atau ketetapan tidak menghalangi manusia dalam berusaha sekuat tenaga dan pikiran untuk menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan dan bimbingan dari Allah Yang Maha Kuasa.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
0 comments:
Post a Comment