LULUSAN STM TEKNIK MESIN MENJADI GURU (5)
Oleh: Drs. HM. Yusron Hadi, M.M.
KHATIB SALAT JUMAT PEMULA
“Pak Yusron bukan akar, tapi rotan,” kata Pak
Subron, guru pelajaran agama Islam.
Memberikan semangat kepada saya, agar mau belajar menjadi
khatib salat Jumat. Menjadi juru khotbah.
Ketika itu, saya dipaksa menjadi khatib salat Jumat di
masjid sekolah.
Saya guru keterampilan. Bukan guru pelajaran agama Islam.
Saya beralasan, “Tidak ada rotan, akar pun jadi.”
Karena dipaksa, lalu terpaksa. Akhirnya, sekarang terbiasa
menjadi khatib dan imam salat Jumat di masjid sekolah. Alhamdulillah.
JUARA CATUR LOKAL
Ketika itu, dalam kurikulum, muncul mata
pelajaran Keterampilan Bebas.
Siswa boleh memilih sesuai bakat dan minatnya.
Misalnya: memasak, seni tari, bola voli, badminton, sepak
bola, catur. Atau lainnya sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah. Sebagai
guru keterampilan, tentu saja, saya mendapat giliran untuk mengampunya.
Saya mendapatkan tugas memberikan pelajaran bermain catur
kepada siswa.
Beberapa buku teori bermain catur dan buku pertandingan
antarmaster catur tingkat dunia, sudah saya miliki.
Beberapa guru senior, misalnya Pak Bin Anwar,
Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono sering penasaran dengan saya.
Penyebabnya: mereka
belum bisa mengalahkan saya dalam bermain catur.
Di rumah, saya kerap bermain catur dengan ayah dan tiga
saudara laki saya.
Ayah saya, H.M.Tauchid Ismail, ketua takmir masjid
Panjunan, Sukodono, Sidoarjo. Zaman itu, pengurus masjid menyiapkan beberapa
papan catur dan papan lapangan tenis meja di teras masjid.
Agar para pemuda betah berada di masjid. Terutama ketika
bulan puasa.
Lingkungan tersebut memengaruhi saya. Sejak kecil, saya
sudah sering bermain catur. Saya pernah menyabet juara lomba catur tingkat
kecamatan Sukodono.
Jadi, mengajarkan teori bermain catur dan praktik
bertanding catur melawan murid merupakan hal yang sudah biasa.
SEKOLAH KERAJAAN
“Inilah bapak guru dari sekolah kerajaan,”
ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo.
Mereka menilai Kepala SMP Negeri 1 Sidoarjo, kala itu, Pak
Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras dan tegas dalam menegakkan
disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai.
Memang, masa itu, SMP Negeri 1 Sidoarjo terkenal sebagai
sekolah yang amat disiplin. Sehingga dijuluki “Sekolah Kerajaan”.
“Apakah dia seorang
guru?” tegur Pak Tony. Sambil menuding dengan jempol jari tangan kanan ke arah
siswa di depan saya.
Ketika itu saya, seorang guru muda, sedang berbicara
dengan siswa di luar kelas pada jam istirahat.
Pak Tony
menginginkan tetap ada “jarak” antara guru dengan siswa.
Juga, harus terjaga semacam “kasta” antara guru senior dan
pemula.
GURU TERBANG
Setelah berjalan beberapa waktu. Saya ditugaskan
menjadi “guru terbang”.
Mengapa?
Karena saya harus bergerak dari satu sekolah ke sekolah
lain.
Misalnya, Senin bertugas di SMP Negeri 1 Sidoarjo. Selasa
mengajar di SMP Negeri Juanda (sekarang SMP Negeri 1 Sedati). Rabu berada di
SMP Negeri 1 Candi. Begitu selanjutnya, diatur sesuai dengan jadwal jam
mengajar. Semua sekolah tersebut adalah filial atau cabang dari SMP Negeri 1
Sidoarjo.
Khusus ke SMP Negeri Juanda, disediakan bis
dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut). Semboyan TNI AL
“Jalesveva Jayamahe”.
Yang bermakna Di Lautan Kita Jaya. Tiap hari kerja, pukul
lima pagi, bus sudah siap di depan gedung SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Hanya kendaraan TNI AL yang boleh masuk kompleks
Juanda.
Naik bus bersama tentara dan mengajar di Kompleks SMP
Negeri Juanda berpengaruh positif. Sikap disiplin dan saling hormat dengan
mengangkat tangan kanan ketika bertemu, menjadi pemandangan harian.
(BERSAMBUNG…)
0 comments:
Post a Comment