PROF YUSRIL KISAH DEKRIT PRESIDEN SOEKARNO DAN
GUS DUR
Oleh: Drs. H. M.
Yusron Hadi, M.M.
Prof Yusril Ihsa Mahendra.
Presiden Jokowi Bisa Buat Dekrit.
Jika Ingin Tetap Menjabat.
Meskipun dekrit Presiden bisa dilakukan.
Tapi Yusril Ihza Mahendra mengingatkan.
Risiko yang mungkin menimpa Presiden Jokowi.
Jika menerbitkan dekrit penundaan Pemilu 2024.
Selain amendemen UUD 1945.
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra
mengatakan.
Ada jalan lain yang bisa dilakukan.
Untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Yaitu Presiden Jokowi mengeluarkan dekrit .
Menunda pelaksanaan pemilu.
Sekaligus memperpanjang masa jabatan semua
pejabat.
Yang menurut UUD 45.
Harus diisi dengan pemilu.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menerangkan.
Bahwa dekrit adalah revolusi hukum.
Yang absahnya.
Harus dilihat secara post-factum.
Yaitu setelah berlakunya.
Revolusi yang berhasil.
Dan mendapat dukungan mayoritas rakyat.
Kata Professor Ivor Jennings.
Maka menciptakan hukum sah.
Tetapi
sebaliknya.
Revolusi yang gagal.
Menyebabkan tindakan revolusi hukum.
Sebagai tindakan ilegal.
Dan melawan hukum.
Pelaku revolusi gagal.
Bisa diadili.
Dengan dakwaan makar.
Atau kudeta.
Atau pengkhianatan.
Terhadap bangsa dan Negara.
Atau dipecat dari jabatannya.
Oleh lembaga yang berwenang.
"Masalahnya.
Apakah Presiden Jokowi.
Punya nyali untuk mengeluarkan dekrit.
Seperti Bung Karno.
Membuat Dekrit membubarkan Konstituante.
Dan memberlakukan kembali UUD 45?" ungkap
Yusril.
Melalui keterangan tertulis.
Minggu (27/2/2022).
Yusril menilai.
Peristiwa Dekrit Presiden Soekarno.
Pada 5 Juli 1959.
Bukan tindakan didasarkan dalil
“staatsnoodrechts”.
(Keadaan darurat Negara).
Atau “noodstaatsrechts”.
(Hukum tata negara dalam keadaan darurat).
Seperti didalilkan.
Prof Mr Djokosutono.
Dan Prof Mr Notonegoro.
Dia tidak melihat.
Cukup alasan untuk menyatakan adanya 2 faktor itu.
Dekrit 5 Juli 1959.
Yaitu sebuah revolusi hukum yang berhasil.
Berkat politik cipta kondisi.
Yang saat itu diorganisir.
Kepala
Staf Angkatan Perang.
Jenderal
AH Nasution.
Saat itu Nasution lebih dulu menyatakan SOB
(Staat van Oorlog en Beleg).
Atau “negara dalam keadaan bahaya”.
Juga dukungan partai politik.
Terutama PNI dan PKI.
”Revolusi hukum tidak mungkin berhasil.
Tanpa dukungan militer.
Dan ini sejarah tahun 1959,” ujar Yusril.
Peristiwa tahun 1959.
Berbeda dengan tahun 2001.
Saat Presiden Abdurrahman Wahid.
Alias Gus Dur.
Mengeluarkan dekrit.
Untuk membubarkan DPR dan MPR.
Hasil Pemilu 1999.
"Sebelum niat dilaksanakan.
Saya sudah memberi saran kepada Presiden Gus
Dur.
Dalam sidang kabinet.
Pada 6 Februari 2001.
Saya mengingatkan.
Sebagai Menteri Kehakiman dan HAM.
Yang memang memberi nasihat hukum kepada
Presiden," kata Yusril.
Yusril saat itu mengatakan.
Bahwa rencana mengeluarkan maklumat atau dekrit.
Membubarkan DPR dan MPR.
Adalah tindakan inkonstitusional.
Yang sangat berisiko.
Jika tindakan itu mau disamakan.
Dengan tindakan Bung Karno.
Pada 5
Juli 1959.
Maka tidak ada landasan sosiologis, politis,
dan konstitusional.
Untuk mendukungnya.
Dekrit hanya akan berhasil.
Jika didukung kekuatan militer.
"Saya
melihat TNI saat itu.
Justru enggan mendukung langkah
inkonstitusional itu.
Mengingat saat itu.
DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada
Presiden.
Saya menyarankan.
Agar Presiden mengundurkan diri.
Daripada dipermalukan.
Dengan diberhentikan oleh MPR," tutur
Yusril.
Bukannya direspons positif.
Tapi Gus Dur marah.
Yusril dipecat keesokan harinya.
Pada 7 Februari 2001.
Posisinya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM.
Diganti Baharudin Lopa.
Menteri baru bersedia mewakili Presiden.
Menjawab memorandum I dan II dari DPR di MPR.
Tetapi Gus Dur akhirnya meneken dekrit pada 23
Juli 2001.
Tindakan Gus Dur mendapat banyak dukungan.
Dari kalangan aktivis, akademisi, dan tokoh
LSM.
Tapi karena tindakan revolusi hukum tidak
matang.
MPR segera bersidang.
Dan menjawab dekrit.
Dengan memberhentikan Gus Dur sebagai presiden.
"Pertanyaannya sekarang.
Apakah Presiden Jokowi.
Akan memilih mengeluarkan Dekrit menunda Pemilu.
Dan memperpanjang masa jabatan.
Semua penyelenggara Negara.
Termasuk dirinya.
Yang menurut UUD 45.
Harus diisi lewat Pemilu?
Dugaan saya.
Presiden Joko Widodo tidak akan melakukan
itu," kata dia.
(Sumber sindonews)
0 comments:
Post a Comment