Pendidikan Kita:
Banyak Sekolah, Kurang Akal Sehat
Sekolah kita banyak. Gedungnya megah.
Spanduknya berderet: Sekolah Unggul, Sekolah Berkarakter, Sekolah
Digital.
Tapi akal sehatnya sering tertinggal
di rumah.
Anak masuk sekolah pagi-pagi. Pulang
sore. Tasnya berat. Bukan oleh buku. Oleh tugas.
Nilainya bagus. Pertanyaannya
sederhana: paham atau hafal?
Kita terlalu sibuk mengukur angka.
Rapor penuh. Kepala kosong.
Anak bisa menjawab soal. Tapi bingung menjawab hidup.
Pendidikan kita rajin mengajar apa
yang harus dijawab.
Jarang mengajar apa yang harus ditanyakan.
Guru dikejar kurikulum. Murid dikejar
nilai.
Tak ada yang mengejar makna.
Padahal pendidikan itu seharusnya
melatih berpikir, bukan sekadar patuh.
Melatih bernalar, bukan hanya mengulang.
Ironisnya, anak yang banyak bertanya
sering dianggap mengganggu.
Anak yang diam dianggap pintar.
Kita lupa:
negara maju dibangun oleh orang-orang yang berani bertanya, bukan yang takut
salah.
Teknologi sudah di tangan anak.
Sekolah masih sibuk melarang gawai, bukan mengajarkan cara berpikir kritis.
Akhirnya lahirlah generasi yang cepat
mencari jawaban di Google,
tapi lambat membedakan mana benar, mana menyesatkan.
Pendidikan seharusnya memerdekakan.
Bukan menyeragamkan.
Kalau sekolah hanya mencetak lulusan
yang sama,
jangan heran kalau bangsa ini sulit melompat jauh.
Karena masa depan tidak butuh banyak
orang yang patuh.
Ia butuh sedikit orang yang berani berpikir.
KURIKULUM GUGU SISWA
Bukan siswanya yang bodoh.
Yang sering membuat mereka gugu—gugup, kaku, bisu—adalah kurikulumnya.
Anak-anak kita pintar.
Di luar kelas mereka lincah. Bertanya. Berdebat. Bereksperimen.
Masuk kelas, mendadak sunyi. Takut salah. Takut nilai jatuh.
Kenapa?
Karena kurikulum lebih mencintai
jawaban benar daripada proses berpikir.
Lebih menghargai keseragaman daripada kejujuran nalar.
Siswa dilatih menghafal.
Bukan memahami.
Dilatih mengikuti contoh.
Bukan membuat kemungkinan.
Akhirnya siswa jadi gugu.
Tahu jawabannya, tapi ragu mengucapkannya.
Punya pendapat, tapi takut berbeda.
Setiap soal sudah ada kunci.
Setiap pelajaran sudah ada arah.
Setiap penyimpangan dianggap kesalahan.
Padahal ilmu pengetahuan lahir dari
penyimpangan.
Dari orang-orang yang berani berkata: “Bagaimana kalau tidak begitu?”
Kurikulum kita sering berubah.
Namanya berganti.
Isinya berputar di tempat.
Yang tidak berubah: tekanan pada
siswa.
Target terlalu tinggi.
Waktu terlalu sempit.
Rasa ingin tahu tercekik pelan-pelan.
Anak akhirnya belajar satu hal
penting:
diam lebih aman daripada bertanya.
Itulah kegagalan pendidikan yang
paling sunyi.
Tak terlihat di rapor.
Tak tercatat di statistik.
Kita bangga nilai naik.
Tapi lupa menanyakan:
apakah keberanian berpikir ikut naik?
Kalau kurikulum terus membuat siswa
gugu,
jangan salahkan mereka saat dewasa nanti hanya pandai ikut arus.
Bangsa ini tidak kekurangan lulusan.
Ia kekurangan penanya.
Sumber
1)
Tafsir Quran Perkata DR M Hatta.
2)
ChatGPT.
3)
Copilot.
4)
Cici.
5)
Claude.
6)
Grok.
7)
Meta AI







