APAKAH NASIKH DAN MANSUKH
ITU
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi,
M.M.
Kata “naskh” dipakai dalam beberapa arti, yaitu:
1.
pembatalan.
2.
, penghapusan.
3.
, pemindahan dari satu
wadah ke wadah lain.
4.
, pengubahan.
5.
, dan sejenisnya.
Nasikh adalah sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan
semacamnya.
Mansukh adalah yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya.
Sebagian ulama beranggapan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan
dalam suatu kondisi tertentu.
Telah menjadi “mansukh” (dihapus/dibatalkan) jika ada ketentuan lain
yang berlainan karena berbeda kondisi.
Misalnya, perintah “bersabar” atau “menahan diri” pada periode Mekah
pada saat kondisi umat Islam masih lemah.
Dianggap “dinasikhkan” (dihapuskan/dibatalkan) oleh “perintah/izin
berperang” pada periode Madinah saaty umat Islam sudah kuat.
Para ulama yang mendukung adanya “nasikh dan mansukh” menyatakan,
“Hukum diundangkan untuk kemaslahatan manusia.
Sehingga hukum dapat berubah (berbeda) akibat perbedaan waktu (tempat).”
Ulama pendukung adanya “nasikh dan mansukh” menyebut Al-Quran surah
An-Nahl (surah ke-16) ayat 101.
وَإِذَا
بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا
إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan jika Kami letakkan
suatu ayat di tempat ayat lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih
mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata,”Sesungguhnya kamu adalah
orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tidak mengetahui.
Para ulama pendukung adanya “nasikh dan mansukh” mengakui.
Bahwa nasikh dan mansukh dapat dilakukan
Jika ada 2 ayat hukum saling bertolak belakang.
Dan tidak dapat dikompromikan.
Tetapi harus tahu secara meyakinkan urutan kronologis turunnya ayat.
Sehingga ayat yang turun lebih dahulu ditetapkan sebagai “mansukh” (diganti).
Dan ayat yang turun kemudian sebagai “nasikh” (mengganti).
Artinya semua ayat Al-Quran tetap berlaku.
Tidak ada pertentangan.
Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu.
Karena kondisinya berbeda.
Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi bagi masyarakat
pada zaman tertentu.
Tetap dapat berlaku bagi masyarakat lain.
Yang kondisinya sama dengan kondisi semula.
Pemahaman semacam ini sangat membantu penyebaran dakwah Islam.
Sehingga ayat hukum yang bertahap dapat dijalankan umat Islam.
Yang kondisinya sama atau
mirip dengan zaman awal dahulu.
Jika ada nasikh dan mansukh dalam ayat Al-Quran.
Maka siapa yang berwenang melakukan nasikh dan mansukh ayat
Al-Quran?
Para ulama berbeda pendapat tentang,
“Apakah Nabi Muhammad boleh melakukan nasikh dan mansukh ayat
Al-Quran?”
Para ulama yang membolehkan Nabi Muhammad melakukan nasikh dan
mansukh terhadap ayat Al-Quran secara teoretis.
Ternyata berbeda paham tentang,
“Apakah dalam kenyataan
secara faktual ada hadis Nabi yang mengisyaratkan adanya nasikh dan
mansukh terhadap ayat Al-Quran?”
Sebagian ulama menolak adanya hadis yang membolehkan adanya nasikh
dan mansukh.
Meskipun secara teoretis, terhadap ayat Al-Quran.
Sebagian ulama lain memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi
kemungkinan adanya nasikh dan mansukh terhadap ayat Al-Quran.
Para ulama berbeda pendapat tentang adanya hadis yang membolehkan nasikh
dan mansukh terhadap ayat Al-Quran.
Tetapi secara umum dapat dikatakan semua ulama sepakat.
Bahwa yang dapat melakukan nasikh dan mansukh terhadap ayat Al-Quran
hanya wahyu Allah yang bersifat mutawatir.
Mutawatir adalah sifat hadis yang memilki banyak sanad.
Dan diriwayatkan oleh banyak perawi pada tingkat sanadnya.
Sehingga banyak perawi itu mustahil sepakat untuk berdusta atau
memalsukan hadis.
Syarat bahwa wahyu harus bersifat mutawatir.
Karena pendapat para ulama,
“Jika suatu hukum terbukti
secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf.
Maka tidak mungkin me-nasikh-nya.
Kecuali atas pembuktian yang pasti pula”.
Sungguh sangat riskan membatalkan suatu yang pasti berdasar hal belum
pasti.
Sehingga, masalahnya beralih dari pembahasan teoretis kepada praktis.
Apakah ada hadis Nabi mutawatir yang membatalkan ayat Al-Quran?
Para ulama menampilkan 4 hadis yang semuanya bersifat “ahad’.
Atau tidak mutawatir.
Tetapi dinilai oleh sebagian ulama telah me-nasikh-kan ayat
Al-Quran.
Kesimpulannya:
Tidak ditemukan hadis Nabi yang mutawatir yang me-nasikh-kan ayat
Al-Quran.
Hadis “La washiyyata li warits” (tidak dibenarkan adanya wasiat
untuk penerima warisan).
Yang oleh sebagian ulama dinyatakan sebagai me-naskh-kan ayat
“kewajiban berwasiat” dalam surah Al-Baqarah (surah ke-2) ayat 180.
Setelah diteliti seluruh teksnya berbunyi,
“Sesungguhnya Allah telah memberi kepada tiap yang berhak haknya,
dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan”.
Kata-kata “Sesungguhnya Allah telah memberikan…”.
Dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris.
Hadis itu menyatakan bahwa yang me-nasikh-kan adalah ayat waris itu.
Bukan hadis Nabi yang bersifat ahad itu.
Jika yang dimaksud dengan nasikh
adalah “pergantian” seperti ditampilkan di atas.
Maka para ahli perlu terlibat untuk menentukan pilihannya.
Dari sekian banyak alternatif
ayat hokum.
Yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang
dihadapi.
Pilihan diambil berdasar kondisi social.
Atau kenyataan objektif masing-masing orang.
Misalnya, ada 3 ayat hukum berbeda tentang khamr (minuman keras).
Ketiganya tidak batal.
Tetapi berubah sesuai
dengan kondisinya.
Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya.
Sesuai kondisinya.
Dengan memperhatikan bentuk plural pada surah An-Nahl (surah ke-16)
ayat 101.
“JIka Kami mengganti suatu ayat ...”.
Kata “Kami” secara umum sebagai pengganti nama Allah.
Tetapi juga menunjukkan adanya keterlibatan selain Allah.
Yaitu manusia dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada
masing-masing ayat.
Artinya, perlu melibatkan manusia.
Yaitu para ahli untuk menetapkan alternatifnya.
Dari banyak pilihan yang ditawarkan oleh ayat Al-Quran yang mansukh
(diganti).
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan
Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan
Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan
Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital
Qur’an Ver 3.2,
5. Tafsirq.com
online.

0 comments:
Post a Comment