Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Thursday, November 30, 2017

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Wednesday, November 29, 2017

528. ISTIS

MAKNA SALAT ISTISQA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa manusia membutuhkan salat dalam kehidupan sehari-hari?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Ketika umat Islam dihadapkan dengan kemarau yang panjang, biasanya umat Islam akan melaksanakan “salat istisqa” (salat bermohon kepada Allah agar menurunkan hujan).
     Mengapa salat? Bukankah turunnya air hujan berkaitan dengan hukum alam? Jawabnya,” Benar, AI-Quran juga menjelaskan terdapat kaitan antara angin, awan dan hujan”.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 22.

وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ

      “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
     Kata “mengawinkan” mengisyaratkan bahwa terdapat dua partikel awan yang berbeda yaitu positif dan negatif yang saling tarik-menarik sehingga melahirkan butiran air.
      Al-Quran surah An-Nur, surah ke-24 ayat 43.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ

      ‘Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan”.
     Kita sepakat pandangan para ilmuwan tentang proses turunnya hujan, dan hukum  alam yang berkaitan dengannya, karena karena Al-Quran menginformasikannya, serta kita percaya juga bahwa hanya Allah yang menetapkan dan mengatur hukum alam semesta tersebut.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 21.

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

      “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
     Datangnya air hujan memang ada penyebabnya berdasarkan hukum alam, tetapi “Apakah sebab dari segala sebab yang membuat turunnya hujan? "Siapakah yang menyebabkan berlakunya hukum alam?”
     Para ilmuwan yang beragama menegaskan bahwa di balik sebab dan hukum alam semesta terdapat kekuatan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang dalam bahasa Al-Quran disebut dengan “Allah Al-'Aziz Al-Hakim”.
    Para ilmuwan berpendapat bahwa “hukum alam” adalah “ikhtisar dari rerata statistik”, sedangkan yang mewujudkan sebab dari segala sebab adalah Yang Maha Mengatur sistem kerja alam semesta, yang hidup, yang terjaga, yang selalu awas, yang tidak mengantuk, yang kekal, dan yang tidak akan mati.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 255.

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
  
   “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 29.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
     Wujud adanya Allah Yang Maha Kuasa adalah mutlak dan dirasakan oleh jiwa manusia, serta keyakinan akan adanya hukum alam yang berlaku dalam alam semesta yang ditetapkan oleh Allah Ynag Maha Perkasa.
     Salat adalah salah satu sarana pendidikan kejiwaan, sehingga salat Istisqa dapat digunakan sebagai alat permohonan kepada Allah Yang Maha Mengatur alam semesta agar menurunkan hujan yang membawa rahmat bagi seluruh makhluk.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

528. ISTIS

MAKNA SALAT ISTISQA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa manusia membutuhkan salat dalam kehidupan sehari-hari?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Ketika umat Islam dihadapkan dengan kemarau yang panjang, biasanya umat Islam akan melaksanakan “salat istisqa” (salat bermohon kepada Allah agar menurunkan hujan).
     Mengapa salat? Bukankah turunnya air hujan berkaitan dengan hukum alam? Jawabnya,” Benar, AI-Quran juga menjelaskan terdapat kaitan antara angin, awan dan hujan”.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 22.

وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ

      “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
     Kata “mengawinkan” mengisyaratkan bahwa terdapat dua partikel awan yang berbeda yaitu positif dan negatif yang saling tarik-menarik sehingga melahirkan butiran air.
      Al-Quran surah An-Nur, surah ke-24 ayat 43.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ

      ‘Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan”.
     Kita sepakat pandangan para ilmuwan tentang proses turunnya hujan, dan hukum  alam yang berkaitan dengannya, karena karena Al-Quran menginformasikannya, serta kita percaya juga bahwa hanya Allah yang menetapkan dan mengatur hukum alam semesta tersebut.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 21.

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

      “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
     Datangnya air hujan memang ada penyebabnya berdasarkan hukum alam, tetapi “Apakah sebab dari segala sebab yang membuat turunnya hujan? "Siapakah yang menyebabkan berlakunya hukum alam?”
     Para ilmuwan yang beragama menegaskan bahwa di balik sebab dan hukum alam semesta terdapat kekuatan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang dalam bahasa Al-Quran disebut dengan “Allah Al-'Aziz Al-Hakim”.
    Para ilmuwan berpendapat bahwa “hukum alam” adalah “ikhtisar dari rerata statistik”, sedangkan yang mewujudkan sebab dari segala sebab adalah Yang Maha Mengatur sistem kerja alam semesta, yang hidup, yang terjaga, yang selalu awas, yang tidak mengantuk, yang kekal, dan yang tidak akan mati.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 255.

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
  
   “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 29.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
     Wujud adanya Allah Yang Maha Kuasa adalah mutlak dan dirasakan oleh jiwa manusia, serta keyakinan akan adanya hukum alam yang berlaku dalam alam semesta yang ditetapkan oleh Allah Ynag Maha Perkasa.
     Salat adalah salah satu sarana pendidikan kejiwaan, sehingga salat Istisqa dapat digunakan sebagai alat permohonan kepada Allah Yang Maha Mengatur alam semesta agar menurunkan hujan yang membawa rahmat bagi seluruh makhluk.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

528. ISTIS

MAKNA SALAT ISTISQA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa manusia membutuhkan salat dalam kehidupan sehari-hari?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Ketika umat Islam dihadapkan dengan kemarau yang panjang, biasanya umat Islam akan melaksanakan “salat istisqa” (salat bermohon kepada Allah agar menurunkan hujan).
     Mengapa salat? Bukankah turunnya air hujan berkaitan dengan hukum alam? Jawabnya,” Benar, AI-Quran juga menjelaskan terdapat kaitan antara angin, awan dan hujan”.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 22.

وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ

      “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
     Kata “mengawinkan” mengisyaratkan bahwa terdapat dua partikel awan yang berbeda yaitu positif dan negatif yang saling tarik-menarik sehingga melahirkan butiran air.
      Al-Quran surah An-Nur, surah ke-24 ayat 43.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ

      ‘Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan”.
     Kita sepakat pandangan para ilmuwan tentang proses turunnya hujan, dan hukum  alam yang berkaitan dengannya, karena karena Al-Quran menginformasikannya, serta kita percaya juga bahwa hanya Allah yang menetapkan dan mengatur hukum alam semesta tersebut.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 21.

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

      “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
     Datangnya air hujan memang ada penyebabnya berdasarkan hukum alam, tetapi “Apakah sebab dari segala sebab yang membuat turunnya hujan? "Siapakah yang menyebabkan berlakunya hukum alam?”
     Para ilmuwan yang beragama menegaskan bahwa di balik sebab dan hukum alam semesta terdapat kekuatan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang dalam bahasa Al-Quran disebut dengan “Allah Al-'Aziz Al-Hakim”.
    Para ilmuwan berpendapat bahwa “hukum alam” adalah “ikhtisar dari rerata statistik”, sedangkan yang mewujudkan sebab dari segala sebab adalah Yang Maha Mengatur sistem kerja alam semesta, yang hidup, yang terjaga, yang selalu awas, yang tidak mengantuk, yang kekal, dan yang tidak akan mati.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 255.

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
  
   “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 29.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
     Wujud adanya Allah Yang Maha Kuasa adalah mutlak dan dirasakan oleh jiwa manusia, serta keyakinan akan adanya hukum alam yang berlaku dalam alam semesta yang ditetapkan oleh Allah Ynag Maha Perkasa.
     Salat adalah salah satu sarana pendidikan kejiwaan, sehingga salat Istisqa dapat digunakan sebagai alat permohonan kepada Allah Yang Maha Mengatur alam semesta agar menurunkan hujan yang membawa rahmat bagi seluruh makhluk.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

528. ISTIS

MAKNA SALAT ISTISQA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa manusia membutuhkan salat dalam kehidupan sehari-hari?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Ketika umat Islam dihadapkan dengan kemarau yang panjang, biasanya umat Islam akan melaksanakan “salat istisqa” (salat bermohon kepada Allah agar menurunkan hujan).
     Mengapa salat? Bukankah turunnya air hujan berkaitan dengan hukum alam? Jawabnya,” Benar, AI-Quran juga menjelaskan terdapat kaitan antara angin, awan dan hujan”.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 22.

وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ

      “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
     Kata “mengawinkan” mengisyaratkan bahwa terdapat dua partikel awan yang berbeda yaitu positif dan negatif yang saling tarik-menarik sehingga melahirkan butiran air.
      Al-Quran surah An-Nur, surah ke-24 ayat 43.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ

      ‘Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan”.
     Kita sepakat pandangan para ilmuwan tentang proses turunnya hujan, dan hukum  alam yang berkaitan dengannya, karena karena Al-Quran menginformasikannya, serta kita percaya juga bahwa hanya Allah yang menetapkan dan mengatur hukum alam semesta tersebut.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 21.

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

      “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
     Datangnya air hujan memang ada penyebabnya berdasarkan hukum alam, tetapi “Apakah sebab dari segala sebab yang membuat turunnya hujan? "Siapakah yang menyebabkan berlakunya hukum alam?”
     Para ilmuwan yang beragama menegaskan bahwa di balik sebab dan hukum alam semesta terdapat kekuatan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang dalam bahasa Al-Quran disebut dengan “Allah Al-'Aziz Al-Hakim”.
    Para ilmuwan berpendapat bahwa “hukum alam” adalah “ikhtisar dari rerata statistik”, sedangkan yang mewujudkan sebab dari segala sebab adalah Yang Maha Mengatur sistem kerja alam semesta, yang hidup, yang terjaga, yang selalu awas, yang tidak mengantuk, yang kekal, dan yang tidak akan mati.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 255.

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
  
   “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 29.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
     Wujud adanya Allah Yang Maha Kuasa adalah mutlak dan dirasakan oleh jiwa manusia, serta keyakinan akan adanya hukum alam yang berlaku dalam alam semesta yang ditetapkan oleh Allah Ynag Maha Perkasa.
     Salat adalah salah satu sarana pendidikan kejiwaan, sehingga salat Istisqa dapat digunakan sebagai alat permohonan kepada Allah Yang Maha Mengatur alam semesta agar menurunkan hujan yang membawa rahmat bagi seluruh makhluk.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

528. ISTIS

MAKNA SALAT ISTISQA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa manusia membutuhkan salat dalam kehidupan sehari-hari?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Ketika umat Islam dihadapkan dengan kemarau yang panjang, biasanya umat Islam akan melaksanakan “salat istisqa” (salat bermohon kepada Allah agar menurunkan hujan).
     Mengapa salat? Bukankah turunnya air hujan berkaitan dengan hukum alam? Jawabnya,” Benar, AI-Quran juga menjelaskan terdapat kaitan antara angin, awan dan hujan”.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 22.

وَأَرْسَلْنَا الرِّيَاحَ لَوَاقِحَ فَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَسْقَيْنَاكُمُوهُ وَمَا أَنْتُمْ لَهُ بِخَازِنِينَ

      “Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya”.
     Kata “mengawinkan” mengisyaratkan bahwa terdapat dua partikel awan yang berbeda yaitu positif dan negatif yang saling tarik-menarik sehingga melahirkan butiran air.
      Al-Quran surah An-Nur, surah ke-24 ayat 43.

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ

      ‘Tidakkah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian) nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan”.
     Kita sepakat pandangan para ilmuwan tentang proses turunnya hujan, dan hukum  alam yang berkaitan dengannya, karena karena Al-Quran menginformasikannya, serta kita percaya juga bahwa hanya Allah yang menetapkan dan mengatur hukum alam semesta tersebut.
      Al-Quran surah Al-Hijr, surah ke-15 ayat 21.

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

      “Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”.
     Datangnya air hujan memang ada penyebabnya berdasarkan hukum alam, tetapi “Apakah sebab dari segala sebab yang membuat turunnya hujan? "Siapakah yang menyebabkan berlakunya hukum alam?”
     Para ilmuwan yang beragama menegaskan bahwa di balik sebab dan hukum alam semesta terdapat kekuatan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui, yang dalam bahasa Al-Quran disebut dengan “Allah Al-'Aziz Al-Hakim”.
    Para ilmuwan berpendapat bahwa “hukum alam” adalah “ikhtisar dari rerata statistik”, sedangkan yang mewujudkan sebab dari segala sebab adalah Yang Maha Mengatur sistem kerja alam semesta, yang hidup, yang terjaga, yang selalu awas, yang tidak mengantuk, yang kekal, dan yang tidak akan mati.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 255.

اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ ۚ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ ۚ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ ۖ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ ۚ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ ۖ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا ۚ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
  
   “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.
      Al-Quran surah Ar-Rahman, surah ke-55 ayat 29.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
     Wujud adanya Allah Yang Maha Kuasa adalah mutlak dan dirasakan oleh jiwa manusia, serta keyakinan akan adanya hukum alam yang berlaku dalam alam semesta yang ditetapkan oleh Allah Ynag Maha Perkasa.
     Salat adalah salah satu sarana pendidikan kejiwaan, sehingga salat Istisqa dapat digunakan sebagai alat permohonan kepada Allah Yang Maha Mengatur alam semesta agar menurunkan hujan yang membawa rahmat bagi seluruh makhluk.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online