AL-QURAN DITAFSIRKAN DENGAN SAINS
MODERN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
KETIKA JAYA SUPRANA
BERTANYA HAKIKAT ISLAM
Saya diundang sebagai
narasumber.
Di acara Jaya Suprana Show.
Selasa, 16 Maret 2021, baru
lalu.
Temanya cukup menggelitik:
Al-Qur’an Inspirasi Sains.
“Terima kasih, Pak Agus telah
berkenan hadir di acara talkshow ini,’’ katanya.
Saat memandu acara yang
disiarkan secara live di youtube itu.
Tema itu menggelitik dalam 2
arti.
1.
Orang yang mengundang adalah Jaya Suprana.
Orang non muslim.
Untuk membahas
makna Al-Qur’an.
Kitab suci umat
Islam.
2.
Membahas keterkaitan antara agama dan sains.
Hal itu menjadi kontroversial.
Karena, banyak kalangan
berpendapat.
Bahwa agama dan sains adalah
dua hal yang tidak bisa disatukan.
Bahkan, bisa bertentangan.
Sebagaimana tercatat dalam
sejarah kebangkitan Eropa.
Dengan dihukumnya ilmuwan
legendaris Galileo Galilei oleh pihak gereja beberapa abad silam.
Ketertarikan Jaya Suprana
bermula dari debat saya dengan seorang anggota WAG.
Di mana Jaya menjadi adminnya.
Kami berdebat tentang hubungan
antara agama dan sains.
Bahwa, agama berada di wilayah
keyakinan dogmatis.
Sedangkan sains berada di
wilayah pembuktian empiris.
Saya membantahnya.
Karena, dalam ajaran Islam,
sains tidak terpisah dari Islam secara utuh.
Sebagaimana ilmu sejarah, ilmu
politik, ilmu ekonomi, budaya, sosial, kesehatan, bahasa, dan lain sebagainya.
Justru, semua ilmu itu menjadi
alat bagi umat lslam.
Untuk memahami petunjuk Al-Qur’an
lebih mendalam.
Bahwa, seorang penafsir
selayaknya menguasai ilmu-ilmu itu.
Agar tafsirnya tidak
bertentangan dengan kaidah ilmu bahasa, ilmu sejarah, ekonomi, sosial, politik,
dan sebagainya.
Termasuk dengan sains.
Memang, semua ilmu itu tidak
bersifat mutlak.
Dan terus berkembang.
Tidak masalah.
Karena, penafsiran terhadap
kandungan Al-Qur’an pun berkembang.
Sesuai zamannya.
Yang tidak berkembang adalah
teksnya.
Masih sama.
Dari dulu sampai kini.
Tetapi, konteksnya terus
berubah seiring dengan peristiwa yang terjadi.
Sehingga, Al-Qur’an sebagai
kitab petunjuk agar bersifat membumi.
Salah satu ketertarikan Jaya
adalah tentang tasawuf.
Khususnya, Tasawuf Modern yang
menjadi tema syiar.
“Sebenarnya tasawuf itu apa?
Saya lihat banyak sekali
ragamnya,” tanyanya.
Sambil menyebut para sufi di
Anatolia Turki.
Dan, Kahlil Gibran di Lebanon.
Serta, biksu-biksu di Tibet.
“Tasawuf adalah ilmu yang
mengajarkan proses pendekatan kepada Tuhan, Sang Penguasa alam semesta.
Bukan sekadar tatacara ibadah.
Yang sering menjadikan
penganut agama terjebak pada ritual belaka.
Ilmu tasawuf memang berkembang
di berbagai agama.
Bagi mereka yang ingin masuk
ke kedalaman ajarannya.
Untuk bertemu dan berasyik
masyuk dengan Tuhannya.
Dalam koridor kasih sayang.
Termasuk Islam.
Karena itu, masing-masing
aliran tasawuf punya ciri khas sendiri.
Bahkan, tasawuf Islam pun
berkembang secara sangat beragam.
Sesuai bimbingan para
mursyidnya.
Meskipun, ujung-ujungnya sama.
Yakni, proses mendekatkan diri
kepada Allah.
Sang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang.
“Saya belajar Kejawen.
Dan, sangat tertarik dengan
ajaran Manunggaling Kawula lan Gusti.
Yang menurut saya sangat luar biasa.
Apakah itu bagian dari ajaran
Tasawuf?” tanya pemain piano dan pencipta lagu itu.
“Ya. Di dalam tasawuf Islam
itu disebut sebagai Wahdatul Wujud.
Bersatunya segala wujud atau eksistensi.
Yang bersumber dari wujud
tunggal.
Yakni Allah Sang Pencipta segala.
Tokoh sufi yang mengajarkan
Manunggaling Kawula lan Gusti di tanah Jawa adalah Syekh Siti Jenar, seorang
muslim.
Sekitar abad ke-16.
Sedangkan Wahdatul Wujud
diajarkan oleh tokoh sufi dari Andalusia Spanyol.
Bernama Ibnu Arabi.
Di sekitar abad ke-12.
Keduanya mengajarkan hal yang
kurang lebih sama.
Bahwa segala eksistensi.
Jagat raya beserta segala
isinya.
Tak lebih adalah sebagian
perwujudan dari eksistensi-Nya.
Karena, segala sesuatu memang
berasal dan bersumber dari-Nya belaka.
“Inna lillahi wa inna ilaihi
rajiun.
Sesungguhnya semua ini milik
Allah, dan sesungguhnya semuanya bakal kembali kepada-Nya,” begitulah ajaran
Islam menggambarkan.
“Oh, jadi kalimat yang sering
diucapkan saat bela sungkawa itu.
Sesungguhnya punya makna yang
sangat mendalam ya?” timpalnya.
“Jadi, sesungguhnya Tuhan itu
tidak berbentuk manusia ya.
Tapi tidak bisa digambarkan.
Karena, menjadi asal-usul dan
sumber dari segala eksistensi di jagat raya.
Termasuk, Pak Agus ini berasal
dari diri-Nya,” sambungnya tertegun.
Sambil menyatakan
ketakjubannya sampai merasa terharu.
“Iya. Itulah yang di dalam Al
Qur’an digambarkan sebagai Tuhan yang: Laisa kamitslihi syai-un”.
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan-Nya.
Al-Quran surah Asy-Syura (surah
ke-42) ayat 11.
فَاطِرُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ
الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan
bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang
ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan
jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia, dan Dia yang Maha Mendengar dan Melihat.
Dan, Dia Maha Mendengar lagi
Maha Melihat.”
[QS. Asy Syura: 11]
Allahu a’lam bissawab …
(Sumber Agus Mustofa)
0 comments:
Post a Comment