KENAPA
TERDAKWA MENDADAK PAKAI BUSANA AGAMIS
Oleh:
Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Cara
pakaian.
Bisa mempengaruhi
persepsi orang yang melihatnya.
Pakaian punya
kekuatan.
Memengaruhi
persepsi orang yang memandangnya.
Istilah:
“Jangan menilai buku dari sampulnya”.
Tak
berlaku untuk psikologi pakaian.
Cara mudah
menilai orang.
Yaitu dari busananya.
Bahkan
profesi dan jabatan tertentu.
Sengaja
menyematkan pakaian khusus.
Sebagai tanda
identitasnya.
Contohnya.
Aparat
penegak hukum.
Cenderung seragam
warna gelap, yaitu:
1.
Hitam.
2.
Cokelat.
3.
Hijau.
Karena warna
itu punya karakter kuat.
Leonard
Bickman.
Peneliti Amerika
menguji asumsi.
Soal patuh
dan rasa hormat.
Kepada
petugas berseragam.
Dalam masyarakat.
“Secara
psikologis.
Seragam memengaruhi
persepsi orang.
Masyarakat
memandang orang berseragam sangat berbeda,” tulis Bickman.
Dalam
laporan “The Social Power of a Uniform” yang dimuat Journal of Applied Social
Psychology (1974).
Bickman
membuat 3 model busana untuk diamati, yaitu:
1.
Busana
kasual.
Representasi
warga sipil.
2.
Busana pekerja.
Seperti
tukang susu.
3.
Baju
seragam abu-abu.
Seperti
polisi.
Ketiga
model diminta memberi perintah kepada sampel acak, untuk:
1.
Memungut
kertas.
2.
Berderma
kepada orang tak dikenal.
3.
Menjauh
dari halte.
Secara
umum.
Orang lebih
patuh pada perintah.
Dari model
berseragam mirip polisi.
Daripada warga
sipil.
Atau
tukang susu.
Studi itu menguatkan
asumsi.
Bahwa
pakaian punya dampak kuat.
Pada
persepsi orang.
Pakaian ikut
melambangkan otoritas, misalnya:
1.
Orang berseragam
aparat.
2.
Para
dokter dengan jas putih.
3.
Para hakim
dengan jubah hitam.
Dipandang
berperilaku tertentu.
Dengan
asumsi punya status pendidikan, ekonomi, dan status sosial berbeda.
Juga pakaian
seksi atau tertutup.
“Wanita pakaian
seksi punya stigma lebih ‘nakal’.
Daripada yang
berpakaian tertutup,” tulis Kim Johnson.
Dalam
studi “Dress, body and self: research in the social psychology of dress” (2014,
PDF).
Bagaimana psikologi
pakaian.
Pada
kondisi kontradiktif?
Misalnya, terdakwa
kejahatan.
Mendadak
“tobat”.
Dengan memakai
atribut agama.
Saat sidang.
Padahal
sebelumnya.
Mereka tak
pernah memakai atribut itu.
Saat sidang.
Tiba-tiba mereka
berubah jadi “alim”.
Dengan mengenakan
atribut, seperti:
1.
Kopiah.
2.
Jilbab.
3.
Cadar.
Mungkin dengan
membangun citra baru.
Dengan ganti
busana saat sidang.
Terdakwa bisa
mengelabui public.
Atas
kejahatannya.
Minimal menghadirkan
citra baru.
Sebagai manusia
berbenah diri.
Setelah
mendapat “cobaan” dari Tuhan.
Dengan memakai
busana agamis.
Biasanya warna
putih atau terang.
Mereka ingin
terlihat berubah sikap.
Menjadi lebih baik.
Hampir
semua kebudayaan.
Warna
terang menggambarkan kebaikan.
Dan
kelemahan.
Pada
berbagai tes.
Warna terang
memberi kesan:
1.
Positif.
2.
Menyenangkan.
3.
Kurang
dominan.
Dalam studi
“The Effects of Color on the Moods of College Students” (2014, PDF).
Para mahasiswa
diberi pertanyaan.
Persepsi
terhadap warna.
Hasilnya, warna
terang.
Mendapat
persepsi lebih positif.
Dibanding
warna gelap.
Warna persepsi
negatif, yaitu:
1.
Coklat (26
persen).
2.
Oranye (21
persen).
3.
Abu-abu
(13 persen).
Tanggapan
positif, yaitu warna:
1.
Biru muda
(28 persen).
2.
Hijau (19
persen).
3.
Kuning (17
persen).
(Sumber detik)
0 comments:
Post a Comment