ETIKA MENUJU 2024
Mayjen TNI Kunto Arief Wibowo
MENJELANG tahun 2024, sebagai tahun politik
Indonesia, gegap gempitanya sudah mulai terasa sekarang.
Komunikasi politik sudah berlangsung, tidak
hanya di level kelompok yang akan bertarung, tapi merembet juga ke masyarakat.
Kencangnya suhu yang dibangun serta kuatnya
terpaan media menjadikan komunikasi politik begitu dinamis, fluktuatif,
sekaligus sarat muatan provokatif.
Andai dinamika terus dibiarkan dan provokasi
bebas berkembang, jadi ancaman pertahanan keamanan kita. Ini perlu diwaspadai.
Sejatinya, berpolitik itu bukan asal bicara,
karena di sana ada suara yang mesti dipertanggungjawabkan.
Namun, politik memang menyangkut suara orang
yang mesti dibicarakan.
Artinya, politik adalah komunikasi di mana
semua orang terlibat dalam proses sosial untuk memahami kepentingan, masalah,
otoritas konstitusional, sanksi, sekutu, dan sekaligus musuh. Itu dikatakan
Craig Allen Smith (Smith, 1992), profesor komunikasi politik ketika memulai
bahasan mengenai ihwal komunikasi politik mesti dilaksanakan dalam masyarakat
yang beradab, tidak asal bicara di dalam berpolitik.
Setiap warga negara mesti dilengkapi dengan
pemahaman ketika ingin berpartisipasi dalam pembicaraan politik.
Namun, pikiran Smith pada 1990-an itu,
tampaknya masih bergema. Ia menyatakan pentingnya interpretive communities in
conflict dalam berkomunikasi politik.
Saat itu, Smith mengusulkan pendekatan
interpretatif bagi berbagai komunitas politik di dalam berkomunikasi. Ia
menekankan pentingnya memadukan aspek intrapersonal dari proses kognitif,
pengembangan hubungan interpersonal, budaya kelompok dan organisasi, integrasi
sosial, dan adaptasi retorika. Berbagai aspek itu diharapkan akan membawakan
perilaku politik yang mencerahkan, bijaksana, tidak responsif, dan lainnya,
ketika berkomunikasi.
Pada era kini, berkomunikasi politik harus
disadari dan didasari dengan kesadaran tinggi terhadap makna kebersamaan dalam
persatuan dan kesatuan kebangsaan kita.
Komunikasi politik kini menjadi rentan dan
mudah membawa perpecahan bila tidak disadari dan didasari dengan
sikap interpretatif yang baik.
Media sosial kini telah banyak dibahas sebagai
sebuah perantara untuk penyusunan agenda politik. Ketiadaan gatekeeping (yang
dulu dimiliki media tradisional) kini di dalam platform digital secara
potensial telah meningkatkan kapasitas berbagai orang, pihak, kelompok, dan
seterusnya, untuk menjadi aktor yang menyusun berbagai agenda politik. Gilardi
dkk (2022) menyatakan bahwa kampanye advokasi jadi alat penting untuk kelompok
politik dalam mendorong agenda spesifik mereka.
Hal ini tampaknya cocok bila dikaitkan dengan
keadaan sekarang, khususnya di Jawa Barat.
Pada saat menjelang pemilu ditabuh, kini mulai
berloncatan pernyataan, omongan, statement, dan semacamnya di berbagai ruang
publik.
Loncatannya bahkan sudah muncul sampai ke
spanduk, poster, dan berbagai medium publik lainnya yang isinya bisa membawa
petaka konflik yang meluas. Dan bila tidak diatasi segera, dengan kesadaran
berkebangsaan yang baik, hal itu bisa merusak kedamaian alam kesundaan di tatar
Parahyangan kita. Dalam konteks berdemokrasi, sah-sah saja semua ingin tampil
atau bersuara demi sosok pilihannya terus eksis di mata publik.
Elektabilitas dan popularitasnya tetap dijaga.
Namun karena proses menjaga itu adalah bagian dari bentuk komunikasi politik
yang dilakukan, maka sejatinya harus mengikuti rambu-rambu yang ada.
Rambu-rambu itu bisa berupa aturan hukum
tertulis, ataupun aturan hukum tidak tertulis yang berdasar pada kata
“kepatutan” dan “keetisan”.
Ranah provokasi adalah wilayah yang berbahaya.
Provokasi ini bisa dilakukan dengan melempar isu tanpa identitas atau semacam
surat kaleng. Karena surat itu dibuat dalam bentuk spanduk atau poster atau
unggahan di media sosial yang kemudian diviralkan, maka ia tak bisa diabaikan.
Efeknya pada publik akan bervariasi. Wilayah
provokasi memang masuk ke daerah ini, memanas-manasi.
Provokasi dan geliat komunikasi politik yang
kini sudah menjurus ketidaketisan, harus menjadi perhatian.
Provokasi politik ini menunjukkan secara kuat
bahwa iklim demokrasi dan komunikasi politik yang masih membutuhkan “terapi”.
Terapi diperlukan karena pelaku politik masih
rendah dan minim dalam pendidikan politik. Sementara pendidikan politik tidak
berjalan baik karena lembaganya sendiri yang memang tidak mau atau tidak serius
melakukan.
Kita tidak mempersoalkan siapapun yang
bertarung dan siapapun kontestan.
Selagi memenuhi syarat, silahkan turun ke
gelanggang. Mau main jujur? Bagus dan memang harus begitu. Mau main curang? Ada
aturan yang akan membatasi.
Ketika permainan curang tersebut sudah membuat
penonton heboh atau bahkan membuat penonton menjadi resah dan tidak nyaman,
maka “terapi” khusus harus diterapkan.
Aturan hukum akan jadi acuan dan TNI siap
tampil sebagai pengawal pada proses itu. Sebagaimana dikatakan Smith di atas,
pada tahun-tahun politik, maka aktifitas komunikasi politik akan semakin
kencang. Sikap beretika, bijaksana, beradab dan tentu saja elegan harus
ditunjukkan. Secara formal, posisi ini harus dipegang dan dipertanggungjawabkan
oleh partai politik, karena lembaga inilah yang menjadi wahana formal.
Lembaga inilah yang akan menggodok semua
kepentingan politik, sekaligus bertanggungjawab mendewasakan pemilihnya,
kadernya, dan publik secara luas.
Akan tetapi, andai Parpol tidak peduli terhadap
itu, maka jelas tubuh Parpol sendiri juga bermasalah dalam mewujudkan
komunikasi politik yang beradab.
Alih-alih berharap akan bisa mendewasakan atau
mendidik publik dalam berpolitik, justru kekhawatiran “tongkat membawa rebah”
yang diperlihatkan.
Semestinya cukup dengan kembali ke Pancasila,
melihat sisi-sisi yang diharuskan. Keharusan menjaga persatuan kesatuan,
keberadaban, dan keadilan serta etika, itu sudah cukup.
Kita sepertinya membutuhkan Pancasila dalam
politik sekarang ini, karena sedang tidak baik-baik saja.
Akan tetapi, andai ketidakpedulian tetap
terjadi dan semakin menguat, maka demi alasan pertahanan dan keamanan, TNI
agaknya harus sedikit maju mengambil posisi.
Semoga itu tidak terjadi.
(Sumber Kompas)
0 comments:
Post a Comment