BELANDA TAKUT TERHADAP HAJI,
JIHAD, KHALIFAH
Oleh:
Drs. H.M. YusronHadi, M.M.
Snouck
Hurgronje lahir di Oosterhout, Belanda tahun 1857, ia hidup dalam lautan akademik.
Ia
menjadi mahasiswa di Leiden, kemudian mendapat gelar doktoralnya tahun 1880 dengan
judul Het Mekaansche Fest (Perayaan Mekah).
Pengetahuannya
tentang Mekkah semakin bertambah setelahberkunjung ke Mekah pada tahun
1884-1885. (Dietrich Jung: 2010)
Larangan
bagi non-muslim untuk masuk ke tanah suci diakalinya dengan (berpura-pura)
masuk agama Islam.
Di
sana ia berinteraksi dengan berbagai figure, dari ulama hingga jamaah haji,
termasuk para haji dari nusantara.
Jejaring
inilah yang kemudian membantunya dalam pekerjaannya sebagai penasehat resmi pemerintah
Kolonial.
Termasuk
ketika membantu pemerintah kolonial Belanda menaklukkan perlawanan Aceh yang
telah berlangsung hingga 40 tahun.
Pandangan
Snouck Hurgronje bisa jadi dianggap aneh bagi para pejabat kolonial, terutama terkait
persoalan haji.
Jika para pejabat colonial menganggap jamaah haji adalah
para pembuat masalah, maka Snouck Hurgronje berpandangan sebaliknya.
Ia menentang berbagai bentuk peraturan yang
menyulitkan ibadah haji muslim nusantara.
Ia
mengkritik peraturan pemerintah kolonial yang menerapkan aturan financial bagi
para jemaah haji.
Menurutnya,
perilaku pemerintah mempersulit itu dilakukan karena mereka tak mengenal dekat masyarakat
pribumi.
“Barang
siapa mengenal penduduk pribumi dari dekat, terutama penduduk Jawa, dengan segala
tingkah lakunya, tidak akan menaruh ilusi sedikit pun.
Bahkan
mengenai akibat dari pengawasan terhadap uang perjalanan yang benar-benar keras,
yang tidak mungkin dilaksanakan dengan sarana yang ada,'' kata Snouck menegaskan.
Aturan
pemerintah kolonial yang mempersulit muslim untuk naik haji menurut Snouck Hurgronje
hanya akan menimbulkan kecurigaan masyarakat Muslim.
Misalnya,
ketika pemerintah colonial hendak melarang berangkat jemaah haji karena ada wabah
di tanah suci, maka Snouck Hurgronje menganggap;
“Semua
nasihat dan peringatan justru hanya berakibat lebih membangkitkan kegiatan naik
haji, kecurigaan terhadap maksud pemerintah.
Atau
bahkan melecehkan para pejabat Pemerintah Daerah yang menasihati,” tegas Snouck
Hurgronje.
Nyatanya
menurut Snouck Hurgronje, segala aturan pemerintah yang menyulitkan tentang
haji hanya berakibat dicemoohnya pemerintah colonial oleh masyarakat
Maka
saya berani menganjurkan dengan sungguh-sungguh agar mereka yang mau naik haji,
jika tidak ada keberatan khusus lainnya yang menghalangi niatnya.
Hendaknya
diberi paspor yang mereka minta tanpa bicara panjang lebar, seperti terhadap
orang-orang yang bepergian lainnya,” tukas orientalis tersebut.
Bagi
Snouck Hurgronje, politik haji pemerintah kolonial yang disebutnya politik burung
unta tersebut justru berbahaya jika semakin represif terhadap kaum ‘Mohammedan’
(demikian Snouck Hurgronje menyebut kaum muslimin).
Aksi
represif ini justru akan semakin membuat alas an untuk menentang kehadiran Belanda.
Terutama
Turki Usmani yang semakin gencar mengibarkan bendera kekhalifahannya di Negara muslim
yang terjajah.
Snouck
menuding Turki Usmani memanfaatkan jemaah yang ada di tanah suci untuk melakukan
propaganda mereka.
Terutama
kepada,
“…orang-orang
terjajah, dan agar dari kalangan mereka dikerahkan prajurit untuk perjuangan suci
bagi Islam, maka ketika itu demi kepentingan politik Hindia Belanda saya anggap
menjadi tindakan yang harus dilakukan.
Agar
perjalanan haji dilarang dan diberantas keras, selama adanya propaganda fanatik
yang berbahaya, yang menganggap kota suci tersebut sebagai medan gerakan yang
paling memberikan harapan.
Masih
juga mengherankan bagi saya, bahwa Pemerintah Jajahan ketika itu tidak mengeluarkan
surat keputusan yang bertujuan demikian,” tukas Snouck Hurgronje.
Di
sinilah kita dapat melihat ‘politik haji’ Snouck Hurgronje.
Kepada
pemerintah colonial ia meminta agar jemaah haji jangan dipersulit apalagi dilarang.
Namun
jika jamaah tersebut terindikasi membawa pesan politik perlawanan, maka ia meminta
agar diberantas keras.
Terlebih
jika jemaah tersebut membawa pesan jihad.
Ketakutan
Snouck Hurgronje pada politik Islam lebih-lebih pada ajaran jihad dalam agama
Islam.
Berdasarkan
pengamatannya bahwa ajaran inilah yang membuat kaum pribumi (umat Islam)
menentang terus menerus kehadiran pemerintah kolonial Belanda.
Hal
itu dikemukakannya ketika ia melihat perlawanan rakyat Aceh terhadap kehadiran Belanda
di sana. Menurutnya,
“Semua
pihak harus mengakui bahwa doktrin jihad menimbulkan hambatan yang serius bagi pembinaan
serupa itu.
Kendatipun
kaum Muslimin yang menyadari kenyataan duniawi dan menganut peradaban modern,
mau mengabaikan adanya doktrin jihad atau menampilkannya sebagai hal yang tidak
dapat ditetapkan di negeri bersangkutan.
Para
tokoh hukum jihad terus saja mengajarkan kepada rakyat banyak bahwa senjata mereka
hanya boleh tersimpan sepanjang tidak ada harapan memetik sukses dalam perang melawan
kaum kafir.
Dalam
situasi serupa ini tidak mungkin mencapai perdamaian sejati, melainkan sekedar gencatan
senjata yang berkepanjangan,'' kata Snouck Hurgronje lagi.
Bagi
Hurgronje, tak ada cara lain dalam menaklukkan umat Islam kecuali dengan jalan menghapus
ajaran jihad dan menundukkan politik Islam ke dalam politik modern (barat) yang
sekuler.
“Cara
menginterpretasikan doktrin jihad oleh para guru agama dan dianut secara kurang
sistematis oleh rakyat banyak.
Merupakan
indikasi yang cukup baik tentang kemajuan Islam ke arah tersebut yang
dipaksakan dengan dorongan lebih kuat oleh kondisi politik zaman modern.
Pada
akhirnya doktrin Islam akan tunduk sama sekali pada dorongan itu.
Garis
perkembangannya secara jujur harus meninggalkan ketentuan jihad dan mengikuti doktrin
yang praktis tidak menimbulkan gejolak.
Di
mana pada akhir masa akan tampil seorang Mahdi untuk menyelamatkan dunia ini,"
ujarnya.
Dengan
demikian, lanjut Hurgronye, Islam hanya berbeda dengan agama lain dalam hal ia menjunjung
etika dan ritual lain sebagai alat untuk mencapai keselamatan abadi.
"Tetapi
sebelum masa itu tiba, kubu politik Islam yang terakhir mungkin sudah dikuasai oleh
pengaruh Eropa dan semua bangsa-bangsa Islam yang peradabannya lebih rendah akan
dipaksa tunduk di bawah kendali pemerintahan Eropa yang kukuh,” jelas Snouck Hurgronje.
Snouck
Hurgronje melihat kebebasan beribadah harus diberikan oleh pemerintah colonial selama
tidak membawa-bawa persoalan politik.
Ketika
umat Islam menyentuh soal politik baru hal itu harus dihancurkan.
Bagi
Hurgronje, ada 3 aspek politik umat Islam yang dapat diterapkan oleh pemerintah
kolonial.
Ke-1.
Hukum
adat bisa dipkai menaklukkan pengaruh normatif hukum Islam.
Ke-2
Dia
menyerukan untuk memisahkan agama Islam dari politik.
Dalam
masalah “murni ibadah”, penguasa harus tetap netral.
Tetapi
jika timbul penyebaran Islam sebagai ideologi, maka harus ditumpas dengan kekuatan
militer yang represif.
Ke-3
Dia menyokong dibangunnya sistem pendidikan moderen.
Cara
pandang Snouck Hurgronje mewakili cara pandang kaum liberal barat pada masanya.
Menganggap
mereka sebagai bapak dari kaum pribumi dan mencoba mengintegrasikan Hindia Belanda
di bawah ketiak Belanda.
Cara
pandang Snouck Hurgronje ini terus dilestarikan bukan saja oleh para penerusnya
di Kantor Penasehat Urusan Pribumi di Hindia Belanda, tetapi bahkan hingga kini.
Upaya
memisahkan Islam dari politik dan menjauhkan ajaran jihad dalam Islam
dilestarikan para pengasong asekularisme di tanah air.
(Sumber: internet)
0 comments:
Post a Comment