GURU SELEBRITI
Oleh : Drs. HM. Yusron Hadi, M.M.

1. Aneh bin ajaib, waktu berjalan begitu
cepat, tidak terasa lebih 38 tahun saya menjadi seorang guru.
2. Sebagai seorang pendidik sekaligus amtenar,
rasanya, baru kemarin lulus STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri 3 Surabaya di
Sidoarjo Jurusan Teknik Mesin, sangkatan dengan Joko Malis, pemain sepak bola
terkenal di Surabaya.
3. Ternyata, tidak lama lagi saya akan lepas
tugas. Sesuai peraturan, maka “Umar Bakri” harus pensiun dari guru PNS (Pegawai
Negeri Sipil) pada umur 60 tahun.
BUKAN MANTAN GURU
4. Tentu saja, selama puluhan tahun menjadi
betara guru, banyak hal sudah terjadi.
5. Sekarang ini, semua murid saya berpencar,
menjadi apa saja, dan di mana saja.
6. Oleh karena itu, tidak heran ketika saya
berada di suatu tempat, sering berpapasan dengan “mantan” murid saya, “Pak
Guru, bagaimana kabarnya?” kata seseorang. Atau, “Pak Yusron, kok kelihatan
masih muda, padahal saya sebagai murid Bapak, sudah tua dan rambut sudah
beruban,” timpal yang lain.
7. “Pak Yusron, terima kasih sudah memberi
inspirasi saya belajar elektronika waktu SMP. Alhamdulillah, saya sekarang
bekerja di suatu perusahaan yang besar,” tulis seseorang dalam akun facebook
saya.
8. Bahkan ada yang menuliskan lewat twitter,
“Pak Yusron, adalah guru matematika saya yang hebat.” Atau sapaan lainnya.
9. Ketika berjumpa tatap muka langsung atau
lewat media sosial marak terjadi. Biasanya saya menjawab, “Terima kasih, semoga
kita tetap sehat lahir dan batin. Bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat
sekitar.”
10. Saya menganggap beberapa ucapan dan
tulisan mereka hiperbol atau dibesar-besarkan.
11. Tetapi itulah komunikasi yang kerap
terjadi antara murid dan “mantan” gurunya. Ya benar, meskipun sekarang sudah
kelihatan hampir sama tuanya.
12. Tetapi guru adalah tetap guru selamanya,
bukan mantan guru! Juga, bukan bekas guru!
13. Guru saya pribadi waktu SD, SMP, maupun
SMA/STM adalah guru saya selamanya. Guru saya sepanjang hayat. Itu keyakinan
saya pribadi, maka saya selalu menghormati dan mendoakan kebaikan buat semua
guru saya. Selamanya.
14. Semua interaksi antara saya dengan
“mantan” murid, membuat saya merasa sebagai guru selebriti. Mungkin saya
berlebihan. Tapi, mohon dimaklumi, itulah yang saya rasakan.
15. Sering terjadi pertemuan saya dengan
“mantan” murid di suatu tempat. Atau ketika reuni alumni, memaksa untuk
mengingatkan suasana nostalgia yang menyenangkan dan menggemaskan.
16. Bagaimana tidak menggemaskan? Kami
bercerita “gedabrus” dan “ngalor ngidul” tentang zaman tempo dulu yang masih
imut, lucu, agak norak, menyenangkan sekaligus menyebalkan.
17. Tetapi, semuanya terlalu indah untuk
dikenangkan, dan sayang untuk dilupakan.
18. Adakah hal lain yang lebih indah dan
menggemaskan? Selain mengenang peristiwa masa lalu yang indah ketika masih
remaja? Selain kisah kasih waktu lampau yang tidak akan terulang?
KECELAKAAN YANG MEMBAWA NIKMAT
19. Bagaimana riwayat saya, yang lulusan STM
Teknik Mesin bisa menjadi seorang guru?
20. Kisahnya, dimulai ketika saya lulus STM
tahun 1976. Saya mendaftar masuk ke ITS (Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya).
21. Dengan sepeda motor. Beberapa kali saya
membonceng ayah dari desa Panjunan, Sukodono, Sidoarjo mengunjungi tempat
pendaftaran masuk ITS Surabaya. Untuk mencatat dan melengkapi syarat
pendaftaran.
22. Setelah sekian hari mengikuti bimbingan
masuk ke ITS oleh para tentor. Tiba saatnya mengikuti tes masuk ITS.
23. Hasilnya? Ternyata dalam pengumuman
penerimaan mahasiswa baru, nama saya tidak muncul.
24. Kecewa? Tentu saja, saya kecewa. Saya
batal menjadi “tukang” insinyur.
25. Saya gagal masuk ITS karena nilainya
tidak mencukupi. Ataukah sebab ada aturan lulusan STM harus mengabdi selama dua
tahun di perusahaan lebih dulu.
26. Entahlah. Yang pasti, itulah awal saya
mengalami “kecelakaan yang membawa nikmat” menjadi calon seorang guru.
27. Setelah gagal masuk ITS, saya menjadi
mahasiswa PGSLP YD (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama Yang
Disempurnakan) yang diselenggarakan oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan) Negeri Surabaya di kampus Ketintang, Surabaya.
28. PGSLP YD adalah sebuah program darurat
untuk memenuhi kebutuhan guru di Indonesia. Bahkan dalam perjanjian tertulis
yang saya tanda tangani. Setelah lulus kelak, harus bersedia menjadi guru di
seluruh Indonesia atau negara lain yang ditunjuk pemerintah.
GURU PEMULA
29. Pada 1 Februari 1978, Alhamdulillah saya
lulus dari PGSLP YD Jurusan Keterampilan Elektronika.
30. Sejak 1 Maret 1978 saya resmi menjadi
calon guru PNS di SMP Negeri 1 Sidoarjo.
31. Saya amat bersyukur ditempatkan di daerah
asal, sedangkan banyak teman saya ditempatkan di luar Jawa. Misalnya, di Pulau
Kalimantan dan Madura.
32. Barangkali, salah satu kriteria
menentukan lokasi menempatan adalah hasil nilai selama kuliah. Nilai saya termasuk
bagus. Maka saya ditugaskan di sekolah terbaik di Sidoarjo. Alhamdulillah.
33. Sebagai calon guru PNS golongan II/a,
menerima 80 persen dari gaji pokok sebesar Rp16.960,00.
34. Saya menerima gaji pertama saya dengan
gembira. Belum memiliki sepeda motor.
35. Setiap hari sekolah, berangkat dan pulang
sekolah naik kendaran umum. Sering juga dibonceng sepeda motor bersama orang
yang searah dengan saya.
36. Sekarang, saya merasa kehilangan. Pemuda
berbadan kekar. Dia, seorang sopir perusahaan. Setiap pagi lewat di depan
rumah. Dia naik sepeda motor butut.
37. Tidak memakai jaket. Juga, tanpa helm.
Menuju ke tempat kerjanya. Setiap pagi berangkat kerja, dia acap kali mengajak
saya bersama.
38. Saya membonceng ke Sidoarjo. Saya ikut
“nebeng”. Naik sepeda motor “gundul”. Bisa pula disebut sepeda motor “miskin”.
Tidak punya apa-apa. Hanya mampu “gelundung” saja.
39. Kasihan. Namun, anehnya, meskipun
“miskin”, tapi sangat berjasa. Terutama kepada saya.
40. Sayangnya, saya tidak tahu tempat
tinggalnya. Sudah puluhan tahun, saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
41. Semoga Allah yang Mahakuasa membalas
semua kebaikannya. Amin.
42. Dengan penampilan anak muda 21 tahun,
maaf, agak berambut gondrong. Rambut sedikit “gimbal”.
43. Banyak teman sekolah yang tidak
menyangka, saya telah menjadi seorang pendidik.
44. Memang, seorang guru seharusnya bisa
“digugu” dan “ditiru”. Artinya, seorang guru sepatutnya mampu menjadi panutan
dan teladan.
45. Sebagai guru pemula, saya menjadi asisten
Pak Bin Anwar. Beliau guru agama Islam yang pintar servis elektronika. Misalnya,
servis radio dan televisi.
46. Beberapa teman guru menggoda saya, “Pak Yusron
adalah guru yang aneh, sebab menjadi guru yang berhubungan dengan listrik,
tetapi rumah pak guru sendiri belum ada listriknya,” kata mereka.
47. Saya tertawa, mendengarkan gurauan
mereka. Mungkin mereka menganggap saya belum cukup ilmu untuk menjadi guru.
48. Guyonan teman guru ada benarnya. Kegiatan
perkuliahan PGSLP YD dilaksanakan sekitar delapan bulan. Dengan memperoleh
beasiswa dari pemerintah dihitung selama setahun.
49. Setelah lulus, langsung ditugaskan
sebagai guru SMP. Padahal, dengan kuliah yang relatif singkat.
50. Tentu saja, bekal ilmunya belum mumpuni.
Saya berusaha mengatasi kekurangan tersebut.
51. Mulai saat itu, saya sering mengunjungi
Pasar Genteng, Surabaya untuk belajar lebih banyak dan mendalam tentang Teknik
Elektronika.
PENYANYI KAMAR MANDI
52. Kami para guru muda. Sering tidur di
sanggar sekolah. Ruangan tidak terpakai disulap menjadi ruang tidur.
53. Saya dengan Pak Andi guru kesenian dan
Pak Putut guru bahasa Indonesia adalah penghuni tetap. Sedangkan beberapa guru
lain, biasanya ikut menimbrung.
54. Melihat dan mendengarkan Pak Andi
memainkan gitar sambil bernyanyi. Hampir setiap hari. Saya terpengaruh kena
“virus”nya.
55. Tidak terasa, saya dan Pak Putut tertular ikut
belajar bermain gitar. Juga belajar alat musik lainnya. Misalnya, piano dan
drum.
56. Kami memperoleh julukan sebagai “Penyanyi
Kamar Mandi” dan “Artis Sanggar”.
57. “Pindah kripnya besok saja!” teriak Pak
Andi. Ketika kami memainkan sebuah lagu, tetapi tangan saya terlambat
memindahkan krip (accord) gitar dari posisi C ke Am misalnya. Kami tertawa
bersama mendengar “ejekan” tersebut.
JAGO KANDANG BADMINTON
58. Pada kesempatan lain. Saya berhasil
“membalas dendam”. Mempermalukan Pak Andi.
59. Pada sore hari yang cerah. Kami bermain
badminton. Setelah saya mengalahkan Pak Putut. Saya bertanding single dengan
Pak Andi. Yang amat mahir bermain gitar, tetapi “kedodoran” ketika memegang
raket badminton.
60. Pertandingan belum berakhir, Pak Andi
sudah menyerah kalah. Pak Andi mengaku “keok”. “Gak badminton, gak patheen,”
kata Pak Andi.
61. Sambil meletakkan raket dan “ngeloyor”
meninggalkan lapangan. Sungguh, kenangan yang lucu dan menggemaskan.
KHATIB SALAT JUMAT PEMULA
62. “Pak Yusron bukan akar, tapi rotan,” kata
Pak Subron, guru pelajaran agama Islam. Memberikan semangat kepada saya, agar
mau belajar menjadi khatib salat Jumat. Menjadi juru khotbah.
63. Ketika itu, saya dipaksa menjadi khatib
salat Jumat di masjid sekolah. Saya guru keterampilan. Bukan guru pelajaran
agama Islam. Saya beralasan, “Tidak ada rotan, akar pun jadi.” Karena dipaksa,
lalu terpaksa.
64. Akhirnya, sekarang terbiasa menjadi
khatib dan imam salat Jumat di masjid sekolah. Alhamdulillah.
JUARA CATUR LOKAL
65. Ketika itu, dalam kurikulum, muncul mata
pelajaran Keterampilan Bebas. Siswa boleh memilih sesuai bakat dan minatnya.
Misalnya: memasak, seni tari, bola voli, badminton, sepak bola, catur. Atau
lainnya sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah.
66. Sebagai guru keterampilan, tentu saja,
saya mendapat giliran untuk mengampunya.
67. Saya mendapatkan tugas memberikan
pelajaran bermain catur kepada siswa. Beberapa buku teori bermain catur dan
buku pertandingan antarmaster catur tingkat dunia, sudah saya miliki.
68. Beberapa guru senior, misalnya Pak Bin
Anwar, Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono sering penasaran dengan saya.
Penyebabnya: mereka belum bisa mengalahkan saya dalam bermain catur.
69. Di rumah, saya kerap bermain catur dengan
ayah dan tiga saudara laki saya. Ayah saya, H.M.Tauchid Ismail, ketua takmir
masjid Panjunan, Sukodono, Sidoarjo.
70. Zaman itu, pengurus masjid menyiapkan
beberapa papan catur dan papan lapangan tenis meja di teras masjid. Agar para
pemuda betah berada di masjid. Terutama ketika bulan puasa. Lingkungan tersebut
memengaruhi saya.
71. Sejak kecil, saya sudah sering bermain
catur. Saya pernah menyabet juara lomba catur tingkat kecamatan Sukodono.
72. Jadi, mengajarkan teori bermain catur dan
praktik bertanding catur melawan murid merupakan hal yang sudah biasa.
SEKOLAH KERAJAAN
73. “Inilah bapak guru dari sekolah
kerajaan,” ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo. Mereka menilai Kepala SMP
Negeri 1 Sidoarjo, kala itu, Pak Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras
dan tegas dalam menegakkan disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai.
74. Memang, masa itu, SMP Negeri 1 Sidoarjo
terkenal sebagai sekolah yang amat disiplin. Sehingga dijuluki “Sekolah
Kerajaan”.
75. “Apakah dia seorang guru?” tegur Pak
Tony. Sambil menuding dengan jempol jari tangan kanan ke arah siswa di depan
saya. Ketika itu saya, seorang guru muda, sedang berbicara dengan siswa di luar
kelas pada jam istirahat.
76. Pak Tony menginginkan tetap ada “jarak”
antara guru dengan siswa. Juga, harus terjaga semacam “kasta” antara guru
senior dan pemula.
GURU TERBANG
77. Setelah berjalan beberapa waktu. Saya
ditugaskan menjadi “guru terbang”. Mengapa? Karena saya harus bergerak dari
satu sekolah ke sekolah lain.
78. Misalnya, Senin bertugas di SMP Negeri 1
Sidoarjo. Selasa mengajar di SMP Negeri Juanda (sekarang SMP Negeri 1 Sedati).
Rabu berada di SMP Negeri 1 Candi.
79. Begitu selanjutnya, diatur sesuai dengan
jadwal jam mengajar. Semua sekolah tersebut adalah filial atau cabang dari SMP
Negeri 1 Sidoarjo.
80. Khusus ke SMP Negeri Juanda, disediakan
bis dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut).
81. Semboyan TNI AL “Jalesveva Jayamahe”.
Yang bermakna Di Lautan Kita Jaya. Tiap hari kerja, pukul lima pagi, bis sudah
siap di depan gedung SMP Negeri 1 Sidoarjo.
82. Hanya kendaraan TNI AL yang boleh masuk
kompleks Juanda. Naik bis bersama tentara dan mengajar di Kompleks SMP Negeri
Juanda berpengaruh positif.
83. Sikap disiplin dan saling hormat dengan
mengangkat tangan kanan ketika bertemu, menjadi pemandangan harian.
PERTAMA KALI NAIK PESAWAT UDARA
84. Anak desa naik pesawat udara, karena
guru. Benar! Saya pertama kali naik pesawat terbang, karena berstatus guru di
SMP Negeri Juanda.
85. Waktu itu, sekitar tahun 1980-an ada
murid putera tentara menawarkan naik pesawat terbang gratis. Saat itu,
peringatan Hari Armada. Ada pilot yang ingin menambah jam terbang. Tentu saja,
tawaran itu kami terima dengan gembira.
86. Duduk di dalam pesawat terbang menghadap
ke samping. Bukan ke depan atau ke belakang.
87. Terjadilah pengalaman luar biasa. Anak
desa terbang pertama kali. Pesawat kecil berisi empat orang, termasuk pilot dan
copilot. Selama sekitar satu jam kami berputar di sekitar langit Juanda.
88. Pertama kali berada di udara. Saya
berusaha melihat pemandangan ke arah bawah. Lewat jendela kecil.
89. Saya mencari desa dan atap rumah saya
dari udara. Menikmati pemandangan sekitar.
90. Pemandangan yang menakjubkan. Selama di
udara, bergejolak perasaan gembira dan takut sekaligus. Alhamdulillah, akhirnya
pesawat dapat mendarat dengan mulus. Semua gembira. Apalagi saya.
MENJADI KOMANDAN UPACARA
91. Bertugas puluhan tahun. Menghadapi aneka
model dan gaya murid, guru, dan pegawai. Dengan karakter dan perilaku yang
beragam. Membuat saya memperoleh banyak pengalaman.
92. Suka dan duka. Berpindah tempat tugas:
pembagian guru ke SMP Negeri Juanda, sejak 1 Desember 1981. Mendekati tempat
tinggal, mulai 1 Agustus 1986 mutasi ke SMP Negeri 1 Sukodono.
93. Suatu saat, saya bertanya bagaimana cara
seorang penari mampu diam. Tidak bergerak selama beberapa menit.
“Gerak-gerakkan anggota tubuh yang tertutup, misalnya jempol dan jari kaki,
agar peredaran darah tetap lancar,” jawab seorang guru seni tari.
94. Saya mencoba menerapkan ilmu tersebut,
ketika menjadi komandan upacara. Waktu itu, SMP Negeri 1 Sukodono mendapatkan
giliran menjadi komandan upacara 17 Agustus, tingkat kecamatan. Tidak ada guru
yang bersedia, termasuk guru olah raga.
95. Akhirnya, saya mengajukan diri. Menjadi
komandan upacara. Di lapangan kecamatan Sukodono. Pak Camat sebagai inspektur
upacara. Dengan pengalaman sebagai Pembina Mahir Pramuka. Saya berhasil
melaksanakan tugas dengan baik. Alhamdulillah.
GURU SELEBRITI
96. Mendapatkan tugas baru. Sebagai guru
dengan tugas tambahan kepala SMP Negeri 3 Porong, terhitung 5 Maret 2002.
Ditugaskan di SMP Negeri 1 Jabon, sejak 17 Februari 2004.
97. Pindah tugas ke SMP Negeri 2 Buduran,
sejak 3 April 2007. Mulai 15 Januari 2014 mutasi ke SMP Negeri 1 Balongbendo,
sampai sekarang. Sungguh, cakupan wilayah tempat tugas yang relatif luas.
98. Saya tetap masuk kelas. Bertatap muka
langsung dengan siswa. Sesuai dengan kewajiban guru yang mendapat tugas
tambahan sebagai kepala sekolah.
99. Mengampu mata pelajaran matematika. Di
semua sekolah tempat bertugas. Suasana berinteraksi dengan murid, tidak
tergantikan. Sangat menggembirakan sekaligus menggemaskan.
100.
Kwangsan adalah nama sebuah desa di kecamatan
Sedati, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Balai desa Kwangsan berhadapan dengan
gedung BPMTV (Balai Pengembangan Media Televisi Pendidikan) yang dikelola
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya terpisah sebuah jalan desa.
101.
Sirojudin, nama kepala desa Kwangsan saat ini.
Perangkat desa dan beberapa ibu sedang berkumpul di balai desa.
102.
Para ibu menunggu putra-putrinya yang belajar
di TK (Taman Kanak-Kanak) Dharma wanita. Gedung TK berada di samping balai
desa.
103.
Saya mampir ke balai desa, sewaktu mengikuti
Workshop Penulisan Kreatif di BPMTV. “Pak Yusron ini adalah guru saya waktu
SMP,” kata Sirojudin. “Apakah benar Pak, kok kelihatan lebih tua muridnya
dibandingkan dengan gurunya?” kata seorang perangkat desa.
104.
Saya mengangguk. Ibu-ibu tersenyum. Saya juga.
Saat itu, saya merasa sebagai guru selebriti. 












0 comments:
Post a Comment