Thursday, June 15, 2017

95. NABI MUSA .1

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin. Surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman.”
     “Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai. Yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”. Selama 40 hari. Menerima wahyu dari Allah. Melalui Malaikat jibril. Berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah. Yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya. Lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi. Biasanya lebih dari 600 meter.
      Hari ke-30. Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba. Karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung. Ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap. Jika menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa. Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah. Pergilah mendekati ke sumber air.” Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi. Menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tak berapa lama kemudian. Muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Membawa sebilah pedang dengan sarungnya. Terselip di punggungnya.  Sekantung uang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian. Dia meninggalkan sumber air. Sekantung uang tertinggal. Berada di tepi sumber air.
     Penunggang kuda berlalu. Muncul anak kecil. Berumur sekitar 9 tahun. Menuju sumber air. Dia mengambil air. Menemukan sekantung uang. Membawanya pergi.
      Anak kecil berlalu. Datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air. Dia mendatangi sumber air. Mencuci muka dan “bersuci”. Si tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Ksatria berkuda kembali lagi. Turun menuju ke sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Orang tua yang buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi. Meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah anak kecil. Karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tak mengambil uang itu. Si orang tua yang buta tak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan yang “sesaat” saja. Yang kamu lihat hanya satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah bekerja pada si penunggang kuda. Dia belum menerima gaji. Si penunggang kuda belum membayar gajinya.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan. Kepada orang tua si anak kecil. Besarnya persis dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tak pernah merencanakan membawa uang sebesar itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal.  Karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu.”
     Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini.    Yang gampang menilai sesuatu hanya berdasarkan penglihatan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment