Saturday, December 18, 2021

11966. BUZZER DALAM DEMOKRASI TAPI HUKUM HARUS TEGAK LURUS

 





BUZZER DALAM DEMOKRASI TAPI HUKUM HARUS TEGAK LURUS

Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

 

 

Dalam Hari Pers Nasional 2021.

Pada 9 Februari 2021.

 

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Haedar Nashir mengangkat tantangan pers masa kini.

 

Ia menunjuk buzzer adalah musuh pers.

 

"Musuh terbesar dunia pers saat ini.

 

Khususnya pers online jalur media social.

 

Yaitu para buzzer yang minim tanggung jawab kebangsaan.

 

Etika berita tak imbang.

Dan keadaban mulia," kata Haedar.

 

Dalam publikasi di situs Muhammadiyah, Rabu (10/2).

 

 

Ramainya buzzer di medsos Indonesia.

Bukan pertama terjadi.

 

Dalam  2 tahun ke belakang.

Pada tahun 2019.

 

Isu 'Buzzer Istana'.

Dan 'Kakak Pembina' para buzzer muncul.

 

Istilah buzzer berasal dari bahasa Inggris.

 

Artinya lonceng, bel, atau alarm.

 

Dalam Oxford Dictionaries.

Buzzer artinya perangkat elektronik.

 

Dengan suara berdengung sebagai sinyal.

 

 

Buzzer adalah pembuat suara bising.

Seperti dengung lebah.

 

Ada 4 ciri buzzer, yaitu:

1.              Persuasif.

 

2.              Digerakkan motif tertentu.

Dibayar atau sukarela.

 

3.              Jaringan luas.

Punya akses ke info kunci.

 

4.              Mampu memproduksi konten.

 

 

Awalnya, buzzer dipakai dalam nia marketing.

Atau branding sebuah produk.

 

"Adapun ‘mulut’ yang ‘dipinjam’ untuk memasarkan produk atau jasa.

 

Yaitu ‘mulut’ orang penting, popular, dan punya pengaruh.

 

Dalam perjalanannya.

 

Ada pergeseran jasa buzzer.

 

Tahun 2012.

Awal terlibatnya buzzer dalam peristiwa politik.

 

Saat itu, buzzer dipakai pada Pilgub DKI Jakarta.

 

Kemudian buzzer dipakai secara luas dalam dunia politik.

 

 Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2014.

Jasa buzzer dilirik para aktor politik.

 

Ada 3 strategi buzzer dalam menampilkan pesan.

 

1.      Berkicau di Medsos  memakai tagar.

 

Untuk membangun percakapan.

 

2.      Membuat atau memanfaatkan situs berita.

 

Untuk meningkatkan kredibilitas konten.

 

3.      Memanfaatkan jaringan tertentu dan aplikasi chat.

 

Seperti WA atau Telegram untuk menyebarkan konten.

 

 

Bradshaw dan Howard menemukan fakta.

 

Bahwa politikus, partai politik.

Dan kontraktor swasta di Indonesia.

 

Terlibat dalam manipulasi media social.

 

Lewat aktivitas pasukan siber.

Atau buzzer.

 

Mereka menjelma dalam berbagai organisasi.

 

Untuk menyebarkan ide.

Agenda politik.

 

Hingga membentuk opini publik.

 

Fakta lain yang diungkap dalam riset.

 

Indonesia adalah 1 dari 45 negara.

 

Yang partai politiknya memakai buzzer selama pemilu.

 

Menurut riset.

 

Akun palsu dipakai oleh para pasukan siber.

Untuk menyebarkan propaganda.

 

Ada 3 kategori akun palsu, yaitu:

1.      Bot.

2.      Manusia.

3.      Cyborg.

 

 

Di Indonesia, memakai akun bot dan manusia.

 

Cyborg adalah gabungan bot dan manusia.

 

Bot adalah akun yang didesain  otomatis.

Untuk meniru perilaku manusia secara online.

 

Cara yang dipakai para pasukan siber.

 

1.      Menyebarkan propaganda pro pemerintah atau partai politik.

 

2.      Menyerang oposisi.

 

3.      Menyebarkan kampanye kotor.

 

4.      Mendorong perpecahan dan polarisasi.

 

5.      Manipulasi berita.

 

Para buzzer manipulasi media.

Membuat meme, video, portal berita hoaks atau media.

 

Yang dimanipulasi.

 

Agar para pengguna medsos salah paham akan suatu hal.

 

Terkadang, pasukan siber membuat konten.

 

Dengan target komunitas tertentu.

 

Memakai data online dan offline.

Atau membayar iklan di platform media sosial popular.

 

Beberapa pasukan siber menargetkan komunitas tertentu.

 

Dengan putar balik fakta.

Yaitu disinformasi.

Atau media yang dimanipulasi.

 

Buzzer Ancam Demokrasi

 

Whisnu Triwibowo, Dosen Departemen Komunikasi Universitas Indonesia.

 

Menyebut buzzer berbahaya.

Jika dipakai negara otoritarian.

 

Dalam rezim otoriter.

 

Media sosial dipakai menekan perbedaan.

 

Dalam opini public.

 

Untuk melanggengkan kekuasaannya.

 

Kebebasan berekspresi  terancam.

 

Karena pendapat yang berlawanan dengan pemerintah.

 

Diserang balik dengan disinformasi.

 

Akun media sosialnya diretas dan disebar.

 

 

Dengan adanya buzzer.

 

Teknologi digital.

Yang baik dipakai.

 

Untuk praktik demokrasi.

 

Justru jadi rusak.

Karena bisa menciptakan perpecahan public.

 

Yang membuat publik kehilangan kerangka acuan.

 

Sehingga tidak bisa berfungsi dengan baik.

 

Terutama terkait pemilihan pemimpin.

 

Dan pengawasan kebijakan publik,” paparnya.

 

(Sumber kumparan)

0 comments:

Post a Comment