AYAH IMAM HANAFI MENIKAHI
GADIS BUTA TULI BISU LUMPUH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Pada suatu hari, pemuda Tsabit bin Nukman berjalan di tepi Kota
Kufah, Irak.
Ada sungai yang airnya jernih dan menyejukkan di sana.
Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu.
Dalam kondisi lapar, Tsabit bin Nukman memungut apel itu.
Rezeki datang tiba-tiba, sebuah apel datang pada saat tepat.
Tanpa pikir panjang, ia pun memakannya, mengisi perutnya yang
keroncongan.
Baru segigit menikmati apel merah nan manis itu, Tsabit
tersentak.
“Milik siapa apel ini?” bisiknya dalam hati.
Meski menemukannya di jalanan, Tsabit merasa bersalah makan apel
tanpa izin yang punya.
Bagaimanapun, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam
seseorang.
”Bagaimana bisa aku makan sesuatu yang bukan milikku,” kata
Tsabit menyesal.
Ia pun menyusuri sungai.
Dari manakah aliran air membawa apel segar itu?
Tsabit ingin bertemu dengan pemilik buah dan minta kerelaannya
atas apel yang sudah digigitnya itu.
Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia melihat
sebuah kebun apel.
Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai.
Rantingnya menjalar dekat sungai.
Tak mengherankan buahnya jatuh
ke sungai hanyut terbawa arus air.
Tsabit segera mencari pemilik kebun.
Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun apel itu.
Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah
apel ini berjenis sama dengan apel di kebun ini?
Saya sudah mengigit apel ini, apa kau memaafkan saya?” kata
Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan segigit itu.
Tapi penjaga kebun itu menjawab,
“Saya bukan pemilik kebun apel ini.
Bagaimana saya dapat memaafkanmu, sedangkan saya bukan
pemiliknya?
Pemilik kebun yang berhak memaafkanmu.”
Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya pemilik kebun
apel cukup jauh, sekitar 8 km dari sini.”
Tsabit tak putus asa mencari keridaan pemilik apel.
Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah,
apakah si pemilik kebun akan memaafkannya.
Tsabit merasa takut sang
pemilik tak meridai apelnya yang telah jatuh ke sungai dan digigit olehnya.
Mengetuk pintu, Tsabit mengucapkan salam.
Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka pintu.
“Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena menemukan sebuah
apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya.
Saya datang untuk minta kerelaan Anda atas apel ini.
Apakah Anda meridainya?
Saya telah mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit
memegang apel yang digigitnya.
Agak lama pemilik kebun apel terdiam mendengar ucapan Tsabit.
Lalu, Tsabit pun tersentak ketika sang tuan rumah berkata,
“Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak.”
Penasaran dengan pemilik kebun apel yang memasalahkan satu butir
apel.
Tsabit menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu
dimaafkan.
“Saya tidak memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi
persyaratanku,” ujar pria tua itu.
“Persyaratan apa itu?” tanya Tsabit cemas.
“Kamu harus menikahi putriku,” kata pemilik kebun yang
mengagetkan Tsabit.
Menikahi seorang wanita bukan sebuah hukuman, pikir Tsabit.
“Benarkah itu yang menjadi syarat Anda?
Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri Anda?
Itu anugerah yang besar,” tanya Tsabit tak percaya.
Begitu terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun berkata putrinya
yang harus dinikahinya wanita cacat.
“Putriku itu buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Tak mampu berjalan, apalagi berdiri.
Kalau kau menerimanya maka saya akan memaafkanmu, Nak,”
kata pria tua.
Syarat tidak masuk akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit
hanya karena mengigit sebutir apel yang temukan di sungai.
Tapi yang lebih mengejutkan, Tsabit menerima syarat itu karena
merasa tak punya pilihan lain.
Da tak ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya.
Tsabit, seorang pemuda tampan, harus menikahi wanita cacat hanya
karena menemukan sebuah apel.
“Datanglah setelah Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata
pemilik kebun.
Malam hari usai salat Isya, Tsabit menemui calon istrinya yang
cacat.
Ia masuk kamar pengantin wanita dengan langkah berat.
Hatinya dipenuhi pergolakan luar biasa, tapi pemuda gagah itu
tetap bertekad memenuhi syarat pemilik apel.
Tsabit mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.
Betapa terkejutnya Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari
wanita yang suaranya lembut nan merdu.
Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit.
Begitu cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun dan anggota
tubuhnya lengkap.
Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar.
Dan salah menemui wanita yang seharusnya istrinya buta, tuli,
bisu, dan lumpuh.
Tak percaya, Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari itu.
Tapi, Tsabit tidak salah, ialah putri pemilik kebun apel yang
dinikahkan dengannya.
“Apa yang dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis kepada
suaminya seolah tak percaya.
“Ayahmu berkata kau adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.
“Demi Allah, ayahku berkata jujur, aku buta karena aku tidak
pernah melihat sesuatu yang dimurkai Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit
kagum.
“Ayahmu juga berkata bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam
nada heran.
“Ya benar, aku tidak pernah mengucapkan satu kalimat pun yang
membuat Allah murka,” kata si gadis.
“Tapi, Ayahmu mengatakan, kamu tuli,” lanjut Tsabit.
“Ayahku benar, demi Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, selain terdapat
rida Allah,” jawab gadis cantik itu.
“Tapi, ayahmu juga bilang bahwa kau lumpuh,” pertanyaan terakhir
Tsabit.
“Ya, ayah benar dan tidak berdusta. Aku tidak pernah
melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah murkai,” ujar si gadis membuat Tsabit
begitu terpesona.
Tsabit memandangi istrinya yang cantik jelita itu.
Ia pun mengucapkan syukur.
Sang pemilik kebun kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam
makan sesuatu hingga jelas kehalalannya.
Melihat kegigihan dan
kesalehan Tsabit, ia ingin menjadikannya menantu, menikahkan dengan putrinya
yang salihah.
Dari pernikahan itu, lahir seorang ulama salih, mujadid sangat
terkenal, yakni Nukman bin Tsabit.
Yang lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah.
Bersama istrinya yang salihah, Tsabit mendidik putranya menjadi
salah satu imam besar dari empat madzab.
Mazhab Hanafi satu dari empat mazhab paling banyak dianut Muslim
Suni di dunia.
Mazhab Hanafi dianut Dinasti Abbasiyah, Turki Usmani, dan Kaisar Mughal di India.
Mazhab Hanafi banyak dianut di Turki, Afganistan, India,
Pakistan, Bangladesh, Suriah, Lebanon, Turki, Iran, Irak, dan Palestina.
Daftar Pustaka
1. Aziz Asy-Syinawi, Abdul. Biografi Empat lmam Mazhab. Penerbit
Beirut Publisihing, Jakarta. 2016.














