ADA 3 PERIODE SEJARAH TAFSIR
AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi,
M.M.
Kodifikasi Al-Quran adalah proses pemeliharaan, penulisan, dan
percetakan Al-Quran.
Ada 3 periode penulisan tafsir
Al-Quran, yaitu:
1. Zaman Nabi,
sahabat, dan tabiin.
2. Zaman Khalifah
Umar bin Abdul Aziz (tahun 99-109 Hijriah).
3. Zaman Al-Fara
(wafat 201 Hijriah).
Zaman Nabi, sahabat, dan tabiin
Zaman Nabi Muhammad, para
sahabat, dan permulaan para tabiin.
Tafsir Al-Quran belum
ditulis.
Secara umum riwayat tafsir Al-Quran.
Tersebar berdasar lisan.
Dari mulut ke mulut.
Zaman Khalifah Umar bin Abdul
Aziz (tahun 99-109 Hijriah).
Bermula dengan kodifikasi atau
penulisan hadis secara resmi.
Zaman Khalifah Umar bin
Abdul Aziz.
Pada tahun 99 - 101 Hihjriah.
Tafsir Al-Quran ditulis bergabung
dengan penulisan hadis.
Dihimpun dalam 1 bab
seperti bab hadis.
Penafsiran yang ditulis
umumnya “Tafsir bi Al-Ma'tsur”.
Gabungan 3 sumber, yaitu”
1. Penafsiran
Nabi.
2. Para
sahabat.
3. Para tabiin.
Dirangkum menjadi satu.
Disebut “Tafsir bi
Al-Ma'tsur”.
Zaman Al-Fara (wafat 201 Hijriah).
Diawali penyusunan Kitab Tafsir secara khusus.
Dan berdiri sendiri.
Diperkirakan oleh Al-Farra.
Yang wafat tahun 207 Hijriah.
Dengan kitabnya yang
berjudul “Maani Al-Quran”.
METODE TAFSIR AL-QURAN
Sejarah perkembangan Tafsir Al-Quran dapat
ditinjau dari sudut “Metode Penafsiran”.
Tiap mufasir punya metode
berbeda.
Dalam perinciannya dengan
mufasir lain.
Mufasir ialah orang yang menerangkan
arti ayat Al-Quran.
Mufasir adalah orang yang
ahli dalam penafsiran.
Secara umum.
Sejak periode ke-3 sampai
tahun 1960 Masehi.
Para mufasir menafsirkan
ayat Al-Quran ayat per ayat.
Sesuai susunan dalam mushaf.
Penafsiran berdasar urutan mushaf.
Membuat petunjuk dalam Al-Quran
terpisah.
Dan tidak disodorkan kepada
pembaca.
Secara utuh dan menyeluruh.
Suatu masalah dalam Al-Quran.
Sering ditampilkan terpisah
dalam beberapa surah.
Misalnya, tentang riba.
Ditampilkan dalam surah:
1. Al-Baqarah.
2. Al-Ali
Imran.
3. Al-Rum.
Untuk tahu pandangan Al-Quran
secara menyeluruh.
Perlu membahas semua ayat itu.
Meskipun suatu masalah
dimunculkan dalam ayat berbeda.
Tapi ada “benang merah”
atau sentral yang mengikat.
Dan menghubungkan semua masalah
itu.
Bulan Januari 1960.
Syekh Mahmud Syaltut
menyusun kitab tafsirnya.
Yang berjudul “Tafsir Al-Quran
Karim”.
Dengan metode “Tafsir
Maudhui”.
Yaitu metode tafsir yang tidak menafsirkan Al-Quran ayat per ayat.
Tapi, membahas surah demi surah.
Atau bagian tertentu dalam 1
surah.
Kemudian merangkainya
dengan tema sentral.
Yang ada dalam suatu surah
itu.
Metode “Tafsir Maudhui”.
Belum membuat pedoman.
Dan petunjuk dalam Al-Quran
dipaparkan menyeluruh.
Karena suatu masalah
ditemukan dalam berbagai surah.
Lalu timbul ide menghimpun semua ayat.
Yang menbahas suatu masalah.
Atau suatu bab tertentu.
Mengaitkan dengan yang lain.
Kemudian menafsirkan secara
utuh dan menyeluruh.
Gagasan ini dikembangkan di
Mesir oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy.
Pada akhir tahun 1960-an.
Ide ini pada hakikatnya
kelanjutan “Metode Maudhui” model Mahmud Syaltut.
Ada 2 arti “Metode Maudhui”, yaitu:
1. Penafsiran suatu surah Al-Quran.
Dengan menjelaskan tujuan
tema sentralnya secara umum.
Dan menghubungkan aneka
ragam masalah dalam surah itu.
Sehingga suatu surah dengan
berbagai problemanya.
Menjadi satu kesatuan.
2. Penafsiran
dengan menghimpun semua ayat Al-Quran.
Yang membahas suatu masalah
tertentu.
Sedapat mungkin diurutkan
sesuai kronologis waktu turunnya.
Kemudian menjelaskan
pengertiannya menyeluruh.
Untuk menarik pedoman.
Dan petunjuk Al-Quran secara
utuh.
Daftar Pustaka
1. Shihab,
M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab,
M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
0 comments:
Post a Comment