Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Thursday, December 21, 2017

577. AMANAT

AMANAT MENGURUS UMAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang amanat mengurus umat  manusia menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Orang-orang yang diserahi amanat untuk mengurus masyarakat, misalnya sebagai kepala desa, bupati, anggota DPRD, anggota DPR, gubernur, menteri, presiden, atau jabatan apa pun dalam tingkatan apa pun adalah suatu kepercayaan yang harus dijalankan dengan baik.
     Dalam bahasa agama Islam, masyarakat dinamakan “umat”, sedangkan pemimpinnya disebut “imam”, sedangkan kata “imam” dan “umat” terambil dari akar kata yang sama yang artinya “sesuatu yang dituju”.
    Pemimpin menjadi “imam” karena kepadanya mata dan harapan masyarakat tertuju, sedangkan “masyarakat” disebut “umat” karena aktivitas dan segala upaya “imam” harus tertuju untuk kemaslahatan umat.
     Kesamaan akar kata “imam” dan “umat” sekaligus mengisyaratkan bahwa “imam” adalah wakil masyarakat, atau dalam bahasa tatanegara dinamakan sebagai seorang “mandataris”.
     Nabi bersabda,”Seorang imam diangkat di dalam atau di luar salat adalah untuk diikuti oleh umat”. Sehingga menjadi kewajiban bagi umat untuk mengikuti dan menaati perintah imam.
     Meskipun orang yang menjadi “imam” adalah seorang bekas budak yang berkulit hitam harus diikuti dan ditaati, karena “imam” atau mandataris diangkat oleh umat, maka seluruh anggota masyarakat berkewajiban mengikutinya.
     Khalifah Abu Bakar sebagai imam pertama dalam sejarah Islam berkata,”Yang lemah di antaramu adalah kuat di mata saya, hingga saya menyerahkan kembali haknya kepadanya, sedangkan yang kuat di antaramu adalah lemah di mata saya, hingga saya mengambil kembali hak orang lain yang ada padanya”.
    Agama Islam juga menamakan “imam” sebagai “waliul amr”, dengan kata “waliul” dapat diartikan sebagai “pemilik”, sedangkan kata “amr” artinya “urusan” atau “perintah”, sehingga “imam” atau “waliul amr” adalah orang yang mendapatkan amanat untuk menangani urusan umat dan memiliki wewenang memerintah.
      Al-Quran surah Al-Qashas, surah ke-4 ayat 59.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

      “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan “ulil amri” di antaramu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
      Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-28 ayat 26.

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

      “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata,”Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
      Konsideran pengangkatan Nabi Yusuf sebagai Kepala Badan Logistik Kerajaan Mesir oleh Raja Mesir diabadikan dalam Al-Quran surah Yusuf, surah ke-12 ayat 54.

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي ۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

      “Dan raja berkata,”Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata,”Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”.
    Khalifah Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai Ketua Panitia Pengumpulan Mushaf Al-Quran berkata,”Kamu seorang pemuda yang kuat lagi bersemangat dan telah dipercaya oleh Rasul menulis wahyu.”
     Allah memilih malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu, karena malaikat Jibril mempunyai sifat kuat lagi terpercaya, seperti dalam Al-Quran surah At-Takwir, surah ke-81 ayat 19-21.

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ

      “Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya”.
     Nabi bersabda,”Amanat akan terabaikan dan kehancuran akan tiba, apabila jabatan diserahkan kepada orang yang tidak mampu, tidak wajar, dan tidak bertanggung jawab”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

577. AMANAT

AMANAT MENGURUS UMAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang amanat mengurus umat  manusia menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Orang-orang yang diserahi amanat untuk mengurus masyarakat, misalnya sebagai kepala desa, bupati, anggota DPRD, anggota DPR, gubernur, menteri, presiden, atau jabatan apa pun dalam tingkatan apa pun adalah suatu kepercayaan yang harus dijalankan dengan baik.
     Dalam bahasa agama Islam, masyarakat dinamakan “umat”, sedangkan pemimpinnya disebut “imam”, sedangkan kata “imam” dan “umat” terambil dari akar kata yang sama yang artinya “sesuatu yang dituju”.
    Pemimpin menjadi “imam” karena kepadanya mata dan harapan masyarakat tertuju, sedangkan “masyarakat” disebut “umat” karena aktivitas dan segala upaya “imam” harus tertuju untuk kemaslahatan umat.
     Kesamaan akar kata “imam” dan “umat” sekaligus mengisyaratkan bahwa “imam” adalah wakil masyarakat, atau dalam bahasa tatanegara dinamakan sebagai seorang “mandataris”.
     Nabi bersabda,”Seorang imam diangkat di dalam atau di luar salat adalah untuk diikuti oleh umat”. Sehingga menjadi kewajiban bagi umat untuk mengikuti dan menaati perintah imam.
     Meskipun orang yang menjadi “imam” adalah seorang bekas budak yang berkulit hitam harus diikuti dan ditaati, karena “imam” atau mandataris diangkat oleh umat, maka seluruh anggota masyarakat berkewajiban mengikutinya.
     Khalifah Abu Bakar sebagai imam pertama dalam sejarah Islam berkata,”Yang lemah di antaramu adalah kuat di mata saya, hingga saya menyerahkan kembali haknya kepadanya, sedangkan yang kuat di antaramu adalah lemah di mata saya, hingga saya mengambil kembali hak orang lain yang ada padanya”.
    Agama Islam juga menamakan “imam” sebagai “waliul amr”, dengan kata “waliul” dapat diartikan sebagai “pemilik”, sedangkan kata “amr” artinya “urusan” atau “perintah”, sehingga “imam” atau “waliul amr” adalah orang yang mendapatkan amanat untuk menangani urusan umat dan memiliki wewenang memerintah.
      Al-Quran surah Al-Qashas, surah ke-4 ayat 59.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

      “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan “ulil amri” di antaramu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
      Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-28 ayat 26.

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ

      “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata,”Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
      Konsideran pengangkatan Nabi Yusuf sebagai Kepala Badan Logistik Kerajaan Mesir oleh Raja Mesir diabadikan dalam Al-Quran surah Yusuf, surah ke-12 ayat 54.

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي ۖ فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ

      “Dan raja berkata,”Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata,”Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”.
    Khalifah Abu Bakar menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai Ketua Panitia Pengumpulan Mushaf Al-Quran berkata,”Kamu seorang pemuda yang kuat lagi bersemangat dan telah dipercaya oleh Rasul menulis wahyu.”
     Allah memilih malaikat Jibril sebagai pembawa wahyu, karena malaikat Jibril mempunyai sifat kuat lagi terpercaya, seperti dalam Al-Quran surah At-Takwir, surah ke-81 ayat 19-21.

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ

      “Sesungguhnya Al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai Arasy, yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya”.
     Nabi bersabda,”Amanat akan terabaikan dan kehancuran akan tiba, apabila jabatan diserahkan kepada orang yang tidak mampu, tidak wajar, dan tidak bertanggung jawab”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Wednesday, December 20, 2017

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

576. ABDI

HAKIKAT PENGABDIAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hakikat pengabdian  menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “abdi” terambil dari kata “abd” yang mengandung arti “tumbuhan yang memiliki aroma yang harum”, “anak panah”, dan “sesuatu yang memilki hamba sahaya”.
      Seorang “abdi” seharusnya menggambarkan hal di atas, yaitu dia memberikan aroma yang harum bagi lingkungannya, menjadi alat bagaikan alat panah, dan dimiliki secara penuh oleh si pemilik yaitu orang tempat dia mengabdi.
     Seorang bertanya kepada Jakfar Shadik,”Apakah hakikat pengabdian itu?” Jakfar Shadik menjawab,”Hakikat pengabdian terdapat tiga macam, yaitu pertama, seorang “abdi” menganggap  dirinya tidak mempunyai milik pribadi, karena semuanya adalah milik tuannya, bahkan dirinya adalah  milik tuannya.
     Kedua, semua kegiatannya dalam kehidupan sehari-hari adalah untuk melaksanakan semua perintah dan menjauhi larangan tuannya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu pun, tanpa izin dari tuannya.
     Apabila seseorang tidak menganggap sesuatu yang berada dalam wewenangnya sebagai miliknya, maka segala kemampuannya akan dikerahkan tanpa mempertimbangkan keuntungan apa pun.
    Seseorang yang menjadikan segala usahanya bertumpu pada sesuatu yang diperintahkan kepadanya, tidak akan mengisi waktunya dengan sia-sia, yaitu tidak untuk memperebutkan kursi kebanggaan dan juga tidak memperbanyak harta untuk kemegahan.
      Apabila seseorang tidak memastikan sesuatu pun, kecuali setelah mendapatkan izin dari yang diabdi, maka apa pun cobaan dan tugas yang dibebankan kepadanya akan dipikulnya dengan senang hati.
     Kalau ketiga hal ini telah menghiasi jiwa seseorang, maka dunia dengan segala gemerlapannya, iblis dengan berbagai tipu dayanya, bahkan seluruh makhluk sekalipun, tidak akan memberi dampak negatif apa pun bagi dirinya.
     Kepada siapa pun seseorang mengabdi, misalnya kepada Tuhan, kepada negara, atau mungkin kepada seorang manusia, maka ketiga persyaratan yang disebutkan di atas harus terpenuhi untuk kesempurnaan pengabdian.
     Pernyataan seorang Muslim ketika salat, “Hanya kepada-Mu kami mengabdi”, mengandung pengakuan bahwa hanya Tuhan yang memiliki wewenang dan pemilikan yang penuh, dan sang Muslim yang menyatakan hal ini mengakui pula bahwa dirinya adalah hamba sahaya yang dimiliki-Nya.
     Pengakuan berganda ini menghasilkan kehadiran Tuhan secara terus menerus dalam benak si pengabdi, karena ketika kita berkata “rumah”, maka yang terbayang hanya bentuk “rumah”.
     Ketika kita berkata “rumah si A”, maka yang hadir dalam benak kita adalah “rumah dan si A”, sehingga kehadiran si A inilah yang menjadi pendorong bagi sempurnanya segala aktivitas.
     Para ulama menjelaskan bahwa masih banyak di antara kita belum menghayati secara benar arti ikrarnya sebagai “abdi Tuhan” atau sebagai “abdi Negara”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online