Monday, October 25, 2021

11405. SANTRI BELAJAR BISNIS BANGUN RUMAH

 

 





SANTRI BELAJAR BISNIS BANGUN RUMAH

 

 

 

 

*Penakut

 

Kalian bangun rumah.

Sudah deal dengan kontraktornya.

 

"Pokoknya ini habis 590 juta ya."

 

Kontraktornya bilang,

“Iyes, Pak.”

 

Kan kami sudah riset, study, sudah lengkap kabeh.

 

Tenang saja."

 

 

Kalian bilang lagi ke kontraktornya,

 

“Betulan yo. “

 

Pokoknya kamu bangun, 590 juta jadi.

 

Soalnya aku sudah nolak yang satunya.

 

Dia nawarin 630 juta.

Aku milih sampeyan.

 

Harus jadi.

 

Kalau ada apa2, tanggung sendiri.'

 

 

Lantas rumah mulai dibangun.

 

Dan 6 bulan.

Pondasi sdh jadi, tiang2 sudah didirikan.

 

Kontraktor datang,

 

“Pak, ternyata salah hitung. 800 juta butuhnya.

 

Ternyata itu di bawah pondasinya susah.

 

Ada pohon bawang.

Juga ada sarang ulat bulu tadi.

 

Susah, di luar dugaan.”

 

 

Kalian gimana tanggapannya?

 

Karena itu duit kalian sendiri.

 

Tentu silakan mau gimana keputusannya.

 

Tapi kebanyakan sih.

 

Mesti marah dulu sama kontraktornya.

 

Enak saja, kok jadi berubah.

 

 

Itu hikayat jika bangun rumah.

 

Bagaimana dengan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung?

 

Mirip2 situasinya.

 

Nah, menariknya.

 

Proyek kereta api cepat ini katanya b2b toh?

 

full 100% swasta toh?

 

Investasi bareng2 dengan China.

 

 

Maka seharusnya solusinya simpel.

 

Bilang sama pihak kontraktornya,

 

 “Yo wis, sudahlah, kita hentikan saja.

 

Kamu kok mencla-mencle.

Kok mendadak naik 28 triliun.

 

Kamu kira duit 28 triliun dikit opo?'

 

Karena proyek ini konon katanya b2b loh ya.

 

Jadi saat kita ngambek.

 

Hentikan total.

 

Siapa yang harusnya mikir?

CHINA!

 

Coba kamu perhatikan foto di postingan ini.

Diambil dari Kompas.

 

Ini proyek patungan 40% China.

Dan 60% swasta Indonesia (katanya begitu).

 

 

Meskipun 40:60.

 

Pada kenyataannya.

Pendanaan, utang dari China.

 

Bahan, material tenaga kerja dll, dari mana?

 

Ayo dijawab.

 

Maka, karena swasta kita mayoritas.

 

Bisa kita bikin keputusan sepihak.

 

Beres.

 

Hentikan, suruh China yang mikir.

 

Page ini menulis berkali2 soal proyek ini karena:

 

 

Minta nambah 28 triliun.

 

Lantas nanti ditambal pakai APBN.

 

Ayolah, duit 28 triliun itu banyak.

 

Habiskan utk merenovasi seluruh sekolah2 di penjuru Indonesia.

 

Maka 1 sekolah dapat jatah 1 miliar.

 

Kita bisa merenovasi 28.000 sekolah.

 

Mending mana?

 

Kita langsung punya 28.000 sekolah dgn fasilitas top.

 

Atau cuma punya kereta cepat doang?

 

 

Kamu kok nurut banget sama China?

 

Proyek ini tuh kan swasta.

 

Maka simpel saja.

 

Kita marah ke mereka.

 

Bilang kok saya dibohongin.

 

Bilang 28 triliun silakan China yg tanggung.

 

Tidak mau?

 

Stop total.

 

Utang dari China, silakan saja ditanggung swasta, kan b2b.

 

Kalau China mau tuntut, silakan tuntut perusahaan swastanya.

 

 Nggak ada urusan sama pemerintah.

 

 

Betulan kasus kereta cepat ini.

 

Sangat luar binasa susah dipahami.

 

Kalau kamu turuti maunya China.

 

Jangan2 tahun depan.

Proyek ini gelembung lagi jadi 150 trilyun total.

 

Nambah lagi duitnya.

 

Enak di China coy.

 

Dia sudah untung di konstruksi.

 

Bahan2, dia juga untung di bunga pinjaman selama konstruksi.

 

 

Jadi ayolah, jangan penakut.

 

Lupakan sejenak soal pencitraan.

 

 Ini soal uang puluhan triliun.

 

Jangan mudah sekali nalanginnya pakai APBN.

 

Uang triliunan itu milik rakyat.

 

Dari Sumatera, Papua, dll.

 

Bukan cuma milik Jakarta-Bandung.

 

Yang sebenarnya bisa naik tol.

 

Bisa naik kereta biasa.

 

Bisa naik pesawat.

 

 

Jika besok2 proyek ini mangkrak.

 

Karena kita menolak pakai APBN.

 

Ada yang mengkritik.

 

Kamu bisa teriak ke dia,

 

'WOI! KADAL GURUN!

 

Ini tuh b2b, swasta,

 

ini bukan proyek pemerintah!

 

Salahin swastanya!

 

Ini beda dgn Candi Hambalang.'

 

 Gampang toh?

 

Enak toh?

 

Dan kamu benar sekali.

 

Memang ini b2b, iya tdk?

 

 

Kenapa kamu malah yg semangat banget pengin nalangin pakai APBN?

 

Kamu dapat apa sih?

 

*Tere Liye, penulis novel 'Negeri Para Bedebah'

 

0 comments:

Post a Comment