JABATAN PUBLIK ASLINYA UNTUK MEMBUAT RAKYAT
SEJAHTERA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Kekuasaan Cenderung Korup.
Kekuasaan Mutlak Pada Korupsinya.
Kekuasaan cenderung korup.
Ini adalah kredo Lord Acton Ilmuwan
Inggris abad 18.
Yang teks aslinya dalam bahasa Inggris
berbunyi,
”Power tend to corrupt absolute Power Corrupt
absolutely”.
Zaman dulu yang berkuasa
adalah gerombolan orang yang punya senjata dan jago berkelahi.
Yang bisa sesuka hatinya
merampas harta benda.
Mengambil hak kemerdekaan
anak gadis.
Bahkan istri orang lain
tanpa ada konsekuensi hukumnya.
Itu watak asli orang yang
berkuasa pada zaman itu.
Yang cenderung criminal.
Jika terlampau berkuasa.
Dan tidak ada yang
membatasinya.
Lalu, bagaimana sifat
orang modern jika sangat berkuasa?
Robert.D Laswell, Profesor
ilmu Hukum dari Universitas Yale, Amerika Serikat.
Dalam bukunya: Power and
Personality.
Menyebutkan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan memengaruhi
pengikutnya sesuai keinginannya.
Robert.A Dahl, Profesor
ilmu Politik di Universitas Yale.
Mengungkapkan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan memengaruhi orang lain.
Atau dari satu pihak
kepada pihak lain dengan paksaan.
Itulah sebabnya, untuk
meredam sifat rakus dan tamak dalam diri manusia.
Agar tidak sewenang-wenang
menyalahgunakan kekuasaannya.
Untuk kepentingan pribadi,
kelompok, dan golongannya.
Maka setiap pemerintahan
di negara demokrasi, harus selalu diawasi secara ketat.
Filsuf Inggris John Locke
mencetuskan teori pembagian kekuasaan yang disebut Trias Politica.
Kemudian
disempurnakan oleh sarjana Perancis Montesquieu.
Dalam Negara Demokrasi
Kekuasaan dibagi 3 pilar.
Yakni:
1.
Executif.
2.
Legislatif.
3.
Yudikatif.
Tujuannya agar ada
keseimbangan kekuasaan.
Yang dikenal sebagai check
and balance.
Runtuhnya rezim orde baru,
berganti era reformasi di Indonesia adalah transisi menuju Negara Demokrasi
yang kita dambakan.
Hal ini menjadi bukti
konkret bahwa masyarakat tidak suka kekuasaan otoriter.
Yang cenderung zalim.
Jika tidak dikontrol dan
diawasi.
Prof DR Budiono,M.EC.
Wakil Presiden era
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam makalah berjudul,
“Batas Kritis Demokrasi Indonesia diukur dari
Penghasilan Per Kapita”.
Menjelaskan batas aman
Demokrasi Indonesia.
Jika penghasilan perkapita
masyarakatnya lebih besar dari US$ 6.600.
Jika 1 dollar kursnya 15
ribu rupiah.
Maka 6.600 dolar nilainya 15.000
dikalikan 6.600 = 99.000.000 rupiah.
Dibulatkan 100 juta
rupiah.
Jika penghasilannya kurang
dari US$ 6.600.
Kemungkinan kegagalan
demokrasi sangat tinggi.
Sekarang teori itu
terbukti kebenarannya.
Mayoritas rakyat Indonesia
saat ini berpenghasilan masih jauh di bawah batas aman demokrasi.
Seperti yang disebutkan
Prof Budiono itu.
Demokrasi di
Indonesia semu dan sudah tergadaikan.
Mayoritas masyarakat
tersandera dengan kemiskinan.
Sehingga mudah tergoda
dengan iming-iming uang receh.
Agar menjual hak
konstitusionalnya.
Tanpa peduli nasibnya
selama 5 tahun ke depan kepada para pemodal.
Makalah Prof Budiono
sejalan dengan pernyataan Ketua MPR, Bambang Soesatyo.
Bahwa hanya perlu 1
Triliun untuk menguasai partai politik di Indonesia.
(Media Indonesia, 20
Februari 2020).
Lalu ada 16 partai politik
di Indonesia.
Artinya perlu 16 Triliun
sudah bisa menguasai Indonesia.
Banyak konglomerat
Indonesia mampu membayar dana sebesar itu.
Untuk menguasai hajat
hidup orang banyak.
Politic is a good
business, why not?
Faktanya, mayoritas yang
berkuasa saat ini adalah yang punya kapital besar alias cukong.
Atau kaki tangan yang di
back up saudagar.
Atau tengkulak yang
meminjamkam modal untuk ongkos kampanye.
Yang tentunya tidak
mungkin gratis.
Tentu saja ada
hitungan-hitungan bisnisnya.
Keluar dari kandang macan
masuk ke kandang buaya.
ltu nasib sebagian
mayoritas masyarakat Indonesia.
Sungguh ironis!
Rakyat kecil hanya
dijadikan pelengkap penderita, dalam demokrasi semu.
Bahkan DR Rizal Ramli
menyebutnya Demokrasi Kriminal!
George Sorros, pemilik
korporasi raksasa: Quantum Fund.
Yang pernah
memporakporandakan ekonomi negara-negara di kawasan Asia.
Termasuk Indonesia pada
tahun 1998.
Dengan transaksi valuta
asingnya dalam buku berjudul,
“Underwriting Democracy, Encouraging Free
Enterprise and Democratic Reform Among the Soviet and in eastern Europe.”
Menyebut jangan kasih
jabatan publik pada pengusaha.
Karena pengusaha
orientasinya pasti urusan profit.
Padahal jabatan publik
fungsinya sejatinya untuk kesejahteraan masyarakat.
Adalah dua hal yang
bertabrakan.
Tapi masalahnya.
Pengusaha terlanjur mendominasi
penyelenggara pemerintahan republik kita saat ini.
Suka atau tidak suka
masyarakat Indonesia harus menerimanya.
Meskipun terpaksa harus
mengelus dada.
Nasi sudah menjadi bubur!
Ibarat dalam pertandingan
sepak bola.
Jika wasit ikut bermain di
pihak lawan.
Apakah mungkin dapat
berlaku adil?
Masa mau balik lagi
seperti gerombolan orang zaman dulu?
Keledai saja tidak mau
mengulang harus terperosok di lubang yang sama.
(Sumber Yus Dharmawan)
0 comments:
Post a Comment