GURU SELEBRITI YANG
MENGGEMASKAN (2)
Oleh :
Drs H. M. Yusron Hadi, MM.
KECELAKAAN YANG MEMBAWA NIKMAT
Bagaimana riwayat saya, yang lulusan STM
Teknik Mesin bisa menjadi seorang guru?
Kisahnya, dimulai ketika saya
lulus STM tahun 1976.
Saya mendaftar masuk ke ITS (Institut
Teknologi Sepuluh November Surabaya).
Dengan sepeda motor.
Beberapa kali saya membonceng ayah dari
desa Panjunan, Sukodono, Sidoarjo mengunjungi tempat pendaftaran masuk ITS Surabaya.
Untuk mencatat dan melengkapi
syarat pendaftaran.
Setelah sekian hari mengikuti bimbingan
masuk ke ITS oleh para tentor.
Tiba saatnya mengikuti tes
masuk ITS.
Hasilnya?
Ternyata dalam pengumuman penerimaan
mahasiswa baru, nama saya tidak muncul.
Kecewa?
Tentu saja, saya kecewa.
Saya batal menjadi “tukang”
insinyur.
Saya gagal masuk ITS karena nilainya
tidak mencukupi.
Atau sebab ada aturan lulusan
STM harus mengabdi selama 2 tahun di perusahaan lebih dulu.
Entahlah.
Yang pasti, itulah awal saya
mengalami “kecelakaan yang membawa nikmat” menjadi calon seorang guru.
Setelah gagal masuk ITS, saya menjadi
mahasiswa PGSLP YD (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama Yang
Disempurnakan).
Yang diselenggarakan oleh IKIP
(Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri Surabaya di kampus Ketintang,
Surabaya.
PGSLP YD adalah sebuah program darurat
untuk memenuhi kebutuhan guru di Indonesia.
Bahkan dalam perjanjian
tertulis yang saya tanda tangani.
Setelah lulus kelak, harus bersedia
menjadi guru di seluruh Indonesia.
Atau negara lain yang ditunjuk
Pemerintah.
GURU PEMULA
Pada 1 Februari 1978, Alhamdulillah saya
lulus dari PGSLP YD Jurusan Keterampilan Elektronika.
Sejak 1 Maret 1978 saya resmi
menjadi calon guru PNS di SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Saya sangat bersyukur ditempatkan di
daerah asal.
Sedangkan banyak teman saya
ditempatkan di luar Jawa.
Misalnya, di Pulau Kalimantan dan Madura.
Barangkali, salah satu
kriteria menentukan lokasi menempatan adalah hasil nilai selama kuliah.
Nilai saya termasuk bagus.
Maka saya ditugaskan di
sekolah terbaik di Sidoarjo.
Alhamdulillah.
Sebagai calon guru PNS
golongan II/a, menerima 80 persen dari gaji pokok sebesar Rp16.960,00.
Saya menerima gaji pertama saya dengan
gembira.
Belum memiliki sepeda motor.
Setiap hari sekolah, berangkat dan
pulang sekolah naik kendaran umum.
Sering juga dibonceng sepeda
motor bersama orang yang searah dengan saya.
Sekarang, saya merasa kehilangan.
Pemuda berbadan kekar.
Dia, seorang sopir perusahaan.
Setiap pagi lewat di depan rumah.
Dia naik sepeda motor butut.
Menuju ke tempat kerjanya.
Setiap pagi berangkat kerja,
dia acap kali mengajak saya bersama.
Saya membonceng ke Sidoarjo.
Naik sepeda motor “gundul”.
Sayangnya, saya tidak tahu tempat
tinggalnya.
Sudah puluhan tahun, saya
tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
Semoga Allah yang Maha Kuasa membalas
semua kebaikannya.
Amin.
Dengan penampilan anak muda 21 tahun.
Maaf, agak berambut gondrong.
Banyak teman sekolah yang tidak
menyangka, saya telah menjadi seorang pendidik.
Memang, seorang guru
seharusnya bisa “digugu” dan “ditiru”.
Artinya, seorang guru sepatutnya mampu
menjadi panutan dan teladan.
Sebagai guru pemula, saya
menjadi asisten Pak Bin Anwar.
Beliau guru agama Islam yang pintar
servis elektronika.
Misalnya, servis radio dan
televisi.
Beberapa teman guru menggoda saya,
“Pak Yusron adalah guru yang
aneh.
Sebab menjadi guru yang berhubungan
dengan listrik.
Tetapi rumahnya pak guru sendiri belum
ada listriknya,” kata mereka.
Saya tertawa, mendengarkan gurauan mereka.
Mungkin mereka menganggap saya
belum cukup ilmu untuk menjadi guru.
Guyonan teman guru ada benarnya.
Kegiatan perkuliahan PGSLP YD
dilaksanakan sekitar 8 bulan.
Dengan memperoleh beasiswa dari
pemerintah dihitung selama 1 tahun.
Setelah lulus, langsung
ditugaskan sebagai guru SMP.
Padahal, dengan kuliah yang relatif
singkat.
Tentu saja, bekal ilmunya
belum mumpuni.
Saya berusaha mengatasi kekurangan
tersebut.
Mulai saat itu, saya sering
mengunjungi Pasar Genteng, Surabaya.
Untuk belajar lebih banyak dan mendalam
tentang Teknik Elektronika.
PENYANYI KAMAR MANDI
Kami para guru muda.
Sering tidur di sanggar
sekolah.
Ruangan tidak terpakai disulap menjadi ruang
tidur.
Saya dengan Pak Andi Rani, guru
kesenian dan Pak Putut Siswoyo guru, bahasa Indonesia adalah penghuni tetap.
Sedangkan beberapa guru lain, biasanya
ikut menimbrung.
Melihat dan mendengarkan Pak
Andi memainkan gitar sambil bernyanyi.
Hampir setiap hari.
Saya terpengaruh kena
“virus”nya.
Tidak terasa, saya dan Pak Putut tertular ikut
belajar bermain gitar.
Juga belajar alat musik
lainnya.
Misalnya, piano dan drum.
Kami memperoleh julukan
sebagai “Penyanyi Kamar Mandi” dan “Artis Sanggar”.
“Pindah kripnya besok saja!” teriak Pak
Andi.
Ketika kami memainkan sebuah
lagu.
Tetapi
tangan saya terlambat memindahkan krip (accord) gitar dari posisi C ke G
misalnya.
Kami tertawa bersama mendengar
“ejekan” tersebut.
JAGO KANDANG BADMINTON
Pada kesempatan lain.
Saya berhasil “membalas
dendam”.
Mempermalukan Pak Andi.
Pada sore hari yang cerah.
Kami bermain badminton.
Setelah saya mengalahkan Pak
Putut.
Saya bertanding single dengan Pak Andi.
Yang amat mahir bermain gitar,
tetapi “kedodoran” ketika memegang raket badminton.
Pertandingan belum berakhir, Pak Andi sudah
menyerah.
“Gak badminton, gak patheen,”
kata Pak Andi.
Sambil meletakkan raket dan “ngeloyor”
meninggalkan lapangan.
Sungguh, kenangan lucu dan
menggemaskan.
(Bersambung…)
0 comments:
Post a Comment