SEJARAH MUNCULNYA BUZZER
Oleh : Drs. H. M.
Yusron Hadi, MM
ASAL USUL BUZZER
Berawal dari salah satu
strategi marketing.
Buzzing berubah menjadi salah satu strategi untuk mendongkrak
elektabilitas dan popularitas tokoh atau partai politik.
Buzzer (pendengung) sembunyi di balik topeng mengaku suara publik
di media sosial.
' v:shapes="_x0000_i1025">
Berdasar penelitian CIPG,
buzzer lahir bersamaan dengan lahirnya Twitter tahun 2009.
Awalnya, buzzer menjadi strategi
pemasaran.
Untuk mempromosikan produk
guna mendongkrak penjualan.
Fungsi buzzer berubah
tahun 2012.
Ketika pasangan
Jokowi-Ahok memakai pasukan buzzer media sosial untuk mendorong segala wacana
atau isu politik.
"Buzzer di Indonesia mulai
populer dalam Pilkada Jakarta tahun 2012.
Saat itu pasangan Jokowi
Ahok berhasil menang.
Dengan mengerahkan
"pasukan medsos" bernama Jasmev.
Atau Jokowi Ahok Social
Media Volunteer," kata pengamat media sosial Pratama Persadha.
Fungsi buzzer kembali dipakai saat
Pipres 2014.
Saat itu, kedua paslon memakai buzzer.
Senada dengan Pratama, mantan buzzer Rahaja Baraha mengakui awal penggunaan buzzer adalah saat Pilpres 2009.
Tapi saat itu, penggunaan
buzzer ini masih sangat minim.
"Twitter masuk tahun 2009 baru mulai heboh buzzer.
Pada pilpres tahun 2009 buzzer
dipakai.
Tapi belum terlalu banyak.
Pada tahun 2012 dan 2014 buzzer
dipakai maksimal.
Kemudian 'boom' ada di
setiap pemilu," ujar Rahaja.
Buzzer punya peran saat
Pilkada DKI Jakarta 2012.
Buzzer kembali dipakai
pada Pilpres 2014.
Para
buzzer merasa bahwa ini lahan basah.
Tentu tak mau menolak
ajakan tokoh politik atau partai politik.
"Awalnya panas pada tahun 2012.
Kemudian ada momen, influencer dipakai menggiring
opini dan berlanjut pada pilpres 2014," kata Rahaja.
BUZZER PUNYA PENGARUH KUAT
MEMBENTUK OPINI PUBLIK
Peneliti CIPG Rinaldi Camil mengatakan para influencer di media sosial punya kekuatan besar dalam
mempengaruhi suara publik.
Mereka punya kemampuan
kelas wahid untuk membentuk opini publik.
"Influencer bisa
menjalankan peran sebagai buzzer.
Tapi tidak semua influencer itu buzzer.
Influencer bisa disebut buzzer jika
ia memviralkan pesan.
Kapabilitas itu dimiliki
oleh influencer.
Karena ia punya
pasukan buzzer juga.
Dan dianggap punya
kapabilitas mumpuni," ujar Rinaldi.
Kekuatan besar ini mengakibatkan isu politik yang digaungkan buzzer menyebar dengan cepat.
Media sosial memberi alat
terbaik untuk konten tepat sasaran kepada khalayak.
Algoritme seluruh media social membuat konten pesanan menjadi tepat sasaran.
Dan efektif kepada
khalayak yang dituju.
Media sosial menjadi
tempat nyaman.
Karena algoritma mengatur
konten yang pengguna sukai.
Fenomena ini disebut Echo Chamber.
Artinya pemakai media
sosial berada dalam lingkungan pertemanan berpikir serupa.
Penyebaran konten di media sosial sangat cepat.
Karena banyaknya
jumlah buzzer dan akun
bodong.
Yang meneruskan konten-konten
itu.
Beberapa kelompok buzzer membentuk
suatu jaringan besar.
Untuk saling membagi dan
komentar di konten pesanan klien.
"Platform media menyediakan alat menyebarkan konten dengan
sangat efektif.
Yang berbayar dan tidak.
Pemakaiannya sangat
efektif.
Dan bisa mengumpulkan masukan untuk konten selanjutnya.
Pratama mengatakan masa
depan buzzer sangat
cerah.
Prospek buzzer politik atau buzzer pemasaran sangat
dibutuhkan di era digital untuk mendorong popularitas.
Dia mengatakan buzzer tak melulu negatif.
Yang berpihak kepada satu
partai politik atau tokoh politik.
Dalam marketing, buzzer dipakai mendongkrak popularitas produk-produk.
"Buzzersebenarnya tidak selalu negatif.
Ada juga jasa buzzer untuk mengangkat konten
atau tokoh secara positif.
Dengan semakin terkoneksinya
manusia.
Keperluan terhadap buzze tinggi.
Selain dalam
politik, buzzer juga
sangat dibutuhkan dalam bisnis," ujar Pratama.
Pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan buzzer
adalah akun di media sosial yang tidak punya reputasi.
"Buzzer lebih kepada kelompok orang yang tidak
jelas identitasnya.
Biasanya punya motif ideologis atau ekonomi di
belakangnya.
Dan kemudian menyebarkan informasi.
Jika ada akun yang punya nama dan latar belakang jelas
disebut influencer.
Akun yang jelas tidak bisa seenaknya mengunggah
sesuatu.
Jika dia salah atau ada orang tidak suka, maka bisa menimbulkan risiko terhadap pemilik akunnya.
Fenomena buzzer Indonesia sama seperti ketika media
sosial dijadikan ajang untuk perang opini.
Dan berusaha memenangkan opini publik.
Dalam alam demokratis, siapa menang opini, maka dia
dianggap lebih popular.
Akhirnya muncul buzzer.
Karena ruang publik tidak lagi dipenuhi media
mainstream.
Tetapi media sosial yang saling mempengaruhi dan
berusaha meyakinkan publik.
Enda mengatakan, buzzer ada yang dibayar dan ada yang
hanya sukarelawan.
Para sukarelawan, biasanya karena motif ideologis.
Karena memang dia setuju dengan isu ini.
Buzzer yang dibayar biasanya hanya motif ekonomi.
Artinya mungkin selain mendukung, ia profesional di
bidangnya sehingga mendapat bayaran.
Dampak buzzer adalah kebingungan dari masyarakat.
Siapa yang harus dia percaya.
Walaupun ada sumber media yang kredibel.
Pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel.
Tapi di zaman media sosial sekarang, informasi
tidak dilihat dari sumbernya.
Bahkan sering tidak tahu sumbernya dari mana.
Karena hasil copy paste dari pihak lain.
Masyarakat harus menentukan sendiri harus percaya
dengan siapa.
Kebanyakan masyarakat mempercayai sesuatu melalui
referensi yang dimiliki sebelumnya.
Jika dia merasa kelompok A itu jahat, maka info
yang mendukungnya akan ia percaya.
Dan akhirnya ia sebarkan.
Begitu juga sebaliknya.
Banyak info yang membuat kita hidup tidak pasti.
Karena pihak yang terkenal tidak selalu benar.
(Sumber internet)