GURU SELEBRITI YANG
MENGGEMASKAN (3)
Oleh :
Drs H. M. Yusron Hadi, MM.
KHATIB SALAT JUMAT PEMULA
“Pak Yusron bukan akar, tapi rotan,”
kata Pak Subron, guru pelajaran agama Islam.
Memberikan semangat kepada saya, agar mau
belajar menjadi khatib salat Jumat.
Ketika itu, saya dipaksa menjadi khatib
salat Jumat di masjid sekolah.
Saya guru keterampilan.
Bukan guru pelajaran agama Islam.
Saya beralasan, “Tidak ada
rotan, akar pun jadi.”
Karena dipaksa, lalu terpaksa.
Akhirnya, sekarang terbiasa
menjadi khatib dan imam salat Jumat di masjid sekolah.
Alhamdulillah.
JUARA CATUR LOKAL
Ketika itu, dalam kurikulum, muncul mata
pelajaran Keterampilan Bebas.
Siswa boleh memilih sesuai
bakat dan minatnya.
Misalnya: memasak, seni tari, bola voli,
badminton, sepak bola, catur.
Atau lainnya sesuai dengan
kondisi dan kemampuan sekolah.
Sebagai guru keterampilan, tentu saja,
saya mendapat giliran untuk mengampunya.
Saya mendapat tugas memberikan
pelajaran bermain catur kepada siswa.
Beberapa buku teori bermain catur dan
buku pertandingan antarmaster catur tingkat dunia, sudah saya miliki.
Beberapa guru senior, misalnya
Pak Bin Anwar, Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono sering penasaran dengan
saya.
Penyebabnya: mereka belum bisa
mengalahkan saya dalam bermain catur.
Di rumah, saya kerap bermain
catur dengan ayah dan 3 saudara laki saya.
Ayah saya, H.M.Tauchid Ismail, ketua
takmir masjid Panjunan, Sukodono, Sidoarjo.
Zaman itu, pengurus masjid
menyiapkan beberapa papan catur dan papan lapangan tenis meja di teras masjid.
Agar para pemuda betah berada di masjid.
Terutama ketika bulan puasa.
Lingkungan tersebut memengaruhi saya.
Sejak kecil, saya sudah sering
bermain catur.
Saya pernah menyabet juara lomba catur
tingkat kecamatan Sukodono.
Jadi, mengajarkan teori
bermain catur dan praktik bertanding catur melawan murid hal yang sudah biasa.
SEKOLAH KERAJAAN
“Inilah bapak guru dari sekolah
kerajaan,” ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo.
Mereka menilai kepala SMP
Negeri 1 Sidoarjo, kala itu, Pak Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras
dan tegas dalam menegakkan disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai.
Memang, masa itu, SMP Negeri 1 Sidoarjo
terkenal sebagai sekolah yang amat disiplin.
Sehingga dijuluki “Sekolah Kerajaan”.
“Apakah dia seorang guru?” tegur Pak
Tony.
Sambil menuding dengan jempol
jari tangan kanan ke arah siswa di depan saya.
Ketika itu saya, seorang guru muda, sedang berbicara dengan siswa di luar kelas
pada jam istirahat.
Pak Tony menginginkan tetap
ada “jarak” antara guru dengan siswa.
Juga, harus terjaga semacam “kasta” antara
guru senior dan pemula.
GURU TERBANG
Setelah berjalan beberapa waktu.
Saya ditugaskan menjadi “guru terbang.”
Mengapa?
Karena saya harus bergerak
dari satu sekolah ke sekolah lain.
Misalnya, Senin bertugas di SMP Negeri 1
Sidoarjo.
Selasa mengajar di SMP Negeri
Juanda (sekarang SMP Negeri 1 Sedati).
Rabu berada di SMP Negeri 1 Candi.
Begitu selanjutnya, diatur
sesuai dengan jadwal jam mengajar.
Semua sekolah tersebut adalah filial
atau cabang dari SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Khusus ke SMP Negeri Juanda, disediakan bis
dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut).
Tiap hari kerja, pukul 05.00 pagi, bis
sudah siap di depan SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Hanya kendaraan TNI AL yang
boleh masuk kompleks Juanda.
Naik bis bersama tentara dan mengajar di
Kompleks SMP Negeri Juanda berpengaruh positif.
Sikap disiplin dan saling
hormat ketika bertemu, menjadi pemandangan harian.
PERTAMA KALI NAIK PESAWAT
UDARA
Anak desa naik pesawat udara, karena
guru.
Benar! Saya pertama kali naik
pesawat terbang, karena berstatus guru di SMP Negeri Juanda.
Waktu itu, sekitar tahun 1980-an.
Ada murid putera tentara menawarkan naik
pesawat terbang gratis.
Saat itu, peringatan Hari Armada.
Ada pilot yang ingin menambah jam
terbang.
Tentu saja, tawaran itu kami
terima dengan gembira.
Saya dan Pak Joko ikut terbang.
Duduk di dalam pesawat terbang
menghadap ke samping.
Bukan ke depan atau ke
belakang.
Terjadilah pengalaman luar biasa.
Anak desa terbang pertama kali.
Pesawat kecil berisi 4 orang, termasuk pilot dan copilot.
Selama sekitar 1 jam kami berputar-putar di sekitar langit Juanda.
Pertama kali berada di udara.
Saya berusaha melihat pemandangan ke
arah bawah.
Lewat jendela kecil.
Saya mencari desa dan atap rumah saya
dari udara.
Menikmati pemandangan sekitar.
Pemandangan yang menakjubkan.
Selama di udara, bergejolak perasaan gembira
dan takut sekaligus.
Alhamdulillah, akhirnya
pesawat dapat mendarat dengan mulus.
Semua gembira.
Apalagi saya.
(Bersambung…)
0 comments:
Post a Comment