PRO
KONTRA VAKSIN NUSANTARA (1)
Polemik
Vaksin Nusantara: Tontonan Kebodohan dan Kebohongan oleh Terawan
Ketika kita berada dalam
masa penuh bahaya.
Keadaan darurat terkait
fenomena alam dan wabah penyakit.
Seperti masa menghadapi
wabah COVID-19 saat ini.
Sumber kebenaran paling
valid paling bisa diterima oleh siapa pun adalah dengan sains.
Dengan berdasar sains kita
menjadi tahu apa yang terjadi.
Dan apa yang mesti
dilakukan.
Sains adalah bagian
integral dari resiliensi manusia menghadapi bencana.
(Sulfikar Amir, Kompas 26 Agustus 2020).
Dalam sains, ada prosedur
baku dan metodologi empiris, nalar, dan teruji.
Terkait riset dan
penelitian.
Data dan prosedur harus
bersifat terbuka dan transparan.
Agar dapat diverifikasi
oleh komunitas ilmuwan lain.
Yang independen melalui
publikasi yang "peer reviewed" (telaah oleh sejawat).
Tanpa adanya potensi
konflik kepentingan dalam penilaiannya.
Musuh sains terselubung
dan berbahaya adalah orang-orang yang mengaku melakukan riset sains.
Tetapi memanipulasi hasil
penelitian.
Pihak ini lalu
menyembunyikan proses dan hasil analisa.
Yang sejak semula memang
tidak transparan.
Lanjut dengan klaim-klaim
dahsyat seolah temuannya valid.
dan mencari validasi lain.
Yang sarat kepentingan
pembenarannya itu.
Pseudosains.
Ekosistem riset dan
pengembangan keilmuan.
Di dalam dan luar
institusi kampus harus dihargai dan dilindungi.
Serta bebas dari
kepentingan dan tekanan politik.
Dari pejabat di
pemerintahan, DPR, klaim.
Dan pernyataan bombastis
tanpa bukti.
Yang hanya berdasar persepsi
dan testimoni pribadi para tokoh masyarakat.
Contoh paling kini adalah
beberapa tulisan dari Bapak Dahlan Iskan.
Yang beredar tentang
Vaksin Nusantara.
Pengembangan obat dan
vaksin adalah sebuah proses yang punya regulasi paling ketat di dunia.
Karena berhubungan dengan
kesehatan dan keselamatan umat manusia.
Vaksin adalah zat asing di
masukkan dalam tubuh orang yang "sehat".
Dengan tujuan menghasilkan
kekebalan penyakit tertentu.
Segala sesuatu berkaitan "kesehatan" manusia ini.
Terikat erat dengan
konteks etika kedokteran.
Terkait dengan hal ini.
Maka untuk pengembangan
vaksin ada proses dan prosedur baku.
Yang harus diikuti.
Termasuk tahap uji
pra-klinis.
Dan uji klinis fase I,II,
dan III.
Dan dalam regulasi ini.
Ada konsensus level dunia menjadi
standar etika.
Dalam Deklarasi Helsinki
tentang: Ethical Principles for Medical Research involving Human Subjects.
Di Indonesia, Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah institusi legal independen yang punya
otoritas resmi.
Bertugas memastikan produk
baru benar-benar memenuhi syarat dan prosedur baku sains.
Serta standar etika dalam
proses pengembangannya sesuai Deklarasi
Helsinki.
Hal ini termasuk persetujuan
komite etik di tempat pelaksanaan uji klinis.
Guna menjamin perlindungan
dan keselamatan subjek penelitian.
BPOM bekerja atas dasar
kaidah dan prosedur baku sains.
Punya tugas penting melindungi
bangsa dari peredaran obat.
Yang tidak jelas asal
muasal dan prosesnya dan manfaatnya.
Yang berpotensi
membahayakan konsumen.
Semua komunitas sains.
Termasuk dunia akademik (kampus)
menghormati, mendukung, dan menjunjung tinggi kewenangan dan keputusan BPOM.
Selama ini integritas BPOM
masih terjaga.
Juga memang terbukti melakukan
tugas dan kewajibannya.
Termasuk transparansi penilaian
dan keputusan yang dipilih.
Masyarakat luas harus tahu.
Bahwa tidak ada atau belum
ada vaksin bernama Vaksin Nusantara.
Yang ada adalah
"riset" calon vaksin.
Semula diberi nama vaksin
Joglosemar.
Yang dimotori oleh mantan
menteri kesehatan Terawan.
Yang data tentang studi
pra-klinis- nya tidak bisa diakses siapa pun.
Atau bisa saja memang
tidak pernah dilakukan.
Lalu ujug-ujug muncul
hasil uji klinis fase I.
ltu pun datanya bukan pada
jurnal (publikasi) ilmiah.
Tapi pada konferensi pers
Terawan di Lobi RS Dr Kariadi.
Akhir Februari lalu yang
berdurasi hanya sekian menit saja.
Berdasar evaluasi terhadap
data uji klinis fase 1.
Yang dipresentasikan oleh
tim peneliti.
Setelah pertemuan BPOM
dengan tim peneliti.
Yang dihadiri Komnas
Penilai Obat dan Tim dari ITAGI pada 16 Maret lalu.
Hasilnya jelas ditolak
oleh BPOM.
Penolakan itu salah satunya
karena standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) tidak dipenuhi.
Dengan perincian masalah
pada profil subjek penelitian tidak jelas.
Yang seharusnya naif atau
belum pernah terpapar antigen COVID-19.
Selain itu, juga hasil
vaksin tidak teruji sterilitasnya.
Serta tidak dilakukan uji
penjaminan mutu dan keamanan produk.
Semua poin hasil penilaian
BPOM ini diumumkan transparan kepada pihak tim peneliti Vaksin Nusantara dan publik.
Indikator yang dipakai BPOM
jelas berdasar dasar keilmuan.
Bukan mengada-ada.
Agar riset vaksin
nusantara ini gagal.
Permintaan selanjutnya
dari BPOM pada peneliti untuk menyerahkan laporan.
Tentang studi terhadap
toksisitas (bahaya) dan imunogenisitas (manfaat) tiap dosis vaksin.
Yang sampai saat ini tidak
pernah dipenuhi.
Perlu diketahui bahwa
Komite Etik di RS Dr Kariadi.
Tempat dilakukannya uji
klinis fase I ini.
Tidak pernah dilibatkan
dalam pembahasan riset ini.
Hal ini pelanggaran
terhadap Deklarasi Helsinki.
Tentang riset pada subjek
manusia dan bisa dibawa ke ranah hukum.
Alih-alih melakukan upaya
perbaikan dan pemenuhan semua syarat BPOM terkait CPOB.
Terawan dengan segala
ambisi pribadinya yang cenderung selalu antisains.
Malah mencari dukungan
dari para politikus, pejabat dan mantan pejabat public.
Sampai tokoh masyarakat
yang juga antisains.
Melanjutkan uji klinis
fase II.
Di RSPAD secara liar
karena belum ada izin BPOM.
Dan beliau berhasil
membuat isu.
BPOM seolah menghalangi
riset Vaksin Nusantara.
Dan menghalangi kemajuan
pengembangan Vaksin Nusantara.
Masyarakat luas juga harus
tahu.
Yang terjadi di RSPAD
bukan program vaksinasi COVID-19.
Tetapi tahap uji klinis
fase II calon vaksin.
Dengan data hasil uji
klinis fase I yang amburadul.
Dan pelanggaran prosedur
baku sains.
Serta manfaat yang
diragukan.
Sehingga tidak etis dilanjutkan
ke uji klinis fase II.
Sayangnya, sebagian
masyarakat terbeli hiruk-pikuk jargon nasionalisme.
Yang di gembar-gemborkan
oleh Terawan dan kawan-kawan.
Tanpa menyadari ada
masalah besar mulai dari penamaan.
Kelaziman teknologi yang
dipakai.
Masalah etik kedokteran.
Penggunaan anggaran.
Transparansi data.
Yang semuanya diterabas
seolah kubu yang ‘berlawanan’.
Dalam hal ini BPOM, Satgas
COVID-19, para ilmuwan dan masyarakat yang mengkritik.
Adalah kelompok orang tidak
cinta tanah air.
Dan menghalangi kemajuan
negara.
Sebuah paradoks sempurna
bukan?
Ditulis Zainal Muttaqin,
MD., Ph.D., Guru Besar Fakultas Kedokteran Undip
0 comments:
Post a Comment