LULUSAN STM TEKNIK MESIN MENJADI GURU (4)
Oleh: Drs. HM. Yusron Hadi, M.M.
Dengan penampilan anak muda 21 tahun, maaf, agak berambut
gondrong. Rambut sedikit “gimbal”.
Banyak teman sekolah yang tidak menyangka, saya telah
menjadi seorang pendidik. Memang, seorang guru seharusnya bisa “digugu” dan
“ditiru”.
Artinya, seorang guru sepatutnya mampu menjadi panutan dan
teladan.
Sebagai guru pemula, saya menjadi asisten
Pak Bin Anwar.
Beliau guru agama Islam yang pintar servis elektronika.
Misalnya, servis radio dan televisi.
Beberapa teman guru menggoda saya, “Pak Yusron adalah guru
yang aneh, sebab menjadi guru yang berhubungan dengan listrik, tetapi rumah pak
guru sendiri belum ada listriknya,” kata mereka.
Saya tertawa, mendengarkan gurauan mereka. Mungkin
mereka menganggap saya belum cukup ilmu untuk menjadi guru.
Guyonan teman guru ada benarnya. Kegiatan
perkuliahan PGSLP YD dilaksanakan sekitar 8 bulan.
Dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah dihitung selama
setahun.
Setelah lulus, langsung ditugaskan sebagai guru SMP.
Padahal, dengan kuliah yang relatif singkat. Tentu saja,
bekal ilmunya belum mumpuni. Saya berusaha mengatasi kekurangan tersebut.
Mulai saat itu, saya sering mengunjungi Pasar Genteng,
Surabaya untuk belajar lebih banyak dan mendalam tentang Teknik Elektronika.
PENYANYI KAMAR MANDI
Kami para guru muda. Sering tidur di sanggar
sekolah. Ruangan tidak terpakai disulap menjadi ruang tidur.
Saya dengan Pak Andi guru kesenian dan Pak Putut guru
bahasa Indonesia adalah penghuni tetap.
Sedangkan beberapa guru lain, biasanya ikut menimbrung.
Melihat dan mendengarkan Pak Andi memainkan
gitar sambil bernyanyi.
Hampir setiap hari. Saya terpengaruh kena “virus”nya.
Tidak terasa, saya dan Pak Putut tertular ikut belajar
bermain gitar. Juga belajar alat musik lainnya.
Misalnya, piano dan drum. Kami memperoleh julukan sebagai
“Penyanyi Kamar Mandi” dan “Artis Sanggar”.
“Pindah kripnya besok saja!” teriak Pak Andi.
Ketika kami memainkan sebuah lagu, tetapi tangan saya terlambat
memindahkan krip (accord) gitar dari posisi C ke Am misalnya.
Kami tertawa bersama mendengar “ejekan” tersebut.
JAGO KANDANG BADMINTON
Pada kesempatan lain. Saya berhasil “membalas
dendam”.
Mempermalukan Pak Andi. Pada sore hari yang cerah. Kami
bermain badminton.
Setelah saya mengalahkan Pak Putut. Saya bertanding single
dengan Pak Andi. Yang amat mahir bermain gitar, tetapi “kedodoran” ketika
memegang raket badminton.
Pertandingan belum berakhir, Pak Andi sudah menyerah kalah.
Pak Andi mengaku “keok”. “Gak badminton, gak patheen,” kata
Pak Andi.
Sambil meletakkan raket
dan “ngeloyor” meninggalkan lapangan.
Sungguh, kenangan yang lucu dan menggemaskan.
(BERSAMBUNG..)
0 comments:
Post a Comment