Thursday, March 27, 2025

40112. STM TEKNIK MESIN MENJADI GURU (5)

 





LULUSAN STM TEKNIK MESIN MENJADI GURU (5)

Oleh:  Drs. HM. Yusron Hadi, M.M.



 

 

KHATIB SALAT JUMAT PEMULA


      “Pak Yusron bukan akar, tapi rotan,” kata Pak Subron, guru pelajaran agama Islam. 

Memberikan semangat kepada saya, agar mau belajar menjadi khatib salat Jumat. Menjadi juru khotbah.

 

Ketika itu, saya dipaksa menjadi khatib salat Jumat di masjid sekolah.

Saya guru keterampilan. Bukan guru pelajaran agama Islam. Saya beralasan, “Tidak ada rotan, akar pun jadi.”

 

Karena dipaksa, lalu terpaksa. Akhirnya, sekarang terbiasa menjadi khatib dan imam salat Jumat di masjid sekolah. Alhamdulillah.


JUARA CATUR LOKAL  

 
      Ketika itu, dalam kurikulum, muncul mata pelajaran Keterampilan Bebas.

Siswa boleh memilih sesuai bakat dan minatnya.

 

Misalnya: memasak, seni tari, bola voli, badminton, sepak bola, catur. Atau lainnya sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah. Sebagai guru keterampilan, tentu saja, saya mendapat giliran untuk mengampunya.

 

Saya mendapatkan tugas memberikan pelajaran bermain catur kepada siswa.

 

Beberapa buku teori bermain catur dan buku pertandingan antarmaster catur tingkat dunia, sudah saya miliki.   

  
      Beberapa guru senior, misalnya Pak Bin Anwar, Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono sering penasaran dengan saya.

 

 Penyebabnya: mereka belum bisa mengalahkan saya dalam bermain catur.

 

Di rumah, saya kerap bermain catur dengan ayah dan tiga saudara laki saya.

Ayah saya, H.M.Tauchid Ismail, ketua takmir masjid Panjunan, Sukodono, Sidoarjo. Zaman itu, pengurus masjid menyiapkan beberapa papan catur dan papan lapangan tenis meja di teras masjid.

 

Agar para pemuda betah berada di masjid. Terutama ketika bulan puasa.

 

Lingkungan tersebut memengaruhi saya. Sejak kecil, saya sudah sering bermain catur. Saya pernah menyabet juara lomba catur tingkat kecamatan Sukodono.

 

Jadi, mengajarkan teori bermain catur dan praktik bertanding catur melawan murid merupakan hal yang sudah biasa.


SEKOLAH KERAJAAN


       “Inilah bapak guru dari sekolah kerajaan,” ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo.

 

Mereka menilai Kepala SMP Negeri 1 Sidoarjo, kala itu, Pak Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras dan tegas dalam menegakkan disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai. 

 

Memang, masa itu, SMP Negeri 1 Sidoarjo terkenal sebagai sekolah yang amat disiplin. Sehingga dijuluki “Sekolah Kerajaan”.

 

 “Apakah dia seorang guru?” tegur Pak Tony. Sambil menuding dengan jempol jari tangan kanan ke arah siswa di depan saya.

Ketika itu saya, seorang guru muda,  sedang berbicara dengan siswa di luar kelas pada jam istirahat.

 

 Pak Tony menginginkan tetap ada “jarak” antara guru dengan siswa.

 

Juga, harus terjaga semacam “kasta” antara guru senior dan pemula.


GURU TERBANG


      Setelah berjalan beberapa waktu. Saya ditugaskan menjadi “guru terbang”.

 

Mengapa?

Karena saya harus bergerak dari satu sekolah ke sekolah lain.

 

Misalnya, Senin bertugas di SMP Negeri 1 Sidoarjo. Selasa mengajar di SMP Negeri Juanda (sekarang SMP Negeri 1 Sedati). Rabu berada di SMP Negeri 1 Candi. Begitu selanjutnya, diatur sesuai dengan jadwal jam mengajar. Semua sekolah tersebut adalah filial atau cabang dari SMP Negeri 1 Sidoarjo.


      Khusus ke SMP Negeri Juanda, disediakan bis dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut). Semboyan TNI AL “Jalesveva Jayamahe”.

 

Yang bermakna Di Lautan Kita Jaya. Tiap hari kerja, pukul lima pagi, bus sudah siap di depan gedung SMP Negeri 1 Sidoarjo.

 

Hanya kendaraan TNI AL yang boleh  masuk kompleks Juanda.

Naik bus bersama tentara dan mengajar di Kompleks SMP Negeri Juanda berpengaruh positif. Sikap disiplin dan saling hormat dengan mengangkat tangan kanan ketika bertemu, menjadi pemandangan harian.

 

 

(BERSAMBUNG…)



Related Posts:

0 comments:

Post a Comment