Otokritik Pribumi, Oleh Asyari Usman
(Mantan Wartawan Senior BBC)
1.
SUPAYA
tidak salah paham, tulisan ini haruslah Anda baca lengkap; dan jangan diambil
sepotong-sepotong.
2.
Mungkin
banyak yang kurang berkenan, tetapi marilah sama-sama berusaha melihat aspek
positifnya.
3.
Tidak
dimaksudkan untuk membuka aib sendiri, tetapi untuk membangkitkan semangat
juang Anda, semangat juang kita semua.
4.
Kembali
ke pernyataan yang ada di judul tulisan ini, saya memang sudah lama
menyimpulkan bahwa orang-orang Tioghoa yang ada di Indonesia ini sangat wajar
menunjukkan kesombongan atau bahkan keangkuhan. Tentunya, tidak semua orang
Tionghoa sombong atau angkuh.
5.
Tetapi
jumlah kecil yang tidak sombong membuat generalisasi menjadi bisa dimaklumi.
6.
Saya
punya sejumlah teman dekat orang Tionghoa, alhamdulillah mereka tidak sombong.
7.
Kenapa
dikatakan wajar sombong? Karena memang faktanya merekalah yang pada dasarnya
“mengelola” Indonesia ini.
8.
Merekalah
yang menjadi majikan di sini. Kepada merekalah kita menjual apa yang kita
hasilkan, dan dari mereka pula kita membeli apa-apa yang kita perlukan.
9.
Merekalah
yang memiliki gedung-gedung pencakar langit di Jakarta dan kota-kota besar
lainnya. Merekalah yang bisa mengatur ekspor-impor hampir semua komoditas yang
diperlukan rakyat Indonesia, dari Barat sampai ke Timur. Merekalah yang
mengatur produksi dan penjualan barang-barang mewah maupun yang murahan; dan
merekalah yang mengatur peredaran beras, gula, terigu, minyak goreng, bahkan
cabai-bawang.
10. KEPADA merekalah petani pribumi
menjual gabah, kemudian membelinya kembali dalam bentuk beras. Mereka yang
menetukan harga TBS sawit, kemudian kita beli kembali dalam bentuk minyak
goreng dan mentega.
11. Petani pribumi menjual cengkeh kepada
pengusaha Tionghoa, kemudian petani yang sama mebeli kembali cengkeh dalam
bentuk rokok kretek.
12. Di tangan merekalah perekonomian
Indonesia ini ditentukan; di tangan merekalah krisis ekonomi atau krisis
moneter bisa terjadi atau diciptakan. Itulah sebabnya mereka wajar menunjukkan
kesombongan. Ini bukan isapan jempol, melainkan fakta yang sudah terbukti.
13. Bisa dimaklumi kalau mereka enggan
atau tidak mau bergaul dengan orang pribumi. Karena mereka merasa tidak
“memerlukan” orang pribumi, kecuali sebagai pembeli, sebagai konsumen.
14. Orang Tionghoa tahu persis bahwa
kualitas sumber daya manusia (SDM) mereka memang jauh lebih bagus dari kualitas
orang pribumi.
15. Di segala bidang, terutama sektor
perniagaan, bisnis, manufaktur, perindustrian, dan kewirausahaan. Mereka juga
hebat-hebat di bidang pendidikan dan kedokteran.
16. TETAPI karena di bidang perekonomian
dan keuanganlah yang langsung bisa tampak setiap hari, ada kesan orang Tionghoa
hanya unggul dalam penguasaan aset, perdagangan dan keuangan. Sebenarnya tidak
hanya itu. Di semua lini mereka unggul.
17. Silakan saja didata bidang kehidupan
yang ada di Indonesia ini, dan tunjukkan di bidang apa saja orang Tionghoa
tidak unggul.
18. Sebaliknya, silakan dihitung di bidang
apa saja orang pribumi bisa disebut dominan. Paling-paling hanya di satu bidang
orang pribumi unggul: yaitu penguasaan birokrasi pemerintahan. Bahkan
penguasaan di sini pun menjadi semu karena simpul-simpul penting birokrasi itu,
pada hakikatnya, “dikuasai” juga secara tidak langsung oleh orang Tionghoa.
Tidak semua; masih ada di sana-sini yang tidak dikuasai oleh mereka.
19. Menurut hemat saya, orang Tionghoa
sudah sampai pada kesimpulan bahwa mereka tidak akan pernah tergoyahkan lagi
oleh orang pribumi, terutama di bidang perdagangan, bisnis, dan perindustrian
termasuk industri pertanian serta perikanan. Lihat saja penguasaan mereka di
bidang perniagaan jasa, juga mutlak.
20. MASUK akal kalau mereka merasa tidak
tergoyahkan lagi. Sebab, mereka menyiapkan skenario penguasaan jangka panjang,
tak berbatas waktu.
21. Mereka tidak terlena dengan dominasi
atas segala bidang kehidupan itu. Mereka tidak hanyut dengan akumulasi kekayaan
yang mereka kuasai. Mereka sangat sadar bahwa penguasaan itu harus berlanjut
dari generasi ke generasi. Dari kesadaran ini mereka membuat persiapan yang
rapi untuk estafet penguasaan di segala bidang itu.
22. Mereka menyiapkan SDM yang tangguh,
ulet, tidak manja, tidak cengeng, tidak mudah menyerah. Orang Tionghoa
memberikan pendidikan yang berkualitas kepada anak-cucu mereka. Di banyak kota
dan pelosok Indonesia, masyarakat Tionghoa “tidak percaya” pada sistem
pendidikan formal yang disiapkan oleh negara.
23. Mereka membangun sekolah dasar,
menengah, dan tinggi untuk warga mereka sendiri. Ternyata hasilnya memang hebat;
selalu muncul anak-didik yang unggul di semua mata pelajaran, terutama ilmu dan
keterampilan yang strategis.
24. Semua ini tidak berlangsung secara
kebetulan. “Orang Tionghoa sangat keras semangat dan keras pengorbanan untuk
menyiapkan keunggulan anak-cucu mereka,” kata seorang teman yang paham
kehidupan masyarakat Tionghoa.
25. MEREKA itu gigih. Generasi penerus
ditempa dengan disiplin yang keras. Diajarkan untuk menjadi visioner. Kepada
generasi penerus dijelaskan dan ditunjukkan tentang mengapa mereka harus unggul
di segala bidang. Sebagaimana lumrahnya mentalitas masyarakat minoritas di
mana-mana. Boleh dikatakan semua unit keluarga Tionghoa memahami itu.
26. Anak-anak mereka diajarkan hidup pahit
di awal untuk kemudian menjadi pemilik kekayaan di kemudian hari. Banyak yang
bercerita tentang “tradisi” keras di masyarakat Tionghoa. Mereka selalu menakar
pengeluaran agar tidak lebih besar dari penghasilan.
27. Mereka akan makan seadanya dulu
walaupun mampu membeli nasi sop. Mereka tidak memberikan jajan kepada anak-anak
mereka, tetapi menggaji anak-anak yang ditugaskan menunggui toko-toko mereka.
28. Orang Tionghoa “mengharamkan”
pengangguran. Mereka tidak akan buang-buang waktu di warung kopi sambil main
gaplek.
29. Mereka bangun pagi-pagi untuk memulai
usaha harian, dan baru akan mengakhiri jam kerja sampai malam. Kerja keras
inilah yang sekarang membuat banyak orang Tioghoa berhasil menguasai perniagaan
dan distribusi barang-barang yang kita beli sehari-hari. Hasil kerja keras itu
pula yang membuat sebagian kita iri hati dan, bahkan, marah-marah. Etos kerja
mereka sangat tinggi.
30. RATA-RATA orang Tionghoa tidak
berwatak menghambur-hamburkan uang. Mereka membeli yang diperlukan, bukan yang
diinginkan. Mereka akan menggunakan sepedamotor walaupun sudah mampu membeli
mobil.
31. Anak-anak orang kaya Tionghoa
diajarkan untuk tidak memamerkan kekayaan orangtua mereka walaupun orangtua
mampu membelikan barang mewah untuk anak-anaknya.
32. Pendidikan untuk anak-anak mereka
sangat mereka pentingkan. Keluarga “miskin” pun akan berusaha sekuat tenaga
agar anak-anak mereka bisa belajar di sekolah-sekolah berkualitas yang mereka
bangun dan kembangkan sendiri.
33. Mereka tidak segan-segan menghabiskan
dana dalam jumlah besar kalau itu bisa mengantarkan anak-anak mereka ke sekolah
atau universitas terbaik, baik di dalam negeri maupun di luar. Ini semua adalah
bagian dari persiapan generasi penerus supaya penguasaan ekonomi dan keuangan
di Indonesia tidak pernah berpindah tangan.
34. Anak-anak mereka pun suka belajar
sungguh-sungguh. Hampir tidak ada anak-anak Tionghoa yang berkeliaran tanpa
tujuan seperti anak-anak pribumi. Para orangtua Tionghoa membiasakan anak-anak
mereka untuk kerja keras menguasai ilmu pengetahuan.
35. Di rumah, anak-anak Tionghoa sibuk
dengan buku-buku bacaan atau membantu orangtua. Mereka rata-rata bisa berbahasa
Inggris dengan baik karena semua mereka punya target untuk sekolah ke luar
negeri.
36. BAGAIMANA dengan orang pribumi? Tidak
banyak yang sadar, siap, dan rela mengikuti cara hidup warga Tionghoa. Dengan
alasan tersungkup kemiskinan, orang pribumi cenderung menyerah pada keadaan.
Tampak tidak ada semangat untuk membina keluarga. Kita membiarkan kemiskinan
sebagai keniscayaan hidup kita; seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan.
37. Kita biarkan anak-anak kita
berkeliaran sesuka hati, setiap hari. Di kantung-kantung kemiskinan, semisal
daerah pinggir pantai, orang pribumi bagaikan serentak tidak mempedulikan
anak-anak mereka membuang waktu.
38. Bahkan tidak sedikit yang mengharapkan
anak-anak mereka mencari penghasilan untuk keluarga. Satu-dua ada yang benar
jalannya, namun ribuan anak remaja lainnya terperangkap ke jalan yang berbahaya
seperti terikut menjadi kurir dan penjual narkoba. Setelah lama berpengalaman,
sebagian anak-anak itu kemudian naik tingkat menjadi bandar narkoba lokalan.
39. Dalam keadaan berkemampuan, orang
pribumi biasanya lebih mengutamakan keinginan untuk menunjukkan
ke-berada-annya. Seringkali menempuh gaya hidup besar pasak dari tiang.
Misalnya, membeli mobil pada saat mereka baru bisa membeli sepedamotor.
40. Menjual tanah untuk membeli
barang-barang mewah ketimbang mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah atau
universitas yang berkualitas.
41. ORANG pribumi akan memanjakan
anak-anak mereka pada saat anak-anak Tionghoa digembleng dengan disiplin dan
kerja karas.
42. Orang pribumi akan mengarahkan
anak-anak mereka untuk menjadi pegawai negeri, sementara orang Tionghoa siap
menjadi wiraswasta yang akan menjadikan para pegawai negeri dan keluarga mereka
sebagai pembeli dan konsumen.
43. Orang Tionghoa selalu bekerja efisien,
sementara orang pribumi yang menjadi pejabat penting pemerintahan akan berusaha
“mengada-adakan” lapangan kerja di lingkungan kerja mereka untuk sanak-saudara
mereka. Akibatnya, banyak instansi, terutama di tingkat daerah, yang kelebihan
pegawai.
44. Banyak pegawai yang hanya
mondar-mandir karena nyaris tidak ada yang mereka kerjakan. Lihat saja di
kantor gubernur, kantor bupati, kantor dinas pendapatan, dinas perhubungan, dan
instansi-instansi lainnya.
45. Mohon maaf kepada para pegawai negeri
yang membaca tulisan ini. Tidak ada maksud untuk menyinggung perasaan Anda.
Semata-mata ingin menyadarkan kita semua, kalau pun iya, bahwa praktik seperti
ini hanya akan mempersubur mentalitas amtenaar, mentalitas ongkang-ongkang,
yang sebetulnya sangat merugikan generasi penerus kita sendiri.
46. Maaf, saya harus mengakui kehebatan
Pak Ahok di Pemprov DKI terlepas dari kontrovesi yang mengelilingi beliau.
47. Pak Ahok melihat begitu banyak unit
kerja yang memiliki jumlah SDM yang berlebih dari kebutuhan operasional. Beliau
berpendapat Jakarta bisa dilayani oleh 35 ribu pegawai, mengapa harus 72 ribu?
48. SEKALI lagi, maaf. Tidak bermaksud
meringankan Pak Ahok dalam kasus penistaan agama yang didakwakan kepadanya.
Saya hanya ingin menunjukkan bahwa sikap mental orang pribumi sebaiknya diubah,
dan diubah sekarang juga. Kita, orang pribumi, sebaiknya menyibukkan diri untuk
mempersiapkan generasi muda yang memiliki kemampuan wirausaha yang tangguh dan ulet.
49. Jangan lagi berpikir hidup nyaman
menjadi PNS, padahal sangat banyak peluang di luar birokrasi untuk hidup lebih
baik.
50. Bukankah hidup dengan kemampuan
wirausaha akan membuat Anda bisa berguna bagi manusia lainnya? Anda menciptakan
lapangan kerja. Anda menjadi orang yang kreatif.
51. Anda akan melahirkan generasi pribumi
yang tangguh dan memahami dunia usaha, mengerti berniaga, menguasai industri,
menguasai jaringan distribusi barang, menguasai perdagangan jasa, dsb. Anda
bisa menjadi kompetitor dalam arti positif bagi para pengusaha besar dan bagi
para konglomerat Tionghoa. Anda bisa, meskipun hari ini masih angan-angan!
52. JANGAN percaya pada mitos bahwa orang
Tionghoa memang ditakdirkan untuk menjadi pelaku bisnis dan industri.
53. Orang pribumi tidak bisa. Ini hanya
masalah mentalitas. Kalau kita mau mengubah dan berubah, orang pribumi pun bisa
menjadi pedagang besar, bisa menjadi saudagar, menjadi konglomerat.
54. Ada cerita nyata yang saya dapatkan
dari ponakan yang mencoba untuk berbisnis. Sampailah dia ke pinggir lingkaran
para pebisnis orang Tionghoa, hingga akhirnya dia bisa masuk ke grup Whatsapp
mereka.
55. Dari cerita ponakan itu ada pelajaran
penting yang selama ini saya anggap tidak benar. Yaitu, tradisi
tolong-menolong, katrol-mengkatrol, diantara para pebisnis Tionghoa. Kalau ada
seorang pendatang baru Tionghoa yang mau berusaha, bedagang, maka para senioran
di lingkaran mereka siap membantu.
56. Ada yang menyediakan modal atau
mempersilakan ambil dulu barang-barang dagangan dari mereka. Tidak mesti si
pendatang baru itu sudah kenal dengan para senior.
57. Kalau belum berhasil, si pendatang
baru akan dibantu terus asalkan dia menunjukkan kesungguhan dan kejujuran.
58. Menurut cerita ponakan saya, kalau
orang yang ditolong tidak jujur, maka para senior akan menjatuhkan hukuman
berat. Si pendatang baru akan disebarluaskan sebagai orang yang tidak perlu
ditolong.
59. BEGITULAH teladan solidaritas di
kalangan masyarakat Tionghoa. Perlukah orang pribumi mencontoh ini, atau tidak?
60. Bagi pribumi yang juga muslim,
solidaritas seperti ini adalah bagian dari sunnah. Rasulullah SAW mengajarkan
itu. Tidak hanya berjemaah di masjid, tetapi diajarkan juga berjemaah dalam
bisnis dan perekonomian umumnya.
61. Mari sama-sama kita, orang pribumi,
berubah sikap dan mengubah mentalitas. Para pemegang kekuasaan juga perlu
mengubah sikap agar tidak lagi menjadi orang-orang yang mudah dibeli oleh para
pengusaha.
62. Tidakkah Anda rasakan bahwa ketika
mereka membeli Anda, itu artinya mereka juga membeli segenap orang pribumi?
63. Mengapa Anda tidak menumbuhkan rasa
prihatin terhadap orang pribumi yang sepanjang zama hanya berperan sebagai
penonton? Mengapa Anda, para pejabat dan pemimpin bangsa, tidak terpanggil
untuk menyelamatkan generasi penerus pribumi yang sejak lama dihimpit
kemiskinan? Tidakkan Anda cemas melihat begitu banyak anak pribumi menjadi
pemakai narkoba; bahkan penghisap lem karena tidak sanggup membeli sabu-sabu?
64. TIDAKKAH Anda merasa malu melihat
statistik yang menunjukkan sedikit sekali atau hampir tidak ada orang Tionghoa
yang terjerumus menjadi pemakai narkoba, meskipun banyak mereka yang berperan
sebagai bandar dan pengedarnya?
65. Mengapa Anda tidak mau mengukir
sejarah sebagai orang yang berupaya mengangkat martabat kaum Anda sendiri agar
mereka tidak lagi bodoh, miskin, lemah fisik, lemah mental, dan harus menjadi
penghuni rumah rahabilitasi narkoba?
66. Tidakkah Anda merasa malu duduk
sebagai presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, ketua DPR, anggota
DPR, ketua MA, ketua MK, sementara kaum pribumi tidak bisa lepas dari citra
yang disebut oleh Presiden Soekarno sebagai “bangsa kuli”?(*)
67. (Isi tulisan ini merupakan opini
pribadi penulis, tidak ada kaitannya dengan BBC)
68. Oleh Asyari Usman (Mantan Wartawan
Senior BBC)
0 comments:
Post a Comment