JANGAN BERTENGKAR KARENA DEBAT
KUSIR
Oleh:Drs. H. M. Yusron
Hadi, M.M.
Rombongan tiba di lautan pasir
gunung Bromo.
Kami berkumpul
di lokasi kumpulan kuda.
Kami
bersiap menunggang kuda menuju kawah gunung Bromo.
Pak
Arie menaiki kuda, saya juga.
Tali
kuda dikendalikan si pemilik.
Bisa
disebut si kusir.
Waktu
kami datang.
KUSIR yang
bernama KASIR sedang duduk di KASUR yang KASAR.
Pak
Arie duduk di atas punggung kuda.
Saya
juga.
Tiba-tiba
terdengar suara yang mengejutkan,
”Tret,
tret, tuut…ciuuuut.”
Berasal
dari belakang kuda yang saya naiki.
Terdengar
suara “ciut”.
Yang
berarti “sempit”.
Meskipun
lautan pasir Gunung Bromo amat
luas.
Pak
kusir yang bernama Kasir berkata,
“Wah
kasihan, kudanya masuk angin.”
“Bukan
masuk angin, Pak.
Tapi,
keluar angin,” teriak Pak Arie.
Saya
membela Pak Kasir,
“Benar
Pak Arie, perut kudanya masuk
angin.
Sehingga
terdengar suara kentut.”
“Salah!
Yang benar keluar angin.
Bukan masuk angin,”
jelas Pak Arie.
Sejak
saat itu dan sampai
sekarang.
Saya
menganggap kudanya “masuk angin”.
Tetapi,
Pak Arie tetap bersikukuh menganggapnya:
“keluar angin”.
Debat
kusir itu terbawa sampai pensiun.
Mulai
1 April 2017, Pak Arie memasuki usia purnatugas.
Pensiun
dari guru PNS sekaligus dari “ambtenar”.
Mestinya,
semua orang yang pensiun tidak perlu debat kusir.
Jangan
tertipu urusan “tetek bengek”.
Pensiun
bisa bermakna PENuh
konsentraSI Urusan Nanti.
Termasuk
saya.



0 comments:
Post a Comment