Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tuesday, July 6, 2021

10289. KHILAFIAH HUKUMNYA CELANA CINGKRANG

 







KHILAFIAH HUKUMNYA CELANA CINGKRANG

Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

 

 

Hukumnya celana isbal.

 

Isbal artinya mengulurkan sesuatu (sarung, celana, dll) dari atas sampai ke bawah (permukaan tanah) atau melampaui mata kaki.

 

 Celana isbal adalah celana yang kainnya menjulur ke bawah sampai melewati mata kaki.

 

Celana isbal adalah celana yang sampai menutup mata kaki.

 

Celana cingkrang (celana gantung) adalah celana yang tidak sampai menutupi mata kaki.

 

Abu Dzar berkata bahwa Rasulullah  bersabda,

 

“Ada 3 orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat.

 

Allah tidak memandang mereka.

 

Tidak mensucikan mereka dan bagi mereka azab yang menyakitkan.”

 

Rasulullah mengulanginya 3 kali.

 

Abu Dzar berkata,

 

“Siapa mereka itu, wahai Rasulullah?”

 

Rasulullah bersabda:

 

1)”Al-Musbil (orang yang memanjangkan jubah / kain / kaki celana sampai menutupi mata kaki).

 

2)  Orang yang mengungkit-ungkit pemberian.

 

3)  Orang yang menjual barangnya dengan sumpah yang dusta.”

 

 

Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda,

 

 

“Kain yang di bawah dua mata kaki, maka di dalam neraka.”

 

 

Pendapat para ulama tentang Hadis ini.

 

Imam Syafii.

 

1)  Makna Isbal adalah memanjangkan kain di bawah kedua mata kaki, hanya bagi orang yang angkuh.

 

2)  Tetapi orang yang tidak sombong, maka hukumnya makruh.”

 

Imam Bukhari.

 

1)     Rasulullah bersabda,

 

”Siapa  yang  memanjangkan  pakaiannya  karena  angkuh,  maka  Allah  tidak  akan memandangnya pada hari kiamat.”

 

 

Abu  Bakar  berkata,

 

“Wahai  Nabi, sesungguhnya salah satu bagian kainku  terjulur panjang.

 

 

Tetapi aku tidak berniat sombong.”

 

Rasulullah bersabda,

 

”Engkau tidak termasuk orang yang melakukannya karena sifat sombong”.

 

Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah bersabda,

 

 

“Allah tidak memandang pada hari kiamat kepada orang yang memanjangkan kainnya karena angkuh dan sombong.”

 

Memanjangkan jubah adalah tradisi kesombongan Raja Romawi dan Raja Persia pada zaman dahulu.

 

 

Untuk menunjukkan keangkuhan dan kesombongan mereka.

 

Para penguasa memanjangkan jubah yang ujungnya dibawa oleh para pengawal dan dayang-dayang.

 

 

Tradisi itu masuk ke dalam masyarakat Arab Jahiliah.

 

Dalam syair Arab Jahiliah dikatakan,

 

 “Janganlah engkau terpukau dengan panjangnya jubah dan sorban yang terurai.

 

Sesungguhnya aku juga orang yang punya pakaian panjang.”

 

 

Tradisi keangkuhan itu yang dihilangkan oleh Nabi Muhammad.

 

 

 

Daftar Pustaka

1.  Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.

2.  Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.

3.  Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.

 

 


10288. MAKNA KEMBALI KEPADA AL-QURAN DAN SUNAH NABI

 






MAKNA KEMBALI KEPADA AL-QURAN DAN SUNAH

Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

 

 

 

Sejak pertengahan tahun 1950-an Masehi, sampai sekarang.

 

Umat lslam melalui 2 periode berbeda.

 

 

Periode ke-1

Napoleon dengan ekspedisinya ke Mesir.

 

Telah membuka mata dan menghentakkan umat Islam.

 

Bahwa ada sesuatu luar biasa terjadi di tempat lain.

 

 

Kejutan luar biasa itu dapat berupa api membakar.

 

Atau cahaya yang menerangi.

 

Dan memunculkan sesuatu yang positif.

 

 

Yaitu umat Islam sadar tertinggal dalam kemajuan ilmu dan teknologi.

 

 

Segi negatifnya adalah umat Islam silau dengan kemajuan Barat.

 

Sebagian berupaya menirunya tanpa seleksi.

 

Atau berusaha menutupi kelemahan.

 

Dengan mengingat kejayaan umat Islam pada zaman lampau.

 

 

Hilangnya kepercayaan diri.

 

 

Saat umat Islam melihat kemajuan Barat dijadikan kompensasi.

 

Untuk melahirkan sesuatu.

 

 

Yang disebut “sastra kebanggaan dan kejayaan masa lampau”.

 

 

Dalam dunia sastra Arab.

 

 

Dalam bidang tafsir Al-Quran.

 

 

Tiap ada penemuan baru diklaim.

 

 

Bahwa “penemuan itu sudah dibicarakan dalam Al-Quran”.

 

Sehingga sebagian umat Islam terbius kejayaan masa lalu.

 

Dan situasi ini terjadi pada periode pertama.

 

 

Periode ke-2

 

Umat Islam bangkit menemukan identitasnya.

 

Dan mempertahankan ajaran agamanya.

 

Hal ini adalah sesuatu yang baik.

 

 

Meskipun di sisi lain tetap mengandung segi négatif.

 

 

Jika dalam periode ke-1.

 

Sebagian umat meniru segala yang dihasilkan Dunia Barat.

 

 

Maka pada periode ke-2.

 

 

Ada pihak yang berusaha mempertahankan segala yang dihasilkan leluhur.

 

 

Semboyannya adalah,

 

”Umat Islam tidak akan berjaya.

 

 

Jika tidak menempuh jalan yang ditempuh para leluhur.”

 

 

Kemudian lahir semboyan yang hingga kini masih terdengar.

 

 

“Mari kita kembali kepada Al-Quran dan sunah Nabi”.

 

Semua umat Islam pasti setuju.

 

 

Bahwa umat Islam harus kembali kepada Al-Quran dan hadas Nabi.

 

Tetapi masalahnya.

 

 

Bagaimana cara kembalinya.

 

 

Al-Quran dan hadis Nabi adalah redaksi termaktub (tertulis).

 

Dan keduanya adalah kalimat sangat indah.

 

Tetapi karena berwujud bahasa.

 

Maka seperti halnya semua bahasa.

 

 

Bisa punya berbagai fungsi.

 

Sebagian umat Islam memfungsikan Al-Quran dan hadis Nabi:

1.      Melihat sisi keindahan langgam dan iramanya.

 

2.      Sebagai syair yang dikecam Al-Quran.

 

 

Yaitu orang memakai  bahasa sekadar untuk tujuan itu.

 

Digambarkan Al-Quran sebagai orang yang mengembara di setiap lembah.

 

 

Dan suka mengucapkan sesuatu.

 

 

Yang mereka sendiri tidak melakukannya.

 

 

 Al-Quran surah Asy-Syuara (surah ke-26) ayat 224-226.

 

وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَأَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَوَأَنَّهُمْ يَقُولُونَ مَا لَا يَفْعَلُونَ

 

 

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwa mereka mengembara di tiap-tiap lembah, dan bahwa mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?

 

 

Sebagian umat Islam memakai bahasa pada “nama-namanya”.

 

Bukan pada esensinya.

 

Misalnya, kaum musyrik menyebut berhala adalah tuhan.

 

 

Al-Quran menjelaskan itu hanya nama yang kamu dan orang tuamu menjulukinya.

 

Tapi tidak ada kekuatan yang diberikan oleh Allah atas nama-nama itu.

 

 

Al-Quran surah An-Najm (surah ke-53) ayat 23.

 

 

إِنْ هِيَ إِلَّا أَسْمَاءٌ سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ ۖ وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنْ رَبِّهِمُ الْهُدَىٰ

 

     

Itu tidak lain hanya nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah) nya. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.

 

 

Bahasa atau nama-nama akan berfungsi dengan baik.

 

 

Jika ada kekuatannya.

 

 

Kekuatan bahasa bukan terletak pada langgamnya.

 

 

Tetapi pada sesuatu di balik langgam atau nama itu.

 

 

Misalnya kalimat,

 

”Kereta api akan berangkat pukul 09.00 pagi”.

 

 

Hal itu tidak banyak artinya.

 

 

Jika  dia tidak bergerak.

 

Sehingga dia berada di stasiun kereta api sebelum jam berangkat.

 

 

Jika orang hanya menghafalkan dan mengulanginya ribuan kali.

 

 

Maka kalimat itu sekadar menjadi nama.

 

 

Tanpa kekuatan.

 

 

Demikian juga.

 

 

Jika kita ingin kembali kepada Al-Quran dan hadis Nabi.

 

Tetapi terbatas pada pesona langgam dan iramanya.

 

 

Atau “nama-namanya” belaka.

 

 

Maka hal itu kurang bermakna.

 

 

Para ulama sepakat kebangkitan umat Islam dapat diraih.

 

Dengan syarat  umat Islam  kembali berpedoman kepada Al-Quran dan hadis Nabi.

 

 

Yang sesuai dengan cara Nabi Muhammad mengajarkannya.

 

 

 

Daftar Pustaka

1.              Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   

2.              Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.

3.              Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

4.              Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2

5.              Tafsirq.com online